Sebagai Hiburan

>> Tuesday, May 22, 2007


Dua orang lelaki dalam balutan kebaya dan tusuk konde, serta riasan yang tebal: bedak, gincu, riasan di alis, sedang menari-nari membawakan sebuah tari tradisional. Mereka menari dalam balutan busana tradisional yang biasa dipakai penari perempuan, serta diiringi musik yang barangkali pula bisa disebut sebagai tradisional. Keduanya bergoyang, meliuk, mengejar penonton untuk diajak menari bersama, juga mengerling-ngerling menggoda mata beberapa penonton yang berjarak sangat dekat mereka. Beberapa kali salah seorang dari keduanya sempat mengejar seorang pria yang selalu berusaha lari bila diajak menari di panggung.

Saya melihat pertunjukan itu dalam sebuah “festival seni pasar tradisional”. Saya tak terlampau paham maksud acara itu. Acara “festival seni” tadi memang dilakukan di Pasar Nusukan, sebuah pasar tradisional di Solo. Tapi saya tak tahu adakah pertunjukan tari dengan menampilkan lelaki yang jadi perempuan itu masuk menjadi bagian dari “seni pasar tradisional”. Sebab selain pertunjukan tari itu, yang tampil adalah para kawan saya dari kelompok teater kampus, juga beberapa sanggar seni lainnya. Bahkan kawan-kawan dari kelompok fotografi kampus saya juga ikut pameran di sana.

Fenomena macam begini menarik. Sebab saya menduga beberapa penampil dalam acara itu adalah mereka yang jarang (atau tak pernah) bersentuhan dengan pasar tradisional. Kawan-kawan saya dari kelompok fotografi, misalnya. Barangkali persentuhan dengan pasar tradisional baru dimulai ketika mereka ingin membuat foto tentang pasar tradisional. Bagi mereka, pasar tradisional adalah sebuah tempat “asing”, yang karenanya “menarik” untuk diabadikan dalam gambar, dan kemudian dipajang dalam sebuah pameran.

Tentu ada kesenjangan dalam memahami makna pasar tradisional antara para penggagas acara kesenian itu dengan para pedagang. Bagi para pedagang, pasar mereka memang telah jadi bagian dari aktivitas sosial yang sulit buat dipisahkan. Lingkungan pasar bukan semata-mata lingkungan ekonomi buat mereka. Tapi juga merupakan lingkungan sosial yang membuat mereka punya alasan tambahan untuk bertahan di dalamnya.

Tapi bagi para penggagas acara kesenian di pasar, pasar tradisional adalah sebuah tempat yang “seksi” buat pentas atau buat menggelar acara yang kemudian dikaitkan dengan “keluhuran budaya” atau mitos-mitos tentang pasar tradisional sebagai “salah satu pusat tumbuhnya kebudayaan di Surakarta”. Mungkin pasar tradisional bagi mereka sama saja dengan tempat pentas lain yang menarik buat dijajal. Sama dengan mall, gedung bertingkat, sanggar kesenian, atau tempat lainnya. Pasar tradisional bukan sebuah tempat yang “ideologis” bagi para event organizer budaya di Solo. Ia cuma salah satu pilihan yang jika dianggap “menguntungkan” bisa diambil, bisa pula tidak.

Maka, apakah dengan begitu, acara seni di pasar tradisional itu tak berguna? Saya tak berpendapat demikian. Acara macam begitu perlu dan sah saja dilakukan. Cuma, tujuannya mungkin tak usah muluk-muluk. Tak usah mematok tujuan “meningkatkan eksistensi pasar tradisional” atau “melestarikan warisan budaya luhur dari para pendahulu”. Tujuan-tujuan itu barangkali sudah basi. Dan, para pedagang pun tak terlalu menghiaraukannya. Sebab tanpa pentas seni macam itu, para pedagang di pasar pastilah punya cara melestarikan tempat mereka mencari penghidupan.

Saya lebih suka memandang acara demikian sebagai acara yang “ringan”. Bagi saya, pentas seni macam apapun yang dilakukan di pasar, tak perlu dibebani hasrat yang muluk-muluk yang sering dijadikan topeng buat memoles acara itu dan membuatnya kelihatan “filosofis”. Acara pentas di pasar itu lebih baik dimaknai sebagai hiburan saja. Ya, pada dasarnya memang yang menarik menointon pertunjukan macam itu adalah unsur hiburannya, bukan unsur “serius” lainnya.

Ketika melihat tari tradisional yang saya ceritakan di awal, orang tak sedang menikmati tari tradisional. Mereka seang menikmati liukan tubuh dan goyangan dari para penarinya yang “banci”. Bukan makna filosofis yang dicari para pedagang, tapi sesuatu yang menghibur. Dan sesuatu yang menghibur itu datang dari kerling mata penari, senyuman genitnya, dan adegan kejar-kejaran mereka dengan penonton.

Baramgkali kita mesti menerima, di hadapan orang awam, seni—yang kadar seninya berada dalam “level tinggi” sekalipun—hanya akan diperlakukan sebagai “hiburan”. Mereka menonton untuk membuat jeda sejenak dengan kehidupan mereka yang mungkin penat dan membosankan. Karena itu, tari tradisional barangkali fungsi dan maknanya akan sama dengan sinetron atau berita perceraian Ahmad Dhani. Semuanya bercampur menjadi sebuah “pembatas” yang membawa orang-orang jadi terpisah sejenak dengan kehidupan real mereka.

Jadi, lain kali, kalau saya melihat pertunjukan seni yang digelar di pasar tradisional yang membawa misi “untuk melestarikan kebudayaan leluhur” atau “meningkatkan eksistensi pasar tradisional”, maka saya mungkin tertawa kecut. Sama kecutnya ketika saya mendengar para pembuat sinetron religi berdalih sinetron mereka akan memberi “pendidikan religius” pada para pemirsa.

Sukoharjo, 19 Mei 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP