Buang Air

>> Tuesday, April 10, 2007



Pada: sba

Memimpin itu seperti buang air: kita belum mencium bau kotoran kita, orang lain sudah menciumnya.

Saya masih ingat betul, kalimat di atas diucapkan oleh Gus Dur saat menghadiri sebuah debat calon presiden di tahun 2004 pada sebuah stasiun televisi. Kalimat itu, kata Gus Dur, ia kutip dari seorang pamannya yang juga seorang kyai. Saya menyukai kalimat itu, sebab ia menghadirkan sebuah metafora yang tak biasa.

Dalam kalimat itu, laku memimpin tidak hadir sebagai laku yang heroik, penuh kebanggaan, atau gagah. Ia justru hadir dalam sebuah tindakan yang sedikit jorok tapi harus dilakukan, sama seklai tidak heroik tapi harus kita akui kalau kita membutuhkan laku itu. Buang air memang bukan laku yang heroik, apalagi gagah. Ia adalah laku yang penuh kekurangan: bau kotoran yang kita buang ternyata lebih dulu tercium oleh orang lain daripada oleh kita.

Apa yang segera tampak adalah semacam kesilauan oleh diri sendiri: kesalahan yang kita buat seringkali tidak terlihat. Konsekuensinya, kita sering membutuhkan mata orang lain untuk melihatnya. Atau, membutuhkan hidung orang lain untuk mencium bau kotoran kita. Gejala semacam ini adalah sebuah gejala umum. Sebab sebagian besar dari kita mungkin dihiasi oleh semacam kebanggan terhadap diri sendiri, sebuah narsisme barangkali.

Dan kita tahu, sebuah kebanggaan adalah sebuah tabir yang membuat mata kita tak mampu melihat dengan awas, terutama untuk menilai diri sendiri. Ia membuat kita seolah-seolah telah melakukan banyak hal, mengorbankan sekian deret daftar kepentingan kita sendiri, atau membuat kita merasa telah “berdarah-darah” dalam melakukan sesuatu. Pendeknya, kebanggan seringkali membuat kita merasa telah melakukan sesuatu yang “besar”, “heroik”, dan “tak mampu dilakukan orang lain”.

Padahal, sesuatu yang kita lakukan barangkali tak lebih dari “buang air”. Sebuah kemestian yang harusnya kita lalui tanpa banyak cincong atau publikasi yang berlebihan. Sebuah kebutuhan yang kita lakukan tanpa pamrih, tanpa alasan untuk kepentingan sendiri. Ya, memimpin barangkali seperti itu, harusnya. Sebuah laku yang kita lakukan karena kebutuhan, bukan karena kepentingan. Sebuah laku yang, oleh karena itu, bersifat tulus.

Tulus dan tak lepas dari kesalahan, begitulah memimpin. Bersiap menjadi memimpin berarti bersiap menjadi orang yang “memberikan apa-apa tapi tak menerima apa-apa”. Bersiap menjadi pemimpin, juga berarti siap diperingatkan karena sebuah kesalahan yang kita secara tak sadar melakukannya. Atau, barangkali kita tak pernah merasa melakukannya.

Karena itu, memimpin buknlah laku yang heroik semata-mata. Ia juga sebuah laku yang penuh jebakan atas kebanggaan diri sendiri dan rasa percaya diri yang berlebih. Memang benar seorang pemimpin adalah seorang yang membutuhkan percaya diri dan ketegasan, tapi keduanya bisa saja merupakan bumerang. Sebab keduanya seringkali tampil sebagai pembenar atas berbagai tindakan kita yang sedang memimpin. Ketegasan yang kepercayaan diri tak senantiasa dibutuhkan. Yang lebih dibutuhkan adalah sebuah perasaan, sebuah penerimaan dan pengakuan diri bahwa kita sedang “buang air”.

Maka sebuah kewajaran apabila ada seorang kawan yang mengkritik kita atas sebuah tindakan kita dalam memimpin. Di sinilah metafora Gus Dur berlaku: mereka bisa saja memiliki indera yang lebih peka dan awas dari kita. Oleh karenanya, kritik itu sebuah hal yang biasa. Lebih dari itu, ia adalah benda yang sejatinya kita butuhkan.

Maka, tak usah mencari dan bertanya apakah seorang yang mengkritik kita itu bisa melakukan hal yang lebih baik. Bisakah mereka yang mengingatkan kesalahan-kesalahan kita itu mampu memimpin dengan lebih baik, bila ada dalam posisi kita. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, sebenarnya buknlah pertanyaan yang tulus. Ia adalah pertanyaan bertendensi. Ia mencoba mengajak kita untuk berapologi, dan parahnya, apologi macam itu adalah apologi yang salah.

Sebab kita justru mencari kelemahan dari orang yang melakukan kritik terhadap kita. Padahal tak seharusnya kita menyerang pribadi, tak seharusnya kita menyerang orang yang mengkritik kita, sekalipun kritiknya kita anggap tidak relevan. Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah mencari tahu benarkah kritik yang kita terima itu adalah kritik yang “benar” atau tidak. Kalaupun akhirnya kita tahu kritik yang kita terima ternyata tak berdasar, kita tak perlu menyerang orang yang mengeluarkannya. Sebab “penyerangan” dan penilaian negatif terhadap mereka yang mengkritik kita akan mengakibakan budaya kritik menjadi mati. Dan konsekuensinya amat parah: kita tak akan mampu lagi mencium kotoran kita.

Sukoharjo, 9 April 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP