Main-Main

>> Saturday, December 2, 2006

trims untuk kaw


Sesuatu yang main-main, adakah ia selalu dangkal? Mungkin saja iya, mungkin pula tidak. Saya ingat, sebuah riwayat tentang Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri Indonesia, yang ditulis dengan apik oleh Goenawan Mohammad. Sjahrir, seperti banyak kita tahu, pernah diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama sekitar enam tahun di Banda Neira. Dan tebak, apa yang paling sering dilakukan Sjahrir di pulau kecil itu! Jawabnya mungkin mengherankan: main-main dengan anak-anak.

Ya, bahkan ia membawa serta tiga anak angkatnya dari pulau itu ketika ia dan Mohammad Hatta meninggalkan Banda Neira. Berbeda dengan Hatta yang menyukai buku dan keteraturan, Sjahrir menyukai pantai, permainan, dan anak-anak. Goenawan melukiskan bagaimana Sjahrir mengajar tiga anak Banda yang jadi “teman terbaiknya” tentang banyak hal, membuatkan baju buat mereka, dan berenang atau naik gunung beserta mereka. Goenawan bahkan menyebut Sjahrir di Banda sebagai “tahanan yang berbahagia”.

Bisakah kita menyebut main-main yang dilakukan Sjahrir sebagai sesuatu yang dangkal? Atau, mungkin tak terlampau bermakna? Cuma, sebuah pertanyaan layak diajukan: bermakna buat siapa? Dan adakah yang dangkal itu selalu salah? Dibandingkan dengan aktivitas membaca buku yang dilakukan Hatta, “main-main” yang dilakukan Sjahrir mungkin saja jauh lebih “dangkal”.

Tapi, bagi saya, permainan memang harus sesuatu yang “dangkal”. Ketika sebuah permainan dilakukan buat sesuatu “tujuan” selain “senang-senang”, bagi saya permainan itu “tendesius”. Tendesius karena ia mengejar sesuatu yang selayaknya tak ia kejar. Dan permainan seperti itu, agaknya gampang berubah menjadi tak mengasyikkan, berlawanan dengan kodratnya sendiri.

Saya lalu ingat dengan acara “main-main” yang saya lakukan tempo hari, dengan seorang kawan. Tak seperti biasanya, hari itu saya menyempatkan pulang cepat dari sekretariat organisasi saya di kampus. Lalu, kami melakukan sesuatu yang sebenarnya telah biasa bagi orang lain, tapi tak pernah kami lakukan: jalan-jalan ke mall. Bagi makhluk seperti saya yang kadang menganggap diri sebagai “aktivis mahasiswa”, jalan-jalan ke mall tentu bukan sesuatu yang wajar. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika saya dimintai pendapat oleh seorang kawan di Yogya tentang maraknya pembangunan mall di kota saya, saya menyebut mall sebagai “antek kapitalis di pelupuk mata kita”.

Saya tahu ada paradoks kini. Kemarin saya ada di dalam “antek kapitalis” itu, dan pada akhirnya harus mengaku: saya menikmatinya. Mungkin karena di samping saya ada seorang kawan yang membuat saya nyaman. Tapi itu tak dengan sendirinya mengubah paradoks yang ada. Faktanya tetap: saya menikmati “antek kapitalis” itu.

Saya tak tahu adakah kawan yang menemani saya ke mall itu menyadari paradoks yang ada dalam diri saya. Tapi setidaknya ia tahu, di hari itu, ada yang tak biasa dengan saya. Setelah mentraktir saya di sebuah rumah makan yang jadi tempat nongkrong anak gaul di Solo, dengan tertawa ia minta maaf seraya bercanda: “Maaf, saya membuatmu jadi anak gaul hari ini.” Begitu kira-kira ledekannya.

Saya tersenyum dan menyadari betapa relatifnya sebuah “kategori”. Pada akhirnya saya menyadari satu kebodohan, atau mungkin kesombongan saya. Kategori yang sering kita buat ternyata tak berarti di depan kenyataan sehari-hari. Sebab kategori yang kita hadirkan memang tak pernah benar-benar menyentuh daging manusia. Juga, kategori ternyata lapuk di hadapan waktu.

Menikmati pengalaman “main-main” dari siang sampai petang hari itu, akhirnya saya paham kalau saya tak perlu mencari “hikmah”, atau sesuatu yang bisa dipetik. Akhirnya, saya sepenuhnya menyadari, apa yang kami lakukan mungkin saja dangkal, mungkin saja kurang bermakna. Tapi begitulah permainan. Ia adalah kehendak dari hasrat bebas yang tujuannya kadang tak jelas. Mungkin buat melepas kepenatan, mungkin buat menghilangkan stress, atau mungkin tidak buat apa-apa. Itulah kenapa permainan identik dengan anak-anak, sebuah makhluk yang belum berpikir tentang “guna”. Petikan sajak Tagore menyiratkan itu: Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali. Orang dewasa boleh saja bertanya: buat apa batu dihimpun kalau akhirnya hanya ditebarkan kembali? Tapi, anak-anak tak akan pusing menjawabnya.

Hari itu, bersama seorang kawan yang juga sahabat baik saya itu, mungkin saja saya adalah anak-anak yang menyukai permainan yang dangkal dan tidak perlu tahu soal “hikmah” atau “guna”.

Haris Firdaus
Sukoharjo, 22 Nopember 2006

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP