Chairil yang (Juga) Dilupakan

>> Sunday, April 22, 2007



Ada yang mengatakan bulan April adalah milik Chairil Anwar. Pendapat seperti ini muncul karena Chairil meninggal di bulan April dan ketika bulan itu datang, ingatan orang Indonesia terutama publik sastranya selalu tertuju pada penyair yang tidak bosan-bosannya dijuluki sebagai “binatang jalang” ini. Sering kita melihat berbagai pertunjukan, acara, diskusi, dan entah apalagi yang diadakan untuk mengenang atau memeringati Chairil Anwar.

Tahun ini, akankah fenomena demikian terulang? Agaknya iya, setidaknya di Solo, tempat kelahiran saya. Di Solo, beberapa acara yang “berbau” Chairil telah siap dan di antaranya sudah terlaksana. Dimulai dengan penerbitan Buletin Sastra Pawon Edisi 4 yang di covernya ada muka Chairil sedang merokok (wajah yang kini jadi pasaran). Uniknya, di cover buletin sastra itu tertulis begini, “(Bukan untuk) Memperingati Chairil...”.

Saya tidak terlalu paham maksud tulisan itu. Sekedar mencari ungkapan yang berbeda, atau ada maksud yang benar-benar terkandung dan hendak disampaikan. Sebab nyatanya, di isi buletin itu terdapat dua esai yang berbicara tentang Chairil. Jadi pertanyaanya, kalau “bukan mau mengenang Chairil”, lalu mau apa? Dua esai yang dimuat dalam buletin itu adalah pertama, esai karya TD Ginting yang berjudul “Pertem(p)u(r)an Chairil Anwar dengan Tuhan”. Kedua, esai karya Bandung Mawardi berjudul “Tentang Chairil: Ingatan atau Pembicaraan yang Belum Selesai”.

Esai pertama adalah esai yang sudah “umum”: berusaha mengenang Chairil dari beberapa aspek, seperti segi bahasa puisi Chairil dan soal pertemuan atau pertempuran (dalam esai ini dua kata tersebut coba digabungkan atau malah dirancukan dengan kata “pertem(p)u(r)an”) dengan Tuhan. Seperti yang sudah-sudah, TD Ginting berbicara soal gaya bahsa Chairil yang lepas dari Pujangga Baru, soal semangat yang dikandung dalam Aku, dan (ini yang sedikit berbeda) berbicara soal pertem(p)u(r)an Chairil dengan Tuhan.

Sedikit yang membuat saya bertanya-tanya adalah klaim Ginting tentang “kekalahan” Chairil dalam pertem(p)u(r)an dengan Tuhan. Pertanyaan itu timbul karena Ginting mengambil kesimpulan itu setelah mencoba menafsir sajak Derai-Derai Cemara. Agaknya, Ginting begitu yakin kalau Derai-Derai Cemara memang berbicara soal Tuhan. Tapi sayang, ia tak menyatakan dengan jelas kenapa ia mengambil kesimpulan demikian. Simak kalimat Ginting: “Beberapa sajak ketuhanan tersebut adalah ‘Di Mesjid, ‘Doa’, dan ‘Derai-DeraiCemara’”.

Sajak Di Mesjid dan Doa tanpa penjelasan pun kita tahu keduanya merupakan sajak yang berbicara soal Tuhan. Sebab ada pemakaian kata ganti “Dia” (dengan d besar) atau malah kata-kata “Tuhan” muncul di sana. Tapi pada Derai-Derai Cemara, tak ada kata yang mencoba membangun gambaran tentang hubungan dengan Tuhan secara eksplisit. Maka, dibutuhkan penjelasan yang memadai untuk mengatakan bahwa sajak itu merupakan gambaran “pertem(p)u(r)an Chairil dengan Tuhan”.

Di esai yang kedua, Bandung Mawardi berbincang tentang soal yang sedikit berbeda. Ia menyoroti ingatan masyarakat Indonesia tentang Chairil yang begitu kuat dan bahkan cerita-cerita tentang Chairil yang hampir jadi mitos. Tapi Bandung menyayangkan pemhaman yang “secuil” tentang Chairil. Ingatan kita pada penyair ini memang dibentuk oleh buku pelajaran sekolah yang akhirnya, meminjam kata-kata Bandung, “menjadi pengetahuan yang kurang konstruktif”. Bandung juga menulis tentang peran negara yang berusaha mengkonstruksi puisi-puisi Chairil sebagai puisi nasionalisme dan pada akhirnya mengabaikan pembicaraan tentang estetika terhadap puisi Chairil.

Selain menyoroti soal itu, Bandung juga (menurut pendapat saya, sebenarnya ingin) berbicara mengenai “tenggelamnya” nama lain dalam bidang puisi karena “kebesaran” Chairil. Para penyair Indonesia yang sebenarnya memiliki peran besar dalam perpuisian Indonesia menjadi dilupakan masyarakat. Simak kalimat Bandung: “Kondisi yang tragis dan itu bisa dikomentari dengan menghubungkannya dengan nama Chairil Anwar. Nama penyair ini diucapkan dalam hitungan tak terbatas. Nama ini akhirnya menghuni kepala-kepala siswa dan mahasiswa. Nama-nama penyair yang lain mungkin tidak diterima karena kepala sudah penuh data: nama-nama artis, nama-nama perempuan, atau laki-laki....” Dalam penggalan di atas, kondisi tragis yang dimaksud Bandung adalah dilupakannya nama-nama penyair kontemporer kita oleh siswa dan mahasiswa.

Di sini, Bandung tampak ragu-ragu. Dalam kalimat “Kondisi yang tragis dan itu bisa dikomentari dengan menghubungkannya dengan nama Chairil Anwar” ia tampak ingin mencari korelasi antara ingatan yang kuat tentang Chairil dengan dilupakannya nama-nama penyair lain. Tapi setelah lewat dua kalimat, Bandung malah menyalahkan penyebab lain atas dilupakannya nama penyair-penyair Indonesai selain Chairil oleh kebanyakan masyarakat (Ingat kalimat ini: “Nama-nama penyair yang lain mungkin tidak diterima karena kepala sudah penuh data: nama-nama artis, nama-nama perempuan, atau laki-laki....”).

Keragu-raguan ini mungkin karena terasa tak adil apabila terlalu mengaitkan ingatan tentang Chairil dan ketidakingatan tentang penyair-penyair kontemporer kita. Lebih tidak adil lagi rasanya apabila kita berpendapat bahwa ingatan yang kuat (atau terlalu kuat) tentang Chairil adalah penyebab dilupakannya penyair-penyair kontemporer kita. Tapi yang perlu diingat adalah ingatan masyarakat umum tentang Chairil adalah lebih banyak merupakan ingatan tentang aspek-aspek di luar estetika puisi Chairil. Ingatan itu adalah ingatan tentang tanggal lahir, ingatan tentang wajah, ingatan tentang “binatang jalang”, atau lainnya lagi. Sedikit mungkin dari orang-orang yang tidak mendalami sastra akan tahu bahwa estetika puisi Chairil melenceng jauh dari estetika Pujangga Baru dan itulah sebabnya ia dikenang sebagai “Pelopor Angkatan 45”, misalnya.

Jadi dalam hal ingatan tentang estetika puisi, agaknya Chairil yang tiap tahun diperingati pada bulan April itu, punya kedudukan yang sama dengan para penyair kontemporer kita: dilupakan.

Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP