Bush(et)

>> Monday, November 20, 2006

Andai saja setiap pemimpin seperti Umar bin Khatab, maka sistem keamanan mungkin saja tak perlu. Umar, kita tahu nama itu sebagai “Singa Padang Pasir” yang juga sahabat Nabi Muhammad SAW, manusia agung yang membawa risalah Islam. Kita juga tahu, Umar adalah khulafaurrasyidin yang kedua setelah Abu Bakar meninggal. Ketika ia jadi Khalifah, ada sebuah riwayat tentangnya yang menyiratkan bahwa sistem keamanan bagi pemimpin, terkadang tak diperlukan sama sekali.

Alkisah, ada seorang dari negeri yang jauh dari Arab yang hendak berkunjung pada Umar bin Khatab. Orang itupun berangkat dari negerinya ke Madinah. Sampai di Madinah, orang itu kemudian bertanya pada seorang Arab yang ditemuinya: “Di manakah Umar bin Khatab, Khalifah Kaum Muslim itu?” Yang ditanya kemudian menjawab: “Orang yang berbaring di bawah pohon kurma beralaskan pasir itu, adalah Umar bin Khatab, Sang Khalifah.”

Di bawah pohon kurma, beralaskan pasir. Seorang ustadz yang menjelaskan riwayat itu pada saya kemudian bertanya: “Adakah pemimpin jaman sekarang yang berani melakukan itu?” Si ustadz kemudian berbicara soal tiadanya rasa khawatir dalam diri Umar. Si “Singa Padang Pasir” itu dengan enaknya, tanpa pengamanan dan protokoler, mengaso di bawah sebuah pohon tanpa menggunakan alas untuk berbaring. Tentu saja, kata si ustadz, hanya pemimpin yang adil saja yang berani melakukan itu.

Ada banyak riwayat yang bisa kita kutip buat menunjukkan betapa Umar adalah orang yang adil. Dan otomatis, dicintai rakyatnya. Hampir semua orang Islam paham tentang riwayat yang menceritakan perjalanan Umar ke daerah kekuasaannya di malam hari, sendirian. Satu saat, ia menemukan seorang ibu dengan seorang anak yang menangis. Anak itu, kelaparan. Dan ibunya ternyata sedang merebus batu, tentu saja bukan buat dimakan. Ia cuma berharap anakanya akan lelah merengek lalu tertidur karena tak kuat menunggu “masakan” ibunya matang. Kita tahu adegan berikutnya: Umar membantu ibu itu dengan sekarung bahan makanan.

Riwayat lain, tentang seorang Yahudi yang datang ke Umar dan mengadukan nasibnya. Si Yahudi, ternyata akan digusur rumahnya oleh seorang gubernur yang Islam. Penggusuran itu, demi sebuah pembangunan masjid yang megah. Umar kemudian mengambil sebuah tulang dan menggoreskan sebuah garis lurus di tulang itu dengan pedangnya. “Berikan ini pada si gubernur!” si Yahudi mulanya bingung. Ia mengira Umar tak benar-benar akan menolongnya.

Tapi, betapa terkejutnya ia ketika tulang dengan garis lurus di atasnya itu ia berikan ke Pak Gubernur. Si gubernur gemetar, berkeringat, dan akhirnya membatalkan rencana menggusur rumah Si Yahudi. Gubernur itu, kalau tak salah namanya Amru bis Ash, kemudian menjelaskan isyarat dari khalifahnya: “Kalau kau tidak bisa meluruskan sikapmu sendiri, aku akan meluruskannya dengan pedangku seperti garis lurus ini.” Cerita kemudian berakhir “happy ending”: Si Yahudi kemudian masuk Islam.

Riwayat tentang Umar dan sepak terjangnya adalah riwayat yang elok. Hampir serupa dengan dongeng-dongeng yang menakjubkan. Bedanya, riwayat itu benar-benar terjadi. Dan mau tak mau, kita mesti berbangga pada manusia, barang sejenak: manusia ternyata juga bisa berbuat hal yang luar biasa.Cuma, kebanyakan “yang luar biasa” kini telah hilang. Mungkin akan sulit buat kita untuk mencari riwayat yang seperti itu lagi. Sama seperti sulitnya mencari pemimpin yang adil.

Barangkali karena tak adil itulah, seorang pemimpin membangun sebuah benteng. Sistem keamanan diperketat, pasukan keamanan khusus disiagakan sampai beberapa inchi ke tubuhnya, dan intelijen disebar tiap seorang pemimpin bepergian. Lalu, orang ramai pun disingkirkan dan diawasi ketika si pemimpin datang. Dan sekolah-sekolah diliburkan. Dan pedagang kaki lima diminta berhenti jualan. Warga kota dihimbau tidak keluar rumah. Handphone sebisa mungkin tidak dipergunakan.

Apa yang sebenarnya terjadi di Bogor, menjelang Bush berkunjung? Sebuah teater pengamanan yang over, sebuah kecemasan yang gila, atau pengamanan yang wajar? Sebuah landasan helikopter dibangun siang malam, latihan pengamanan dipertontonkan seolah hendak pamer kekuatan. Tiga lapis penjaga keamanan disiagakan. Lapis pertama adalah paspampres dan pasukan khusus dari AS yang menjaga Istana Bogor dan sekitarnya. Lapis kedua adalah para marinir dengan senjata lengkap. Di lapis ketiga, para tentara dan polisi yang didatangkan entah dari mana. Bogor akan lumpuh pada 20 Nopember ini. Dan masyarakat umum, anak-anak sekolah, pedagang kaki lima, harap menyingkir.

Saya tak tahu, adakah tiap kunjungan Presiden AS yang konservatif itu ke negara lain, sebuah kota mesti dimatikan, rakyat kecil dikorbankan. Tapi mungkin benar, semua itu berawal dari ketidakadilan. Kita tahu Irak, Afghanistan, juga perang melawan teroris yang dilancarkan Bush. Aroma tubuhnya, mungkin berbau darah. Sepak terjang Bush yang seperti “koboi” itu telah membuat aroma permusuhan terhadapnya meningkat drastis, bukan hanya dari orang Islam tapi juga dari orang yang mau menengok hati nuraninya.

Kebencian terhadap Bush bisa kita lihat dari penolakan terhadapnya di Indonesia. Seorang tokoh Islam bahkan menyebut darah Bush itu halal tapi jejak kakinya adalah haram alias najis. Pernyataan itu, adalah sebuah ekspresi kebencian yang begitu mendalam. Ribuan umat Islam telah turun ke jalan buat menolak kedatangannya. Seorang dukun kejawen bahkan mengancam akan menyantet Bush bila ia datang ke Indonesia. Ratusan kaum kiri juga telah memaklumatkan kebenciannya.

Lalu, parade kemanan yang menelan 6 milyar itu digelar. Dalam kunjungan singkat yang hanya sekitar 10 jam itu, sebuah negara besar seperti Indonesia harus bersusah payah. Tapi ekspresi manusia tak pernah satu. Di Bali dan Bogor, ada juga yang berdemo untuk mendukung kedatangan Bush. Bagi yang menolak Bush, mereka yang mendukung Bush mungkin dianggap aneh. Tapi dalam sejarah, yang aneh selalu terjadi. Buktinya, Umar bin Khatab, pemimpin yang adil itu, meninggal karena ditikam seseorang ketika sholat.

Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP