Tubuh, Perempuan, dan Kesadaran

>> Saturday, March 10, 2007

Konon, berbicara soal tubuh saat ini, kita tidak hanya berbicara soal seonggok daging, tulang, dan otot, tapi juga sebuah simbol. Ini karena—lagi-lagi konon—tubuh di era iklan dan media massa yang menggila ini adalah sebuah komposisi tanda-tanda yang lazim digunakan oleh pemiliknya buat berkomunikasi. Tentu saja, pemaknaan yang dibentuk atas tubuh adalah sebuah pemaknaan yang hampir homogen dan dibentuk oleh mesin raksasa kapitalisme.

Kini, mungkin ada kategori-kategori makna atas bentuk tubuh tertentu. Terutama, bila tubuh itu milik perempuan. Entahlah, kenapa dalam sejarah, perempuan lebih banyak jadi masalah dan bahan telaah. Seolah ia adalah sumber diskusi dan bahan cerita yang tak akan habis digali. Sudah wajar agaknya, sebuah karya sastra atau penelitian mengambil tema “perempuan” dengan segala macam tetek bengeknya. Tapi, soal laki-laki? Agaknya orang akan bertanya, “Apa yang harus dibicarakan tentang laki-laki?” Barangkali tak ada. Tapi barangkali juga karena laki-laki adalah seorang yang hampir jadi dewa sehingga selalu berposisi sebagai “yang membicarakan” dan bukan “yang dibicarakan”. Tapi saya tak ingin bicara lagi soal patriarki atau femenisme di sini.

Saya ingin berbicara soal tubuh, terutama milik perempuan. Secara biologis, ia menarik bagi laki-laki—paling tidak di jaman purba. Tapi tubuh perempuan jadi menarik sekarang, bukan hanya faktor biologis atau anatominya. Juga karena iklan dan pencitraan. Dan makna “cantik” atau “seksi” yang sekarang dibuat jadi seragam. Tapi, benarkah hanya makna itu yang membuat tubuh perempuan menarik bagi laki-laki? Kita tahu tidak. Secara alamiah memang lelaki akan tertarik pada wanita. Tapi ketertarikan terhadap tubuh adalah ketertarikan yang relatif. Tergantung individu. Tapi mungkin sekarang tergantung iklan.

Saya tak yakin, sudahkah iklan juga merasuki laki-laki dan kemudian memengaruhi hasrat seksualnya. Sulit membuktikan itu sekarang. Tapi belajar dari sejarah, mungkin saja itu benar. Konon dulu, puluhan tahun yang lampau—di jaman sebelum ada iklan dan kapitalisme mutakhir—perempuan yang cantik adalah perempuan yang gemuk. Sebab perempuan yang demikian adalah “penanda kesuburan”. Kalau kesimpulan ini benar, maka saya bisa menarik kesimpulan lain: di jaman dulu, laki-laki akan terangsang hasrat seksualnya bila melihat perempuan yang gemuk.

Mungkin saja ini simplistis. Tapi begitulah logika sederhananya. Sekarang laki-laki tergoda secara seksual oleh perempuan yang dicitrakan “cantik” atau “seksi”: kulit putih, langsing, pantat bundar tebal, payudara besar, paha mulus, dan pinggul semampai. Saya hampir yakin hasrat semacam ini tak hanya timbul karena soal hormon tapi juga situasi sosial yang melingkupinya. Maka, kesimpulan saya, laki-laki jaman feodalisme dan kerajaaan dulu—terutama di Eropa—akan terangsang jika melihat perempuan yang gembrot, pipi tebal, perut buncit, dan jalannya lambat karena badannya terlampau berat.

Mungkin saja begitu. Tapi satu hal lagi yang bisa kita pelajari adalah bahwa “tubuh” hampir selalu dikaitkan dengan perempuan. Perempuan terpesona akan tubuhnya sendiri. Demikian pula laki-laki yang terpesona juga pada tubuh perempuan. Maka pembicaraan soal tubuh hampir menjadi pembicaraan soal perempuan. Tentu ini tak adil sebenarnya. Sebab dengan begitu, seolah perempuan hanya semata-mata soal tubuh. Seolah ia tak akan berarti tanpa tubuh yang “layak” sekarang. Seolah-olah potensi lainnya yang ia miliki tak lebih penting dibanding tubuh.

Persoalan itulah yang digugat seorang kawan saya ketika kami mendiskusikan “tubuh perempuan”. Bagi dia—yang perempuan—tubuh tidaklah selalu harus menjadi perhatian utama perempuan dan perhatian utama laki-laki ketika memandang perempuan, tapi ada juga potensi lain yang harus diperhatikan dan dipandang—baik oleh lelaki maupun perempuan sendiri. Kawan saya itu menyebut: intelektualitas dan moral.

Ia benar tapi tidak selamanya. Yang jarang disadari adalah bahwa perempuan seringkali menggunakan “tubuhnya” buat berkomunikasi. Dan “menggunakan tubuhnya buat berkomunikasi” otomatis berarti lebih menonjolkan tubuhnya di mata orang lain ketimbang potensinya yang lain. Saya kemudian memberi contoh yang dekat dengan kami: ada seorang kawan perempuan bernama Dede yang suka menuliskan namanya dengan “Dede Maniez”. Kawan lain—bernama Annisa—menuliskan namanya dengan “Nisa Imoedz”.

Ini adalah contoh konkret betapa tubuh—dalam hal ini memang cuma paras atau wajah—telah djadikan alat komunikasi. Yang menarik adalah kondisi itu terjadi tanpa disadari betul-betul. Sebab konstruksi sosial memang telah membuat perempuan menjadi makhluk yang “sah” dan “wajar” atau malah “harus” menonjolkan tubuhnya dan menyembunyikan potensi lain yang dimilikinya. Inilah yang pada akhirnya menimbulkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah komoditi.

Tapi seorang kawan lain kemudian bertanya: apakah salah bila seorang perempuan menjadikan tubuhnya sebagai komoditi? Ini soal yang sulit. Sebab umumnya diskusi berhenti pada tubuh yang menjadi komoditi. Soal salah atau benar, bila mau didiskusikan, akan jadi debat di abad pertengahan tentang apa itu “benar” dan apa itu “salah”. Pada akhirnya, itu kembali jadi soal pilihan individu masing-masing. Juga atas dasar apa pilihan itu diambil. Jawaban terakhir adalah: apakah tubuh yang jadi komoditi itu dipilih secara sadar? Kalau iya, maka silakan. Tapi, pertanyaan yang kemudian saya ajukan adalah: dalam kondisi yang bagaimana kita tahu bahwa kita sadar atau tidak sadar?

Sukoharjo, 9 Maret 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP