Memahami Lawan Jenis Kita

>> Sunday, April 22, 2007

(dari Diskusi Komunitas Depan Pintu)




Siang itu (16/7) kemarin, saya dan beberapa kawan berkumpul untuk berdiskusi. Diskusi yang kami gelar sebenarnya merupakan sebuah sarana untuk kembali menggiatkan diskusi di kampus kami. Tapi apa daya, diskusi itu tetap saja dihadiri oleh segelintir orang: awalnya ada 5, tapi sampai akhir yang bertahan cuma 4. barangkali ini adalah realitas betapa miskinnya kemauan dari mahasiswa di kampus saya untuk mengolah pikirannya dan menambah wawsannya. Tapi ya, sudahlah.

Hari itu saya berdiskusi tentang “Komunikasi Gender”. Meski saya kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, tema Komunikasi Gender merupakan tema yang baru bagi saya. Sebab, jurusan saya memang lebih fokus pada Komunikasi Massa, sedangkan Komunikasi Gender (terutama dalam tema yang kami angkat) lebih banyak terkait dengan komunikasi interpersonal, ataupun komunikasi kelompok. Maka, ketertarikan tema itulah yang membuat saya tak beranjak dari awal hingga akhir diskusi.

Kembali ke tema. Komunikasi Gender merupakan komunikasi antar lawan jenis, misal antara pria dan wanita atau sebaliknya. Dalam cakupan tema kami, tak termasuk kaum di luar dua jenis kelamin itu, misal homo, lesbi, dan sebagainya. Pada dasarnya, komunikasi gender menjadi menarik dipelajari karena ternyata ada perbedaan-perbedaan yang mendasar antara cara berkomunikasi laki-laki dan cara berkomunikasi perempuan.

Perbedaan ini telah dengan sangat baik diidentifikasi oleh Psikologi. Menurut seorang kawan (yang hari itu kebagian memberi pengantar diskusi), perbedaan kecenderungan pemakaian bagian otak oleh laki-laki dan perempuan menyebabkan pola-pola komunikasi yang diterapkan oleh keduanya menjadi berbeda. Perempuan konon (menurut Psikologi), cenderung lebih banyak menggunakan otak kirinya yang penuh dengan “kekuatan” menghafal dan berpikir sistematis. Sedang laki-laki lebih banyak menggunakan otak kanannya yang dominan dengan kemampuan geraknya.

Perbedaan lain secara biologis adalah jumlah saraf penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Pada perempuan, saraf penghubung dua belahan otak itu jumlahnya lebih banyak daripada pada laki-laki. Alhasil, konon, perempuan lebih mudah menggunakan kedua belahan otaknya sekaligus. Jadi, seorang perempuan pada dasarnya bisa melakukan dua kegiatan berbeda dalam waktu bersamaan.

Sedangkan laki-laki, menurut kawan saya, cenderung harus terfokus pada satu pekerjaan saja. Ketika pekerjaan itu telah selesai, baru ia bisa bekerja yang lain. Selain hal itu, pola-pola komunikasi perempuan dan laki-laki juga tampak berbeda bila dilihat dari tujuan berkomunikasi. Kebanyakan perempuan berkomunikasi untuk mengekspresikan saja. Sedang laki-laki, ketika berkomunikasi, ia cenderung berusaha menyelsaikan masalah. Topik pembicaraan “favorit” antara laki-laki dan perempuan juga berbeda. Laki-laki konon menyukai pembicaraan tentang uang, bisnis, atau olah raga misalnya. Tapi perempuan cenderung menyukai pembicaraan tentang hubungan. Nah, benar gak sih?

Yang jelas, perbedaan pola komunikasi antar lawan jenis membuat sering terjadi ketidakcocokan antara laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi, laki-laki dan perempuan ternyata memiliki semacam “siklus emosi”. Yang dimaksud dengan “siklus emosi” adalah semacam siklus rutin di mana emosi laki-laki dan perempuan akan mengalami kondisi tertentu seperti murung dan bahagia atau girang. Jadi, tiap laki-laki dan perempuan memiliki masa “kegirangannya” dan masa “kemurungannya”. Siklus ini konon sangat memengaruhi perilaku dan hasil kerja seseorang. Seorang mahasiswa yang melakukan ujian dalam masa kemurungannya, konon hasilnya akan lebih buruk sekitar 15-20% dari apabila ia melakukan ujian saat ia mengalami masa kegirangan.

Siklus emosi laki-laki memiliki waktu sekitar 35 hari dan ditandai dengan “mimpi basah”. Selama seminggu sebelum mencapai 35 hari, laki-laki biasanya akan mengalami masa kemurungan. Bagi perempuan, siklusnya 25 hari (kalau saya tidak salah ingat) dan ditandai denga menstruasi. Seminggu sebelum menstruasi, biasanya perempuan akan mengalami masa kemurungan. Sedangkan bila telah melewati siklus masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan akan mengalami masa kegirangan.

Parahnya, adalah apabila seorang lelaki dan perempuan mengalami masa kemurungan bersama-sama, maka akan timbul perselisihan yang dalam beberapa kasus dalam rumah tangga bisa menimbulkan perceraian. Lalu, bagaimana nih?

Diskusi kami kemudian mulai membahas istilah “baru”: “Genderflex”. Istilah ini secara bebas bisa diartiakn sebagai menggunakan pola-pola komunikasi lawan jenis secara sementara untuk meningkatkan peluang berkomunikasi dan menjalin keharmonisan. Untuk sampai pada tahap ini, seorang harus memahami dulu “bahasa lawan jenis” yang dimiliki pasangan mereka. Barulah setelah paham, ia bisa secara sementara berkomunikasi dengan bhasa lawan jenisnya. Hal ini penting agar antara dua lawan jenis yang sedang berkomunikasi bisa terjalin keharmonisan, dan meminimalisir kasus percekcokan antar lawan jenis.

Diskusi kami terus berjalan ngalor-ngidul: dari mulai asal kata “genderflex”, sampai soal berkomunikasi ala cewek tomboy. Begitulah, akhirnya diskusi diakhiri dengan rerasan tentang kondisi kampus kami yang masih sepi dan menyedihkan ini. Yang jelas, meski tanpa pengikut yang banyak, saya dan kawan-kawan tak ingin merengek. Sebuah perjuangan, memang dimulai dengan langkah kecil, dalam jumlah yang kecil pula.

Sukoharjo, 17 April 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP