Minimnya Latar dan Peluang yang Hilang

>> Tuesday, March 13, 2007

(sebuah pembacaan atas "Matahari Bawah Tanah")

Sebuah prosa—baik cerpen atau novel—yang berusaha mengaitkan diri dengan ciri budaya tertentu, biasanya akan mengeksplorasi habis-habisan simbol, tempat, kejadian, atau apapun yang terkait dengan budaya itu. Dalam arti ini, budaya tidak selalu merupakan sebuah bagian dari suku, geografi, atau ras tertentu. Ia juga bisa merupakan bagian dari kelas sosial, golongan ekonomi, atau sebuah komunitas tertentu.

Sebuah prosa yang memilih mengaitkan diri dengan budaya tertentu, berarti ia menyediakan diri sebagai sebuah “penarik” bagi pembaca agar masuk ke lingkup budaya yang bersangkutan. Dalam “penarikan” itu, sebuah prosa akan memperkaya diri dengan narasi-narasi yang penuh dengan segala hal yang terkait dengan budaya yang bersangkutan. Karena itulah, seorang penulis prosa yang seperti itu harus melakukan sebuah eksplorasi.

Eksplorasi ini, misalnya, bisa dilakukan dengan membuat latar cerita yang mencerminkan kondisi geografis sebuah tempat budaya. Cara ini biasanya paling mudah membawa pembaca berimajinasi dan kemudian menyeretnya ke dalam lingkup budaya yang bersangkutan. Tapi memang ada cara lain untuk mengaitkan diri dengan ciri budaya tertentu. Perwatakan tokoh, simbol-simbol budaya, atau budaya yang dikait dilukiskan dengan narasi yang terang benderang, adalah cara eksplorasi yang bisa dipilih. Masing-masing cara dan kemampuan penulis akan memengaruhi apakah pembaca bisa “terseret” ke dalam pusaran arus yang diinginkan atau tidak.

Minggu (11/3) lalu, Suara Merdeka memuat sebuah cerpen yang—bagi saya—mencoba mengaitkan diri dengan ciri budaya tertentu. Cerpen karya Nugroho Suksmanto itu berjudul "Matahari Bawah Tanah". Semenjak awal paragraf pertama, cerpen ini telah kelihatan ingin mengambil latar peristiwa budaya Jepang, khususnya budaya pasukan tempurnya.

Simak kalimat ini: “Aku berharap jika kuhunus samurai ini, bukan lagi menjadi saksi tragedi, kepedihan tentara yang kalah perang,” terlepas kata-katanya saat meletakkan pedang penghias ruang.

Apa yang segera terlihat adalah bahwa cerpen ini ingin membawa kita “bertamasya” mengunjungi lika-liku budaya Jepang yang berkait erat dengan samurai dan tentara. Tapi, jelas bahwa setting waktu cerpen ini tak terjadi di jaman samurai. Sebab hanya di jaman modern sekarang, samurai dijadikan “pedang penghias ruang”.

Di paragraf selanjutnya, kita tahu bahwa kekalahan tentara dalam perang yang dimaksud adalah kekalahan pasukan Jepang melawan Sekutu pada Perang Dunia II—karena Nugroho menyebut soal bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Sampai di sini, ada dua cara eksplorasi yang telah dipakai Nugroho untuk membawa kita masuk ke lingkup budaya yang diinginkannya: pertama, dengan menyebut kata “samurai”. Kedua dengan menyebut kejatuhan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Melalui kata “samurai”, Nugroho mengeksplorasi simbol-simbol budaya dari pasukan tempur Jepang. Sedang melalui penyebutan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, Nugroho mengajak kita mengenang kembali momen kekalahan Jepang di Perang Dunia II.

Selain dua cara di atas, Nugroho melakukan eksplorasi lainnya: perwatakan tokoh yang dijadikan duplikasi perwatakan tentara Jepang. Tentu duplikasi ini adalah sebuah duplikasi atas stereotype alias cap. Bagaimanapun juga, tak semua pasukan Jepang memiliki perwatakan yang sama yang dilukiskan Nugroho melalui salah satu tokohnya: “Tunggu...biar anak kita mengerti apa yang harus dilakukan sebagai orang Jepang. Dia harus tetap sebagai anak matahari. Bukan lelaki Filipino yang mewarisi darahmu. Darah wanita penghibur. Dia anak prajurit, Anak tentara. Pasukan Armada Tempur ke-7 Wilayah Pasifik Selatan.”

Apa yang segera bisa ditangkap adalah watak tinggi hati, sombong, sembari merendahkan martabat bangsa lain. Padahal dari dialog itu pun kita tahu bahwa bangsa lain yang direndahkan itu pun sebenarnya adalah bangsa milik wanita yang telah melahirkan anaknya sendiri. Pelukisan watak yang seperti ini, sebenarnya belum tentu efektif membawa pembaca memasuki lingkup budaya Pasukan Militer Jepang. Alih-alih telah tahu lebih dulu, pembaca mungkin baru akan mendapatkan informasi soal watak sombong pasukan Jepang di jaman PD II dulu.

Ketiga cara eksplorasi di atas adalah cara yang dominan dilakukan Nugroho dalam cerpennya. Adapun eksplorasi atas kondisi geografis Jepang atau keadaan waktu PD II tidak banyak dilakukan. Hal ini mungkin karena setting cerpen yang ada di Filipina dan bukan Jepang. Namun sebenarnya, bila ingin, Nugroho pun bisa melakukan eksplorasi dengan pelukisan keadaan Filipina saat tentara Jepang menjajah di sana dan banyak meniduri wanita penghibur di sana untuk dijadikan istri kedua atau seterusnya. Pelukisan itu sebenarnya berpotensi membawa pembaca makin tercekam dengan suasana perang dan trauma pasca perang yang menjadi suasana dominan cerpen ini.

Namun eksplorasi ini tak dilakukan. Kemungkinannya ada dua: pertama, Nugroho, dalam cerpennya ini, memang tak berfokus pada latar tempat. Ini adalah kemungkinan yang paling mungkin. Sebab isi cerpen ini kelihatan sekali berfokus pada perwatakan tokoh yang berusaha dibangun dengan berganti-gantinya sudut pandang pencerita. Tercatat ada lima bagian dari cerpen ini yang menggunakan empat sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang orang ketiga digunakan dua kali. Sedangkan sudut pandang orang pertama hadir tiga kali dengan pergantian si “aku” dari tiga tokoh yang berbeda.

Kemungkinan kedua, Nugroho terbatasi oleh tempat yang tersedia. Cerpen yang dimuat di koran, bagaimanapun, pasti dibatasi oleh karakter koran yang punya space terbatas. Sehingga, mau tak mau, Nugroho pun terbatasi pilihan-pilihannya.

Kedua kemungkinan itu hanyalah kemungkinan yang mungkin terjadi atau mungkin pula tidak. Yang jelas, dengan memilih latar yang minim, Nugroho sebenarnya kehilangan peluang besar menyeret pembaca cerpennya memasuki dunia baru yang ia buat.


Sukoharjo, 12 Maret 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP