Sedikit Geliat Sastra di Solo

>> Wednesday, January 31, 2007

Kehidupan sastra di Solo kembali coba digeliatkan. Semangat itu terlihat, baru-baru ini, dengan terbitnya sebuah “media alternatif” yang berbentuk buletin. Namanya Pawon Sastra, dan diterbitkan oleh beberapa penulis muda Solo dari komunitas-komunitas sastra di Solo. Launching sederhana telah dilakukan pada 29 Januari kemarin yang diisi dengan diskusi tentang kelanjutan Pawon Sastra. Sejak awal, Pawon Sastra sudah dipenuhi berbagai “kepesimisan”. Tapi sikap itu juga bisa dilihat sebagai sebuah sikap realistis dari para penggagasnya. Masalah dana ditengarai akan menjadi masalah utama dalam penerbitan ini.

Maka, berbeda dengan beberapa terbitan sastra di Solo yang sudah almarhum, Pawon Sastra berusaha memberlakukan aturan yang ketat dalam distribusi. Buletin setebal 22 halaman ini, dijual dengan harga Rp. 1.000,- dan juga membuka diri bagi yang ingin berlangganan. Selain itu, dalam launching kemarin, muncul juga usulan untuk mengenalkan buletin ini ke kampus-kampus di Solo, terutama UNS. Usulan ini didukung oleh beberapa mahasiswa UNS yang datang dalam acara itu.

Mengenalkan Pawon Sastra ke kampus, boleh jadi sebuah usulan yang brilian. Bagaimana pun, menurut saya, mahasiswa adalah kaum yang paling potensial menjadi pembeli buku atau bahan bacaan lainnya. Meskipun harus diakui, minat mahasiswa—bahkan mahasiswa jurusan sastra sendiri—membaca sastra cukup rendah. Namun langkah mengenalkan Pawon Sastra ke kampus tetap perlu dicoba sebagai salah satu solusi atas kendala dana yang sejak awal seolah menjadi momok yang bakal menyebabkan buletin ini “menggulung tikar kembali”.

Pawon Sastra sendiri terdiri dari beberapa rubrik: esai, cerpen, puisi, dan profil penulis. Isi buletin ini sendiri cukup “sederhana” dengan tampilan yang juga sederhana. Pawon Sastra edisi pertama dibuka dengan sebuah esai dari Kabut tentang Edward Said, seorang pemikir kebudayaan dan peradaban yang juga seorang kritikus sastra. Yang diungkapkan oleh Kabut adalah tentang kritik sastra yang berusaha dikenalkan oleh Said. Bagi Kabut, Said telah memelopori sebuah kritik sastra yang menggunakan berbagai wacana di luar sastra—politik, sejarah, hukum, dll—untuk melakukan kritik sastra. Jadi, dalam kritik ala Said, karya sastra tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan wacana sastra saja tapi juga dikaitkan dengan berbagai hal di luar sastra. Bagi Kabut, kritik sastra yang demikian akan membuat sebuah karya sastra menjadi lebih kaya dan lebih bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.

Setelah tulisan Kabut, disusul sebuah tulisan Joko Sumantri, Koordinator Redaksi Pawon Sastra, tentang perkembangan sastrawan di Solo. Joko menulis tentang sebuah persamaan yang dimiliki mayoritas penulis sastra di Solo yaitu semuanya nyaris (setidaknya pernah) berkuliah di UNS. Tulisan ini kemudian dilengkapi dengan daftar nama mereka yang telah cukup dikenal yang dulu pernah kuliah di UNS. Joko juga kemudian mencoba menawarkan sebuah konsep “pengembangan sastra” di mana para penulis yang berkuliah di UNS itu seharusnya bisa membuat semacam forum atau acara yang bisa didekasikan untuk universitasnya. Tentu saja, usulan ini sebenarnya lebih merupakan sebuah upaya agar pihak pengelola UNS memberi perhatian lebih pada mereka yang telah berhasil mengharumkan nama UNS, terutama dalam bidang sastra. Bagi Joko, seharusnya UNS mengadakan semacam program alternatif yang mampu mengembangkan bakat mahasiswa-mahasiswanya di bidang apapun agar mereka dapat berkembang dengan baik. Dalam logika Joko, kalau para mahasiswa yang berbakat itu bisa berkembang dengan baik, maka keberhasilan mereka pasti akan mengharumkan nama UNS. Jadi, jerih payah UNS mengembangkan bakat mereka toh terbayar tuntas.

Dalam launching kemarin, tulisan ini sempat menuai kontroversi. Seorang tamu, yang kemudian saya tahu bernama Tomy, mengkritik tulisan Joko yang dianggapnya terlalu “mengagung-agungkan” UNS dalam menilai para penulis di Solo. Sebenarnya kalimat Tomy kurang tepat. Mungkin yang dimaksud Tomy sebenarnya adalah kenapa Joko Sumantri harus menyertakan soal kuliah para penulis Solo yang memang kuliah atau sempat kuliah di UNS. Pertanyaan Tomy sebenarnya adalah: apakah relevan membicarakan background studi atau dari universitas mana seorang penulis berasal? Apakah studi dan universitas asal penulis akan memengaruhi kerja kreatif penulis?. Perdebatan itu sendiri berlangsung cukup panas. Ditandai dengan tuduhan Tomy bahwa tulisan Joko merupakan tulisan yang “sektarian”. Apalagi Tomy juga sempat menyayangkan kenapa terbitan perdana sebuah buletin sastra harus “terkotori” oleh tulisan yang “sektarian” semacam itu.

Tudingan Tomy kemudian dijawab Joko dengan sedikit emosi pula. Bagi Joko, relevan saja membicarakan asal universitas seorang penulis. Apalagi, dalam pandangan Joko, sebuah universitas harus mempu mengembangkan bakat seorang mahasiswanya termasuk mereka yang berbakat menulis. Universitas harus mampu berguna buat mahasiswanya, kalau tidak, maka itu pemborosan uang rakyat! Demikian kira-kira kata-kata yang dikeluarkan Joko Sumantri dalam menghadapi tudingan Tomy. Perdebatan itu sendiri kemudian ditutup dengan ajakan Joko pada Tomy untuk berpolemik melalui tulisan.

Bagaimanapun, perdebatan dalam sastra adalah hal yang tak terelakkan. Apalagi dalam konteks demi pengembangan sastra itu sendiri. Kita mengenal Saut Situmorang, penyair yang tinggal di Yogyakarta, sebagai orang yang sering sekali berdebat tentang berbagai masalah dalam sastra. Kata-kata “pedas” Saut seringkali muncul di tulisan-tulisannya. Maka, perdebatan antara Joko Sumantri dan Tomy harus dilihat sebagai sesuatu yang menggembirakan dalam sastra Solo. Agaknya, para penulis di Solo memang harus membiasakan diri untuk berbeda pendapat agar sastra Solo makin menggeliat.

Sukoharjo, 31 Januari 2007
Haris Firdaus

1 comments:

yocchan July 21, 2008 at 1:56:00 PM GMT+8  

hmmm...... hmmm..... ^^ lhoh...

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP