Masih Ingat

>> Friday, December 15, 2006

Masih ingat dengan banyak seminar yang kita gelar atas
nama keadilan?
Masih ingat dengan banyak program kerja yang kita susun
demi kemajuan
pergerakan?

Masih ingat dengan banyak acara yang kita gelar atas nama
masyarakat?
Ratusan peserta dengan yel-yel bergemuruh yang juga kita
teriakkan tanpa beban?

Dan kita tahukah?
Pengetahuan yang kita dengan telah mengendap sampai ke
alam bawah sadar
dan tidak menjadi apa-apa kecuali sedikit dan selebihnya
sampah.

Dan pasntaskah?
Masyarakat, yang kita eksploitasi penderitaan mereka untuk
menyemangati perjalanan sepanjang rute demonstrasi kita itu, kini masih
miskin
dan tertindas seperti kemarin.


Untaian kalimat itu berkumandang dalam sebuah diskusi tentang politik kampus yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo dan Centre for Social and Political Research (CENSOR) pada awal Desember lalu di Loby FISIP UNS. Pada diskusi yang dipenuhi oleh para aktivis mahasiswa yang berasal dari FISIP UNS, untaian kalimat yang merupakan potongan sajak Fery Jayanta yang berjudul Minta Maaf itu, seakan menukik tajam menyindir hampir semua aktivis yang ada saat itu. Dibacakan oleh Halfidz Risman, Pegiat Teater Sastra (TESA) Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS, puisi yang memang ditujukan buat menyindir perilaku para aktivis mahasiswa itu, menarik telinga dan perhatian yang khusyuk dari para hadirin yang ada.

Fery Jayanta, penulis puisi itu, adalah seorang mantan aktivis gerakan mahasiswa. Sekitar dua setengah tahun waktunya ia habiskan untuk beraktivitas di organisasi pergerakan. Lalu, sesuatu terjadi. Organisasi pergerakan yang ia ikuti ia anggap tidak lagi representatif dalam berjuang. Banyak penyimpangan yang dilakukan. Bersama beberapa kawannya, ia kemudian keluar dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS pada tahun 2004. Lalu saya bayangkan Fery menulis Minta Maaf sebagai pelampiasan kekecewaan terhadap BEM UNS. Saya membaca pertama kali puisi itu di Sekretariat BEM UNS pada sekitar 2004 akhir. Setahun kemudian, saya kembali menemui puisi itu dalam sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo.

Empat bait awal puisi itu adalah pertanyaan sekaligus gugatan atas berbagai macam kegiatan yang banyak dilakukan oleh para aktivis mahasiswa yang bernaung dalam organisasi pergerakan. Seminar atas nama keadilan, program kerja demi memajukan pergerakan, dan banyak acara yang digelar atas nama masyarakat. Keadilan, pergerakan, masyarakat, benarkah tiga hal itu yang jadi dasar para aktivis mahasiswa mengadakan kegiatan? Benarkah demonstrasi yang kita lakukan terus-terusan itu demi perbaikan nasib rakyat atau sekedar partisipasi simbolis yang memuakkan? Benarkah seminar, diskusi, dan tetek bengek lainnya itu demi meringankan beban masyarakat? Saya tak terlampau yakin. Sebagaimana Fery yang sama sekali tak yakin bahwa semua hal itu dilakukan demi masyarakat. Di bait selanjutnya, Fery menulis:

Kita selalu memanfaatkan penderitaan manusia lain sebagai
pembakar
semangat kita, hilang satu ganti lagi..demi eksistensi gerakan
mahasiswa, itu
saja, karena sejujurnya kita tak pernah sekalipun serius
berpikir bagaimana
mengeluarkan mereka dari himpitan derita yang diproduksi
mesin-mesin
kejahatan dunia


Agaknya pengalaman selama dua setengah tahun di organisasi pergerakan menyadarkan Fery bahwa pada akhirnya organisasi pergerakan sekarang lebih banyak “memanfaatkan” penderitaan manusia lain demi eksistensi gerakan mahasiswa. Demonstrasi dan sekian ragam kegiatan organisasi pergerakan yang pernah diikutinya, lebih banyak bertujuan buat memperkuat eksistensi diri gerakan dan bukan demi sebuah perbaikan yang nyata. Dan apa yang ditulis Fery, kalau benar, sungguh ironis. Ternyata banyak dari kita yang selama ini terlalu sesumbar dan omong besar tentang kepedulian sosial tapi pada akhirnya justru terjebak dalam “pemanfaatan” penderitaan orang lain.

Penderitaan masyarakat yang kita kutip di seminar-seminar, kita teriakkan di jalanan dalam demonstrasi-demonstrasi, dan kita serukan untuk dituntaskan, ternyata kita jadikan bahan bakar buat penyemangat dalam “beraksi”. Maka wajar kalau setelah sekian tahun, setelah banyak aktivis mahasiswa yang jadi fungsionaris partai politik dan mulai “melupakan” aktivitasnya dulu sebagai aktivis, masyarakat masih banyak menderita. Masih banyak ketidakadilan, sementara makin banyak aktivis mahasiswa yang duduk enak dalam kursi empuk di DPR. Bait selanjutnya, Fery melanjutkan ironi itu:

Kalau salah satu saja dari para pengarang lagu gerakan yang
jujur itu tak
lupa menulis sebuah lagu lagi untuk mahasiswa, tentunya
akan tercipta lagi
sebuah lagu, sebuah ironi baru, untuk Mahasiswa..berjudul,
atau setidaknya
bertema khusus tentang kepentingan menjaga eksistensi-
alisme mahasiswa


Sayangnya, mungkin sampai sekarang tak ada pengarang lagu gerakan yang sudah “ingat” untuk menulis sebuah lagu tentang kepentingan menjaga eksistensialisme mahasiswa. Lagu-lagu gerakan masih seperti dulu, dengan tipikal khas: bersemangat, dipenuhi harapan yang muluk-muluk, dan kadang omong besar. Dan kita masih sering dininabobokan oleh lagu-lagu itu. Ketika menyanyikannya, kita merasa seolah-olah sebagai pahlawan atau calon pahlawan yang akan berjuang demi masyarakat dengan tulus, ikhlas, dan tak ada tendensi apapun. Sebuah pengorbanan yang sempurna. Tapi, seperti dinyatakan Fery, ternyata semua itu hanya ilusi. Hanya semacam “perasaan bangga” yang menumpulkan daya kritis kita. Pada akhirnya, kebanyakan kita merasa telah berbuat banyak hal untuk masyarakat. Setelah kita tak lagi jadi aktivis, seolah-olah ada ilusi yang mengatakan pada kita bahwa semua telah lebih baik karena jasa kita. Tapi, tulis Fery:

Dan semua masih seperti yang dulu..
Kalaupun masih ingat, itu hanya ingat,
Dan selebihnya tak berarti apa-apa.

Dan Masyarakat..
Mahasiswa
Minta Maaf.

Haris Firdaus
Sukoharjo, 12 Desember 2006

2 comments:

SEKJEN PENA 98 December 4, 2007 at 8:56:00 PM GMT+8  

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

Anonymous July 17, 2008 at 11:01:00 AM GMT+8  

saya juga minta maaf..
kalaupun daya kritis itu hilang, kalaupun kegelisahan itu hilang, tapi masih ada sekelumit orang yang ingin menumpukan harapan pada gerakan mahasiswa. mereka bertahan. dan semoga suatu saat nanti daya kritis dan kegelisahan kembali menaungi mereka, para penerus.
saya juga minta maaf..

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP