Masihkah Sastra (Bisa) Menarik?

>> Monday, April 30, 2007



Ketika membuka-buka lembaran Koran Solo Pos edisi Minggu (22/4) kemarin, saya menemukan sebuah tulisan tentang sastra yang cukup “provokatif” dan menggelitik. Judul tulisan itu adalah “Sastra Tak Lagi Menarik”. Penulisnya adalah Yunanto Sutyastomo, seorang yang mengaku sebagai pemerhati sosial dan budaya yang tinggal di Solo.

Inti tulisan Yunanto adalah pendapatnya tentang kondisi sastra di Indonesia kontemporer yang dianggapnya tidak lagi menarik. Adapun indikator ketidakmenarikan Sastra Indonesia dewasa ini adalah karena pertama, sastra tidak lagi diperbincangkan sebagai cerminan kehidupan yang nyata di dalam masyarakat. Kedua, sastra tidak lagi dilihat sebagai sebuah faktor yang berpengaruh besar dalam menghadapi kehidupan yang serba sulit saat ini.

Adapun pangkal soal yang menjadi sebab permasalahan ini, menurut Yunanto, bersumber dari kondisi internal Sastra Indonesia sendiri. Dari pembacaan saya, ada beberapa kondisi internal sastra kita, yang menurut Yunanto, menyumbang “kemerosostan” di bidang sastra. Pertama, sastrawan kita yang selama berpuluh tahun cukup punya peran dalam kehidupan sosial, kini mulai kehilangan peran atau malah sengaja “menghilangkan” perannya sendiri. Para sastrawan, meminjam istilah Yunanto, terjebak dalam persoalan identifikasi profesi. Para sastrawan kita kini, kebanyakan bukan lagi seorang intelektual yang memiliki wawasan dan juga peranan dalam kehidupan sosial.

Kedua, minimnya kritikus sastra yang berkualitas. Hal ini telah banyak dibahas oleh Saut Situmorang sebenarnya, saat hingar bingar sastra cyber beberapa tahun lalu. Kritikus sastra di Indonesia sekarang, kebanyakan bernaung di media massa dan tidak mampu melahirkan kritik sastra yang mendalam dan mencerahkan. Ketiga, pendidikan formal sastra di Indonesia yang juga bermasalah. Alih-alih memiliki dampak positif terhadap kondisi sastra kontemporer, pendidikan formal sastra oleh Yunanto dianggap sebagai bagian yang ikut andil dalam memperburuk kondisi sastra kita.

Selesai membaca tulisan itu, saya kemudian bertanya: benarkah kondisi sastra kita sedemikian memrihatinkan sekarang? Padahal, sastra kontemporer kita kini mungkin dari segi kuantitas mengalami lonjakan yang luar biasa. Perkembangan teknologi membuat segala media yang ada dari mulai koran, majalah, internet beserta turunannya, bisa dimanfaatkan sebagai ruang sosialisasi karya dan diskusi sastra. Tapi, jangan-jangan Yunanto benar bahwa lonjakan kuantitas ternyata belum juga berdampak pada “daya tarik” sastra terhadap kebanyakan masyarakat.

Saya mengamini Yunanto bahwa Sastra Indonesia kontemporer memang miskin polemik. Perdebatan dan perkembangan pemikiran tentang sastra barangkali bisa dikatakan jalan di tempat. Meski hal ini tidak berdampak pada jumlah karya yang dihasilkan. Sebab, kebanyakan penulis kita mungkin saja “lebih mementingkan untuk terus berkarya” dari pada susah-susah ikut memikirkan nasib sastra sekarang. Maka, akan lebih banyak acara sastra yang diisi dengan launching karya dibanding diisi dengan refleksi tentang kondisi sastra kontemporer.

Soal kritikus sastra yang minim di Indonesia, saya belum bisa mengamini. Tapi menurut Saut Situmorang, kritikus sastra di Indonesia memang sudah sangat langka. Menurutnya, yang memegang kendali atas evaluasi karya sastra sekarang bukan para kritikus tapi para redaktur sastra media massa umum. Hal ini akhirnya berdampak pada perkembangan pemikiran sastra yang kurang mengalami kemajuan. Kalau para sastrawan sibuk berkarya, para kritikus entah sibuk apa, sehingga hingar bingar perdebatan sastra yang pernah terjadi di masa lampau seperti perdebatan realisme sosialis versus humanisme universal dan pengadilan puisi tahun 1970-an tidak lagi ada.

Meski begitu, saya tidak sepesimis Yunanto. Benar kebanyakan sastrawan kita tidak lagi memiliki peranan dalam persoalan sosial. Tapi, masih tersisa sedikit sastrawan yang punya andil dalam kehidupan sosial kita. Sebut saja Radar Panca Dahana yang giat menulis tentang berbagai fenomena sosial, Goenawan Mohamad yang menjadi ikon kebebasan pers di Indonesia, atau Afrizal Malna yang setahu saya aktif di Jaringan Miskin Kota. Saya juga tidak yakin bahwa karya-karya sastra kontemporer kita adalah karya yang “jauh” dari realitas sosial. Setidaknya, kebanyakan cerpen di Kompas justru berbahan baku realitas sosial.

Mengenai peranan sastra dalam kehidupan sosial, memang sulit untuk mengukurnya. Kita pernah punya Taufik Ismail saat protes tahun 1966, Rendra, atau Wiji Thukul yang dianggap dan dikenang “berjasa” dengan karya-karya mereka. Sekarang, setelah Wiji Thukul, kita punya siapa?

Kalau membandingkan kondisi sastra sekarang dengan tahun 1960-an, terlihat kntras yang tajam dalam kehidupan sastra. Sekitar tahun 1950-an sampai 1960-an, sastra hampir selalu terlibat dalam politik dan juga kehidupan sosial. Hampir tiap parpol saat itu memiliki harian yang berfungsi sebagai “lembar kebudayaan” dan otomatis memuat karya sastra. Sastrawan dan sastra saat itu dianggap penting sebagai salah satu alat yang bisa menarik massa. Memang kondisi ini tidak ideal karena sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat dan kehilangan otonominya. Tapi, setidaknya, kondisi demikian menunjukkan bahwa sastra punya “gengsi” dan “wibawa” di hadapan politik. Tapi sekarang, masihkah kekuatan politik memperhitungkan sastra? Masihkah para aktivis menggunakan sastra sebagai medium perjuangan? Masihkah rakyat kecil membaca sastra sebagai hiburan dan mencari inspirasi darinya saat kehidupan makin sulit?

Secara pribadi, saya masih menganggap sastra sebagai sesuatu yang penting, setidaknya bagi saya. Tapi, bagi orang-orang di luar sastra, adakah sastra masih diperhitungkan? Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang tidak menganggap penting sastra. Kita tidak bisa terus beretorika bahwa sastra memiliki peranan untuk mengembangkan jiwa, memperluas imajinasi dalam menjalani kehidupan, atau sebagai alat perubahan yang efektif. Tidak, kita sudah kenyang dengan kata-kata macam itu. Yang diperlukan sebenarnya adalah menunjukkan bukti bahwa sastra itu penting dan masih bisa penting serta menarik. Tapi, bagaimana?

Sukoharjo, 22 April 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP