Coelho, Takdir, dan Omong Kosong

>> Saturday, December 2, 2006

Trims untuk Mita

Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya. (Paulo Coelho).


Mungkin begitu banyak fakta yang bisa kita ungkapkan buat membantah omongan Coelho di atas. Ada banyak bukti bahwa kita, teman kita, atau orang yang tak kita kenal, hampir selalu mengalami kesulitan ketika ingin mencapai keinginannya. Tak jarang, kesulitan yang merintangi itu akhirnya menggagalkan keinginan yang ingin kita raih. Dan kita akan dengan mudah berkata bahwa seluruh jagat raya ternyata tidak sedang bersatu padu membantu kita. Kita mungkin akan dengan mudah menganggap Coelho, seorang pengarang kelahiran Brasil yang banyak mendapat penghargaan ini, keliru. Bagi kita, mungkin ia sedang beromong kosong lewat kalimatnya yang saya kutip di atas.

Tapi benarkah seperti itu? Saya kutip kalimat itu dari novelnya yang paling terkenal, The Alchemist. Sebuah novel yang kalau kita cermati memang berisi banyak “omong kosong”. Sebab terlampau banyak hal yang diungkapkan Coelho dalam novel itu yang kadang tak terbayangkan. Juga, mungkin karena itu, bisa dianggap tak masuk akal. The Alchemist bercerita tentang seorang anak gembala di daerah Spanyol yang bertualang hingga ke Mesir hanya karena alasan yang spekulatif dan sedikit absurd: mengejar harta karun yang ia lihat lewat mimpi berada di Piramida di Mesir. Si anak gembala yang kemudian mencoba menafsir mimpinya lewat seorang peramal itu, akhirnya memutuskan berangkat ke Mesir setelah bertemu seorang misterius yang disebut sebagai “Raja Salem” bernama Melkisedek. Lewat orang tua yang memakai perhiasaan emas di dadanya itu, si anak gembala mendapat petuah bahwa ia harus “mengejar takdirnya” dengan pergi ke Mesir dan mendapat harta karun itu.

Sampai di sini, kita bisa bertanya: bagaimana sesorang tahu takdir mereka? Si anak hanya melihat soal harta karun itu lewat mimpi yang beberapa kali dialaminya. Sampai Melkisedek datang, si anak gembala itu tak pernah berpikir buat pergi ke Piramida dan mengejar harta karun itu. Kemudian Melkisedek datang. Lalu petuah soal takdir itu didendangkan. Harap maklum kalau Coleho berbicara tentang kehidupan sebagai seorang yang telah dewasa dan bahkan sedikit menyerupai nabi. Petuah-petuah kehidupan dalam The Alchemist memang seperti petuah agama yang disuarakan dengan penuh keyakinan dan kadang dengan gaya yang sedikit misterius, buat menambah unsur dramatis. Membaca novel itu, akan kita temukan bait-bait renungan tentang kehidupan yang begitu penuh keyakinan, tak goyah, dan mungkin seperti doktrin. Tapi begitulah.

The Alchemist mungkin berhasrat menjadi semacam “dongeng” yang memberi inspirasi dengan menampilkan cerita-cerita yang penuh lambang. Agar bisa menarik manfaat dari novel itu, mungkin kita harus tuntas menafsir “lambang-lambang” itu. Bagaimana kehidupan mesti dijalani, bagaimana manusia harus mengejar takdirnya, dan bagaimana sebuah keberanian harus terus dipompa, semuanya ingin ditampilkan oleh Coelho lewat novelnya itu. Maka, membaca The Alchemist seperti membaca dongeng-dongeng dari zaman lampau. Cerita dalam novel itu mengalir lancar, meski dalam logika kebanyakan ada begitu banyak “lompatan-lompatan logika”. Tapi, seperti layaknya sebuah “dongeng”, logika memang tidak diperlukan. Yang penting justru cerita-cerita “ekstrem” yang penuh lambang dan sarat akan perenungan. Dan The Alchemist berhasil buat itu.

Lambang yang paling menonjol dalam The Alchemist adalah soal mimpi, cita-cita, atau keinginan. Berkali-kali Coelho lewat tokoh-tokohnya yang menyerupai nabi dan tahu segalanya, mengatakan bahwa manusia mesti mengejar cita-citanya atau “takdirnya”. Meski mimpi-mimpi itu adalah sesuatu yang berat buat dicapai, atau malah absurd buat dicapai. Tak penting semua itu. Yang penting, “takdir” mesti dijalani. Dan Coelho mengajak kita percaya bahwa dalam perjalanan mengejar “takdir”, akan banyak kita jumpai pelajaran-pelajaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan pengalaman-pengalaman yang akan menambah kearifan kita. Sehingga, meski “takdir” kita akhirnya tak tercapai, apa yang telah kita dapatkan selama mengejar “takdir” itu telah lebih dari cukup.

Sampai di sini, mungkin kita masih beranggapan bahwa Coelho sedang beromong kosong. Kita bisa mengatakan bahwa seandainya si anak gembala—tokoh utama dalam The Alchemist—tidak bertemu dengan Melkisedek, mungkin anak gembala itu tak akan mengejar takdirnya. Lalu kita akan bilang bahwa dalam novel itu terjadi sebuah keajaiban yang tak bakal terjadi dalam kehidupan kita. Artinya, Coelho curang. Ia mengajak kita mengejar “takdir” dengan memberi contoh seorang yang mengejar “takdir” dengan bantuan begitu banyak “keajaiban”. Padahal, mungkin saja ia tahu kalau keajaiban jarang sekali singgah di hadapan kita.

Tapi, siapa tahu Coelho justru ingin bilang kalau keajaiban adalah sesuatu yang mungkin terjadi dalam dunia nyata. Asal kita percaya hal itu, mungkin kita bisa melihat keajaiban. Seperti si anak gembala yang mulanya juga tak percaya, kita mungkin juga tak percaya sebelum kita benar-benar menemukannya. Tapi agakanya, bukan keajaiban itu intinya. Keajaiban adalah sesuatu yang tak akrab dengan manusia. Buat mengejar “takdir”, kita mesti mulai dengan sesuatu yang akrab dengan kita: keberanian, kerja keras, dan tekad yang tak putus. Kalau itu telah ada, soal keajaiban sebenarnya tak penting. Dan apakah Coelho sedang beromong kosong atau tidak, itu mungkin juga jadi tak penting lagi.

Sukoharjo, 1 Desember 2006
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP