Pada Akhirnya Kesunyian

>> Wednesday, May 16, 2007




Chairil Anwar pernah menulis: nasib adalah kesunyian masing-masing. Saya tak tahu pasti mengapa ia menulis begitu. Cuma, dalam Sajak Pemberian Tahu, sebuah sajak di mana Chairil menuliskan “nasib adalah kesunyian masing-masing”, Chairil tampak ingin melepaskan sebuah hubungan dengan seseorang. Saya juga tak terlampau tahu, adakah ia ingin melepaskan seluruh hubungan yang ia punya. Tapi agaknya, sebuah hubungan yang dilepas oleh Chairil adalah sebuah hubungan yang terlampau sulit dijangkau.

Simaklah empat baris pertama Pemberian Tahu:
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Baris-baris awal ini memberi tahu pada kita bahwa Chairil adalah seseorang yang pada dasarnya ingin menyimpan dan menikmati takdirnya sendiri. Meski pada awalnya ia menemukan seseorang yang ia “pilih dari yang banyak”, tapi pada akhirnya hubungan itu tak berhasil. Sebab, “sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring”.

Barangkali karena tahu bahwa hubungan yang ia jalin tak akan berhasil, maka Chairil sejak di awal menyatakan: nasib adalah kesunyian masing-masing. Ya, betapa orang lain sebenarnya tak pernah bisa mengerti nasib yang menimpa kita. Seberapapun dekatnya seseorang dengan kita, adakah ia bisa benar-benar paham tentang “sesuatu” yang menimpa kita?

Sebab bahkan sebuah hubungan yang dimulai dengan optimisme pada akhirnya bisa berakhir dalam pesimisme yang akut, seperti tergambar dalam Pemberian Tahu. Simak baris ini:
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Betapa optimismenya Chairil ketika ia memulai hubungan itu. Bahkan ia menulis:
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.

Ya, sebuah optimisme yang bahkan digambar dalam kata-kata “kanak-kanak”. Apa yang tersirat dalam kata “kanak-kanak”? Bukankah kanak-kanak adalah suatu masa di mana kita belum bisa berpikir secara menyeluruh? Bukankah kanak-kanak adalah sebuah fase yang hanya mengenal kesenangan, apalagi ketika “malam raya” tiba? Sungguh, melalui empat baris sajaknya, ia memberi tahu bahwa optimismenya menyala-nyala ketika ia memulai sebuah hubungan.

Tapi, bagaimana akhirnya hubungan itu? Chairil menulis sebuah kontras dengan optimisme yang ia nyalakan di awal:
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
Tiga baris ini merupakan tiga baris penghabisan Pemberian Tahu. Sebuah penutup yang sangat pesimis, terlampau muram, dan hampir-hampir bisa dilihat sebagai sebuah kepasrahan yang amat sangat. Dalam tiga baris ini kita tak lagi melihat Chairil sebagaimana dilukis dalam Sajak Aku: tak ada lagi teriakan-teriakan, tak ada lagi semangat yang menyala, tak ada lagi perlawanan.

Maka, kontras yang tajam ini justru cocok dengan ungkapannya yang saya kutip di awal: pada akhirnya, nasib memang sebuah kesunyian yang mesti dinikamti masing-masing. Mungkin karena itu pula, seorang kawan dari sahabat saya, menolak memiliki seorang sahabat. Baginya, sahabat adalah sumber “ketergantungan”. Memiliki sahabat berarti memulai sebuah proses di mana kita terikat pada seseorang dan pada akhirnya mungkin terlalu banyak berharap padanya.

Pendirian macam ini bisa kita temukan dalam karya sastra yang lain pula: Khotbah di Atas Bukit-nya Kuntowijoyo. Ada tokoh Humam di sana yang enggan menjalin hubungan dengan yang lain. Bahkan, ia sengaja melepaskan semua hubungan, semua cinta, dan semua orang yang ia miliki. Baginya, kebahagiaan bukan bersumber dari “yang luar” dari diri kita. Kebahagiaan ada dalam diri kita, maka ia tak bisa bertambah atau berkurang. Karena itu pula, menjalin hubungan dengan orang lain adalah sesuatu yang tidak penting bagi Humam yang telah menemukan “kebahagiaan sejati”.

Tapi, benarkah demikian? Benarkah sahabat adalah sumber ketergantungan? Benatkah memiliki sahabat berarti akan menjadi orang yang tergantung? Saya tahu, sangat menyakitkan bila kita telah memiliki seorang yang dipercaya (sahabat atau pacar atau istri atau suami), tapi kemudian tiba-tiba kita berpisah dengannya. Saya tahu, pada saat mengalami perpisahan itulah, kita mungkin baru sadar akan “ketergantungan” kita. Kita baru tahu, bahwa ada banyak hal yang hilang bersamaan dengan perpisahan itu.

Tapi, apakah hal ini harus membuat kita selamanya tak memiliki sahabat? Ah, saya pada dasarnya percaya Chairil bahwa nasib adalah sebuah kesunyian yang pada akhirnya harus dinikmati oleh masing-masing. Jadi, punya sahabat atau tidak, nasib tetap sebuah kesunyian. Tapi, barangkali dengan menjalin hubungan, dengan memiliki sahabat, maka kesunyian itu akan sedikit berkurang. Mungkin saja.

Sukoharjo, 16 Mei 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP