Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam RDP

>> Monday, December 11, 2006

“Waktu itu, kalau ada lubang yang digali, pasti akan ada orang yang dieksekusi. Maka hari itu, ketika saya melihat sebuah lubang digali, saya dan teman-teman berbondong-bondong ke kantor kelurahan untuk melihat siapa yang akan dieksekusi. Sebuah truk datang dan seorang turun dengan meloncat karena tangannya telah terikat ke belakang. Ia seorang pedagang kambing. Tubuhnya kurus. Ketika ia digiring ke tempat eksekusi, massa telah menjadi beringas. Ia dipukuli terus-menerus sampai tiba di lubang yang akan jadi persemayaman terakhirnya.

Sampai di sana telah ada empat orang pensiunan militer yang membawa senapan. Lalu eksekusi dimulai. Moncong senapan ditempelkan ke siku kanan si tertuduh, lalu pelatuk ditarik. Tubuh kurus itu terlempar ke belakang, siku kanannya otomatis patah. Tapi ia masih bisa berdiri. Kini, giliran siku kirinya. Peluru menembusnya dan patahlah siku kirinya. Lalu telinga kanannya yang ditembus peluru. Telinga itu hancur. Kemudian telinga kirinya. Rupanya, peluru yang diarahkan ke telinga kiri itu agak serong mengenai rahang. Rahang itu kemudian terlepas. Si tertuduh jatuh dalam lubang. Saya mengira semua telah berakhir. Tapi massa mengangkat tubuhnya dari dalam lubang. Lalu para jagal memuntahkan semua sisa peluru yang ada ke tubuh si tertuduh. Tubuhnya hancur dan sampai hari berikutnya, daging yang luluh lantak itu tak boleh dikuburkan.”


Kisah tentang kekejaman di tahun 1965 terhadap orang yang dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) itu, diceritakan oleh Ahmad Tohari, sastrawan kawakan Indonesia ketika ia diminta berbicara tentang proses kreatifnya dalam penciptaan Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), trilogi novelnya yang diterjemahkan ke lima bahasa. Saat berbicara dalam diskusi sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo pada Kamis (7/12) kemarin, Ahmad Tohari mengutip pengalamannya ketika ia remaja dan melihat beberapa eksekusi mati terhadap orang yang dituduh PKI.

Apa hubungan antara drama kekerasan yang memuakkan itu dengan proses kreatif dalam penciptaan RDP? Kata Ahmad Tohari, RDP adalah hasil dari pengalamannya menyaksikan kekerasan yang dilihatnya langsung sekitar tahun 1965 terhadap orang-orang komunis. Selain kekerasan, kemiskinan yang diakrabi Tohari sejak kecil juga menjadi alasan kenapa novel itu ditulis. Kekerasan dan kemiskinan, barangkali dua kata itulah alasan kenapa RDP harus ditulis.

Sampai Mei 1980, ia menunggu ada penulis yang menulis tentang pembantaian tahun 1965 itu. Sampai saat itu, ia merasa masih belum punya kemampuan menuliskannya. Tapi panantian Tohari tak kunjung berakhir. Akhirnya, kenekatan Tohari menulis tentang tragedi 1965 muncul. Kemudian terbitlah Kubah yang bercerita tentang seorang lelaki komunis yang pulang dari Pulau Buru. Tapi, novel itu tak memuaskan pertanyaan-pertanyaannya. Lalu RDP mulai ditulis.

Selama empat tahun, Tohari menulis novel itu. Bahkan ia sempat menulis ulang sebanyak tiga kali. Sebuah ketekunan yang kemudian membuahkan hasil. RDP jadi amat terkenal dan bahkan dijadikan bahan ajar tidak hanya di bidang sastra tapi juga kebudayaan dan sejarah. Duni ronggeng dalam RDP, adalah dunia yang diakrabi Tohari, meski ia jarang menonton pentas itu. Kehidupan pedesaan dengan untaian pemandangan alamnya, adalah dunia yang diakrabi Tohari juga. Tak heran, lukisan panorama pedesaan muncul begitu banyak dan begitu detail dalam RDP.

Dalam diskusi di TBJT kemarin, panorama alam di RDP sempat menjadi bahan diskusi menarik. Seorang penulis cerpen asal Solo, Joko Sumantri, melontarkan pernyataan bahwa pelukisan alam yang begitu banyak di RDP terkadang justru membosankan. Sebab hampir di tiap awal bab, pelukisan semacam itu muncul. Saya mengamini Joko Sumantri. Pelukisan alam di RDP memang kadang membosankan untuk dibaca secara detail. Apalagi pelukisan panorama pedesaan itu tak lebih sebagai latar dan bukan berfungsi sebagai metafor untuk mendukung jalan cerita.

Tapi Tohari menjawab justru pelukisan yang detail itulah bagian yang penting dari RDP. Ali Imron, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang mendampingi Tohari sebagai pembicara dalam diskusi itu, juga menyampaikan bahwa pelukisan alam di RDP bila dihayati sama sekali tidak membosankan. Apalagi bagi orang yang terbiasa tinggal di kota. Penulisan semacam itu membawa suasana baru bagi pembaca yang tak mengenal pedesaan secara baik. Jujur, saya tak begitu puas dengan jawaban yang dilontarkan Tohari dan Ali Imron soal pelukisan alam di RDP itu.

Yang menarik juga dari diskusi kemarin adalah tentang Rasus. Ali Imron mengidentikkan Rasus, kekasih Srintil dalam RDP, dengan Ahmad Tohari. Dia menyebutkan beberapa persamaan keduanya. Antara lain, keduanya akrab dengan kultur pedesaan. Selain itu, keduanya sama-sama menentang ronggeng karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Tapi Ahmad Tohari tak sepenuhnya mengamini. Menurutnya, seorang penulis yang baik adalah seorang yang bisa membebaskan diri dari tokohnya. Meski begitu, Tohari mengakui kalau ia tak sepenuhnya bisa membebaskan diri dari tokoh-tokohnya di RDP. Tohari mengakui ia kadang muncul pada diri Rasus. Tapi tak hanya Rasus. Ia juga muncul pada diri Marsusi yang mengendarai Harley Davidson. Ternyata, Tohari adalah penggemar Harley Davidson.

Kembali ke proses kreatif, Tohari mengatakan ada tiga tingkatan yang dialaminya sebagai pengarang. Pertama, tingkatan romantis. Pada tingkatan ini ia terpengaruh oleh sastra Jawa yang diakrabinya. Tingkatan kedua adalah romantis religius. Pada tingkatan ini ia banyak dipengaruhi karangan-karangan Buya Hamka yang mengentalkan nunsa romantis religius. Tingkatan ketiga yang dialaminya adalah realisme. Ia terpesona pada realisme ketika ia membaca Pram, Sanusi Pane, Mochtar Lubis, dan banyak lagi.

Diskusi juga sempat menyinggung polemik Tohari dengan F. Rahardi tentang latar dalam RDP. Rahardi sempat menulis tentang beberapa kesalahan Tohari dalam RDP. Tohari mengakui kalau memang ada beberapa kesalahan dalam RDP. Tapi Rahardi juga melakukan kesalahan ketika ia melakukan kritik terhadap RDP. Menurut Tohari, ia tak mau merevisi kesalahan yang dibuatnya di RDP. Menurutnya, seorang manusia harus konsekuen. Biarlah kesalahan itu tetap tercatat dan tak perlu diubah, katanya. Ya, begitulah Kang Tohari!

Haris Firdaus
Sukoharjo, 8 Desember 2006

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP