Jadilah Putih, dan Tunggu Hasilnya!

>> Monday, April 30, 2007



Apakah anda percaya kalau masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terlampau “terpesona” pada barat? Ada cukup banyak ahli yang berfatwa soal itu. Kita tahu dalam perbincangan global, negara kita adalah negara yang masuk kategori regional “dunia ketiga”. Sedang yang dimaksud dengan “barat” adalah AS dan negara-negara Eropa lainnya, yang dalam perbincangan acapkali disebut sebagai “dunia pertama”. Penyebutan inipun sebenarnya menandakan semacam inferioritas: rasa kerdil diri di hadapan negara barat.

Keterpesonaan lainnya bisa ditemukan dalam ranah bahasa. Seorang ahli bahasa dari sebuah negara Eropa (yang jelas bukan Inggris), pernah menulis di Kompas tentang campur aduk bahasa Inggris-Indonesia yang digunakan masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan. Saking campur aduk dan tidak jelasnya, si ahli itu kemudian menyebut bahasa “baru” tersebut sebagai “Inggronesia”. Yang menarik bahasa macam begini ini tidak ada rumus bakunya. Artinya, tidak ada panutan kapan harus menggunakan kata Indonesia dan kapan hendaknya menggunakan kata Inggris.

Kita mengenal frasa “ruang meeting”. Atau ungkapan “Yuk dinner!”. Kemudian banyak lagi ungkapan gabungan Indonesia-Inggris. Dalam praktek berbahasa di media massa, Inggronesia muncul di tulisan-tulisan Chaterine Siswoyo, seorang mahasiswi Indonesia yang kuliah di Amrik (tebak, istilah Amrik ini kosa kata Inggris atau Indonesia!) yang tiap minggu menulis kolom di Suara Merdeka. Sebagai pengguna dwi bahasa, Chaterine terlihat “luwes” dan dengan seenaknya saja mencampur kalimat dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Meskipun lagi-lagi, tak ada aturan baku bagaimana melakukan mixing dengan baik.

Tapi ternyata selain dalam ranah bahasa, ada ranah lain yang menunjukkan keterpesonaan masyarakat kita terhadap barat. Dalam hal apa? Menurut Vissia Ita Yulianto, keterpesonaan masyarakat kita bisa dilihat dari kesadaran warna kulitnya. Dalam bukunya yang berjudul Pesona ‘Barat’: Analisa Kritis-Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, Vissia menguraikan dengan gamblang tentang “mimpi” sebagian besar perempuan kita yang ingin punya kulit putih.

Vissi mengawali kajian keterpesonaan terhadap warna kulit putih seperti yang dimiliki orang barat dengan membedah beberapa iklan pemutih kulit dan juga melakukan kajian tentang munculnya bintang film Indo dalam banyak sinetron dan film kita. Dalam kajiannya, Vissia menunjukkan kesadaran tentang kategori kecantikan dalam masyarakat kita yang mengalami pergeseran. Kalau pada tahun 1980-an, idealisme warna kulit perempuan Indonesia adalah kuning langsat, maka sejak tahun 1990-an idealisme ini berubah. Perubahan ini bisa ditandai dari bergantinya iklan produk Citra yang dulu memprogandakan kulit kuning langsat, sejak tahun 1997atau 1998 mulai berganti halauan dan mengeluarkan produk pemutih kulit. Demikian pula produk pemutih kulit lainnya mulai berlomba menawarkan mimpi tentang kulit putih.

Produk pemutih kulit ini, selain menawarkan kulit putih juga menawarkan “paket” yang bisa didapat bila seorang perempuan memiliki kulit putih. Banyak iklan yang menunjukkan adegan di mana seorang perempuan kulit putih akan lebih bisa diterima, lebih memesona, atau kariernya akan lebih berhasil dibanding mereka yang berkulit cokelat. Paket macam inilah yang kemudian juga menghiasi benak konsumen pemutih kulit di Indonesia. Pada akhirnya, kulit putih identik dengan keberhasilan, pesona, daya tarik, dan hal-hal yang berbau positif yang sangat didambakan perempuan. Iklan Caring Colours, salah satu produk pemutih, menunjukkan dengan baik “paket” macam ini dengan slogannya: Just White and See. Secara bebas, Vissia menerjemahkan slogan yang diplesetkan dari Just Wait and See ini dengan: Jadilah putih dan tunggu hasilnya.

Sebenarnya, cukup banyak pemikir perempuan yang telah bergelut dengan persoalan warna kulit. Tapi Vissia berbeda karena ia mengaitkan kesadaran warna kulit masyarakat Indonesia dengan sejarah penjajahan Belanda dan masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Bahkan untuk membuktikan terjadinya pergeseran standar kecantikan di Indonesia, Vissia melakukan analisis terhadap Kakawin, semacam kumpulan puisi dalam Bahsa Jawa yang dibuat ketika masyarakat Jawa belum bersentuhan dengan barat.

Hasil ananlisisnya menunjukkan bahwa dalam Kakawin terdapat berbagai idealisme tentang warna kulit dan kecantikan perempuan. Artinya, pergeseran itu makin nyata bila dikontraskan dengan kondisi sekarang. Vissia juga menghubungkan kajiannya ini dengan keterpesonaan masyarakat kita terhadap barat pada jaman lampau. Vissia mengambil Kartini sebagai informan dan menemukan bahwa masyarakat kita telah sejak lama mengagumi barat sebagai sumber kebebasan, sumber budaya, sumber peradaban, dan pintu gerbang pendidikan. Kesimpulan ini didapat setelah Vissia melakukan analisis terhadap beberapa surat Kartini yang ditujukan pada temannya yang Belanda. Vissia menangkap ambivalensi Kartini: di satu sisi membenci barat karena imperialisme dan kolonialisme, tapi di sisi lain terpesona dengan kebebasan berpikir dan kemajuan teknologinya.

Masa orde lama dianggap Vissia sebagai masa perlawanan terhadap pesona barat. Dipimpin Soekarno, Indonesia mulai menganggap barat secara lebih wajar. Tapi kesadaran ini berbalik ketika orde baru berkuasa. Barat kembali dipuja sebagai sumber teknologi dan peradaban. Kondisi inilah yang akhirnya membuat perempuan Indonesia sekarang lebih banyak terpesona pada barat. Tapi berbeda dengan keterpesonaan Kartini, keterpesonaan wanita jaman sekarang adalah terpesona pada hal yang remeh temeh: warna kulit dan gaya hidup dan sebagainya.

Secara umum, kajian Vissia menarik dan menyegarkan. Perspektif historis yang dimasukkannya sebagai pelengkap ananlisis merupakan sesuatu yang baru. Melalui buku ini, kita bisa belajar bahwa rasa rendah diri kita di hadapan negara barat ternyata bersumber sejak jaman kolonialisme. Mentalitas kita, meminjam ungkapan Vissia, ternyata belum beranjak benar dari mentalitas inlander meskipun kolonialisme sudah berakhir sejak tahun 1945.

Sukoharjo, 30 April 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP