Harga

>> Friday, February 2, 2007

kepada dosen saya

Pada suatu masa yang lampau, saya yakin kalian pernah mengalami kondisi yang mirip dengan yang kami alami saat ini. Sebuah kondisi dengan himpitan beban yang datang dari berbagai arah. Tanggung jawab organisasi yang menekan secara psikologis, beban tugas kuliah yang menumpuk, juga persoalan persahabatan atau cinta yang tak sederhana. Saya yakin kalian pernah mengalaminya, karena kalian, tentu saja, tak hadir ke dunia sebagai seorang yang telah sepenuhnya “tua”. Ada sebuah masa transisi dari “muda” menuju “tua” yang pasti dialami oleh tiap manusia, termasuk kalian, termasuk kami.

Tapi bukan hanya soal itu. Ini juga soal pengalaman yang berkait dengan “status”. Saya yakin kalian pernah jadi mahasiswa, sebuah predikat yang sebenarnya rumit dengan cakupan yang penuh penafsiran. Mahasiswa bukan hanya sekedar soal tingkatan pendidikan, tapi juga status sosial, pencarian identitas, atau pilihan hati nurani. Maka, menjadi mahasiswa, bagi sebagian kami, adalah sebuah pilihan yang tak mudah. Menjadi mahasiswa, berarti menjadi seorang manusia dengan banyak tanggung jawab yang datang entah dari mana. Di satu sisi, ia ditekan untuk berbuat dengan penuh heroisme yang ditinggalkan oleh sejarah masa lampau—sebuah sejarah yang mungkin saja datang dari masa kalian. Di sisi lain, ia ditekan untuk berprestasi dalam artian yang sangat sempit sekarang: baik dalam kuliah, IP bagus, rajin masuk.

Dan, terkadang ada yang harus dikorbankan salah satunya. Tapi terkadang, keduanya ingin dicapai sekaligus. Maka, keberadaan kalian sebenarnya menentukan. Pada beberapa teman saya yang mahasiswa, harapan pada kalian ditaruh pada tingkatan yang sebenarnya tinggi, terutama ketika mereka baru saja masuk kuliah. Tapi melihat kinerja kalian, kesungguhan kalian, dan niat baik kalian, maka harapan itu mungkin harus diturunkan. Mungkin saja hiperbolis bila kami mengatakan bahwa “tak ada harapan yang pantas digantungkan pada pundak kalian”. Tapi mungkin saja di antara kami ada yang demikian. Bukan karena putus asa. Tapi karena realitas memang berkata demikian.

Sebagai seorang yang pernah berada dalam posisi yang mirip dengan kami, kalian seharusnya mampu berempati dengan kami. Bukankah kalian dididik juga untuk membantu kami berkembang? Bukankah gaji yang kalian terima pada dasarnya adalah sebuah beban yang seharusnya membuat kalian menjadi “tanggung jawab”? Tapi entahlah. Sebab kalian berperilaku sebagai orang yang tak pernah “menjadi” kami sebelumnya. Seolah-olah dunia kami adalah dunia yang sepenuhnya asing buat kalian sehingga tak perlu ada empati buat dunia itu. Di situlah kalian sedikit “kejam”. Kalian yang sepenuhnya tahu bagaimana dunia kami—karena ini juga dunia kalian sebelumnya—tapi pura-pura tak tahu. Atau malah, kalian tahu tapi tak pernah berusaha memberi empati. Dan yang lebih parah, sebagian kalian tak pernah memberi “harga” atas kerja keras kami, jerih payah kami.

Saya ingat, seorang kawan yang siang itu terbaring dalam sebuah ruangan dengan tatapan mata kosong, wajah sedikit pucat, dan rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. Gara-garanya satu: nilai ujiannya jeblok. Bagi sebagian orang, mungkin hal itu tak terlampau masalah. Tapi baginya, itu adalah sebuah fakta yang tak mudah diterima. Apalagi salah seorang dari kalian yang memberi nilai jeblok padanya ternyata tak berlaku adil. Berdasar sebuah informasi yang diterima, sebagian dari kalian ternyata tak pernah memberi nilai atas tugas yang telah kami buat. Padahal, tugas-tugas itu dibuat dengan kerja keras yang tak mudah di tengah deret persoalan lain: tugas mata kuliah lain, beban kerja di organisasi, dan persoalan pribadi yang mungkin menunggu.

Maka, di manakah “harga” atas jerih payah kami itu? Tapi mungkin yang absen dari kalian bukan hanya itu. Mungkin saja di mata kalian, kami memang tak lagi punya “harga”. Kami mungkin tak lagi pantas dipandang sebagai seorang yang membutuhkan apresiasi, ucapan salut, atau penilaian yang adil. Ironis, sebab banyak orang lain yang lebih menderita dari kami, tapi masih memiliki tiga hal itu. Maka, kemudian kami akan bertanya, di mana “tanggung jawabmu”? Adakah tanggung jawab, bagi kalian atau sebagian kalian, adalah sesuatu yang tak akan diungkit sehingga bisa ditaruh di mana saja?

Oh, maafkan saya kalau saya harus menyebut sebagian dari kalian dengan kata “arogan”. Sebab mungkin kata itu cocok buat sebagian kalian yang tak mau dikritik, tanpa toleransi terhadap kesalahan kami tapi penuh toleransi terhadap kesalahan kalian sendiri, dan tak pernah merasa benar-benar malu atas berbagai tanggung jawab yang kalian tinggalkan. Lalu, kalau institusi pendidikan—yang diharapkan jadi “kawah candradimuka” bagi para calon pemimpin, pusat gemblengan buat penyiapan masa depan yang lebih baik—diisi oleh orang-orang seperti sebagian kalian yang meninggalkan tanggung jawab dengan alasan yang tak pasti, maka pemimpin seperti apakah yang ingin dihasilkan? Masa depan seperti apakah yang hendak disiapkan?

Sukoharjo, 2 Februari 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP