Pembuang Penat

>> Tuesday, January 30, 2007

Di manakah tempat yang tepat agar kita bisa membuang segala kepenatan? Jawabannya, salah satunya, adalah di alam bebas. Tentu ini terdengar klise: sejuknya udara alam dan indahnya panorama alami akan membuat pikiran kita jauh lebih tenang, dan otomatis badan kita lebih fresh, dan masalah-masalah yang kita pendam akan sedikit kita lupakan. Tapi, saya tak ingin berbicara soal itu. Saya tak sedang berbicara soal turisme. Tapi saya ingin bercerita tentang petualangan di malam hari. Sebuah petualangan di mana kita tidak menikmati pemandangan dan hawa yang sejuk. Sebaliknya, yang ada adalah debu dan hawa dingin yang menusuk. Juga kesendirian.

Beberapa tahun lalu, terdorong oleh berbagai permasalahan yang menggelayut di otak, saya merencanakan sebuah pendakian gunung. Awalnya, saya merencanakan mendaki bersama beberapa kawan. Tapi setelah menjelang detik akhir keberangkatan, kawan-kawan saya undur diri satu per satu. Entah karena alasan keuangan, atau alasan kesibukan. Sampai akhirnya saya mendapati diri saya sendirian yang masih punya niat melakukan pendakian. Setelah sempat bimbang apakah akan melanjutkan rencana itu atau tidak, akhirnya saya memutuskan melanjutkan rencana itu. Konsekuensinya, saya akan mendaki gunung sendirian.

Gunung yang saya pilih adalah Merapi. Sebuah gunung berapi aktif yang beberapa bulan lalu menghebohkan negeri ini karena semburan awan panasnya. Merapi juga fenomena tersendiri yang menghadirkan Mbah Maridjan—juru kuncinya—sebagai orang yang kemudian jadi terkenal dan bahkan diminta jadi bintang iklan. Saya pilih Merapi karena gunung ini dekat dengan tempat tinggal saya. Selain itu, juga karena Merapi adalah gunung yang tak terlampau tinggi. Tak lebih dari 3000 meter.

Seperti biasa, Merapi masih berupa tanjakan-tanjakan berdebu diselingi bebatuan yang jika diinjak seringkali lepas. Batu-batu itu, bila besar, bisa saja melukai kita atau orang yang ada di belakang kita. Mendaki Merapi butuh konsentrasi yang tinggi. Kalau kita hendak selamat sampai ke rumah kembali, maka buang jauh-jauh pikiran tentang berbagai masalah yang menggelayut di otak kita. Dan di situlah intinya.

Ketika mendaki Merapi, saya sebenarnya tak terhibur dengan panorama alamnya, atau hawanya yang eksotis, tapi justru ditolong oleh medannya yang berat yang mengharuskan saya berkonsentrasi terhadap tiap langkah yang saya ambil. Pada titik itulah saya lupa terhadap masalah-masalah saya. Dan kelupaan itu—sekali lagi—bukan karena pemandangan alam (saya mendaki saat malam hari sehingga tak ada pemandangan kecuali lampu senter yang berebut lahan), tapi karena tempaan medan yang membuat saya harus konsentrasi.

Maka, agaknya kita mesti berpikir lain soal petualangan, juga alam yang bisa menghilangkan masalah. Bahwa bukan hanya pemandangan dan hawa saja yang bisa membuat kita lupa terhadap berbagai beban yang menghimpit kita, tapi juga cobaan dari medan yang berat. Dalam analogi yang mungkin bisa diterima, sebenarnya bukan hanya sesuatu yang “enak” saja yang bisa membuat kita kehilangan penat, tapi juga sesuatu yang “keras” dan sedikit “memaksa”.

Artinya, sebenarnya, tak ada cara baku buat menghilangkan kepenatan. Juga tak ada tempat yang bisa dianjurkan buat semua orang bisa menjadi fresh kembali. Sebagian orang mungkin menjadi segar ketika mereka melancong ke luar negeri dan menikmati makanan tradisional di sebuah pulau terpencil dengan harga milyaran. Tapi sebagian yang lain mungkin menjadi terhibur dan cukup punya tenaga kembali hanya dengan menonton sinetron murahan yang berisi seks dan hantu. Tentu ini terkait dengan kebudayaan masing-masing. Juga, gaya hidup dan status ekonomi. Tapi, bagaimanapun juga, pluralitas tetap berlaku di sini.

Maka kepentingan ekonomilah yang sebenarnya membuat pariwisata dianjurkan jadi “penghilang stres”. Memang sebagian besar orang akan sedikit lebih segar dan terkurangi bebannya bila ia undur diri dari aktivitas kesehariannya. Tapi belum tentu dengan melancong. Belum tentu dengan petualangan yang mahal dan eksklusive. Bisa jadi aktivitas yang sederhana seperti membaca buku atau ngobrol dengan orang lain adalah aktivitas yang sudah cukup buat kita menjadi lebih semangat. Tapi mungkin saja tidak. Mungkin saja kita memang butuh bertamasya ke sebuah pulau terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan helikopter di mana terdapat atraksi manusia primitif yang memakan manusia lainnya. Mungkin saja begitu.

Sukoharjo, 27 Januari 2006
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP