Ternyata Orang Gila Tidak Kompak

>> Sunday, April 22, 2007




Hari ini adalah Hari Kartini. Saya yakin sejak kemarin sampai lusa, seluruh topik pembicaraan di televisi pasti akan mengarah pada satu sosok: Kartini. Di media massa lainnya pun hal itu akan terjadi. Di blog ini, saya tak ingin ikut latah pada budaya ”mengenang sesaat setelah itu lupa lagi” itu.

Tapi isi tulisan saya yang saya buat tepat pada 21 April 2007 ini sedikit-sedikit ada hubungannya dengan Kartini (atau mungkin saya saja yang menghubung-hubungkan). Saya ingin menulis tentang atau mengomentari sebuah buku unik yang baru saja selesai saya baca. Lalu, di mana kaitan buku itu dengan sosok Kartini? Kaitannya: pengarang buku itu perempuan. Dan kalau dulu Kartini menulis surat untuk mengekspresikan gagasannya, maka perempuan penulis buku itu mengekspresikan gagasannya dengan menulis buku.

Perempuan itu namanya Arini Hidajati. Bukunya berjudul Wong Edan. Apa yang unik dari buku ini, selain judulnya? Buku ini berisi kumpulan tulisan yang panjangnya variatif: dari seperempat halaman sampai dengan enam setengah halaman. Keunikan utama dari buku ini adalah ketidakjelasan masuk kategori mana buku ini. Dalam buku ini memang ada semacam ”cerita”, sehingga saya pertama-tama mengategorikannya sebagai fiksi. Meski tulisan-tulisan dalam buku ini tidak memiliki kaitan langsung dan bahkan tidak masalah bila dibaca meloncat-loncat, tapi tulisan-tulisan di Wong Edan tetap membuat satu simpul merah: cerita tentang relegiusitas dari oragng gila alias wong edan. Karena itulah, ada semacam “cerita” dari buku ini.

Tapi buku ini juga bisa diartikan lebih dekat pada non fiksi bila kita menganggap tulisan-tulisan di dalamnya sebagai ”perenungan”, dan bukan cerita. Adapun cerita dalam buku ini tidak merupakan “inti cerita” tapi merupakan bagian dari “perenungan”. Cerita-cerita di dalam Wong Edan bisa jadi hanya merupakan simbol yang harus ditafsir untuk dapat mengerti makna dari cerita yang dikisahkan.

Tulisan-tulisan yang saya maksud sebagai perenungan adalah tulisan macam ini:
dulu, aku menemukannya bagai sang sufi, memaku jiwanya dalam kehidupan yang ketat, dalam keranjang ibadahdan rangkaian doa, bagai bunga harum mewangi yang ia sematkan dikening sang malam, menyatukan jiwa dalam wajah Sang Kekasih,.

Di kutipan itu kita melihat penulis bercerita tentang seseorang yang ia temukan ”bagai sang sufi”, tapi kemungkinannya, cerita macam itu hanyalah awalan untuk membangun kelogisan perenungan tentang sosok yang selalu diasosiasikan sebagai wong edan. Bait perenungan lain dalam buku ini juga bisa ditemukan dalam kutipan berikut:
’Aku adalah gusti allah’ serunya di suatu hari, dan orang-orang mendenagrnya, mengatakan dengan segera ia telah gila, atau ketika sang suami memerah mukanya dan berkata, ’engkau tidak boleh berkata seperti itu, itu dosa!’

Saya mencium bau pemikiran Al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar dalam paragraf di atas. Pemikiran yang saya maksud, kita tahu, adalah pemikiran tentang ”manunggaling kawula gusti” di mana seorang hamba akan mampu mencapai derajat bersatu dengan Tuhan. Paragraf semacam itu bertebaran di atas lembaran kertas buku ini. Maka, akhirnya saya cebderung menyebut buku ini sebagai “kumpulan perenungan” dan bukan novel, kumpulan cerpen, atau kumpulan puisi.

Kalau Wong Edan adalah “kumpulan perenungan”, perenungan seperti apa yang ada dalam buku itu? Nampak sekali Arini sedang merenung tentang perilaku orang gila dalam memaknai hidup dan mencapai Tuhan. Kegilaan seseorang, pada dasarnya bisa terjadi karena perenungan yang mendalam tentang kehidupan dan Tuhan. Keinginan menggali makna hidup dan mencapai Tuhan inilah yang membuat seseorang melakukan pengembaraan tiada akhir alias menggelandang. Dan dalam banyak kasus, gelandangan yang tak tentu arah, sering diasosiasikan dengan wong edan.

Dalam banyak bagian buku ini, Arini menyebut wong edan atau orang yang dianggap edan oleh orang normal, adalah orang yang paling tinggi tingkatan religiusnya. Ia menyebut mereka sebagai orang yang mampu meninggalkan badan wadaknya dan hanya mementingkan jiwanya. Agaknya, jiwa, Tuhan, dan perenungan serta pengembaraan mencari makna hidup yang tak usai adalah tema besar buku ini.

Dari tafsiran saya itu, terlihat betapa buku ini hendak mengangkat sesuatu yang “besar” atau bahkan “agung”. Dalam buku ini, orang-orang normal yang belum mampu mencapai tingkat religius tertentu, mereka yang masih mementingkan dunia, mereka yang masih terkurung dalam jasadnya, hadir secara negatif dan cenderung “dicemooh”. Simak kutipan ini:
“...si gila menurut mengikuti tarian sembah puji orang-orang yang tidak gila, tubuhnya menyatu dengan tubuh mereka, kakinya merapat bersama kaki mereka, namun jiwanya telah membumbung ke batas kesadaran langit, sementara kusaksikan jiwa-jiwa di sampingnya meringkuk terpenjara dalam ruang yang bernama tubuh.”

Tendensi macam ini adalah tendensi “perenungan yang tradisional”. Perenungan macam itu adalah perenungan tentang hal-hal besar: Tuhan, hidup, jiwa, dan pengembaraan lainnya. Maka, kita mungkin telah menemukan hal ini dalam bait-bait Kahlil Gibran. Atau mungkin Arini ingin sedikit banyak mencontoh “kesuksesan” Kahlil Gibran? Pemakain “tokoh” orang gila juga pernah dipakai oleh filsuf Prusia, Nietzsche, dalam telaah filsafatnya yang penuh bahasa lambang yang membingungkan. Bedanya, Nietzsche memakai orang gila untuk “membunuh” Tuhan, tapi Arini memakai orang gila untuk “menggapai “ Tuhan.

Lucu juga, ternyata orang gila tidak kompak.

Sukoharjo, 21 April 2007
Haris Firdaus

2 comments:

Anonymous October 18, 2007 at 10:17:00 PM GMT+8  

yang pasti arini selalu mencerahkan dengan tulisan-tulisanya, tidak soal fiksi ataupun non-fiksi tulisan itu. terima kasih ada arini yang 'gila' itu.

Anonymous July 10, 2008 at 4:33:00 PM GMT+8  

Saya pernah baca 2 buku Arini: Rumput-rumput tak mau kering dan Jiwa-jiwa pecinta. Saya suka keduanya. Menyentuh. Tapi sayang, saya tidak bisa menemukan kedua buku itu lagi, padahal saya ingin sekali memiliki/ membelinya. Maklumlah, yang satu saya baca di perpustakaan dan yang satu dipinjem teman dan nggak kembali. Kira2 mas tau dimana saya bisa mendapatkan kedua buku tersebut?

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP