Drupadi Menggugat

>> Thursday, December 7, 2006

Drupadi adalah seorang feminis ketika ia dengan lantang berteriak menentang “kekurangajaran” terhadap dirinya. Di ruang utama Hastinapura, ia berkata, “Hari ini, bukan hanya kehormatan saya yang akan dirampas, tetapi kehormatan seluruh wanita di dunia.” Dengan berkata demikian, ia tidak sedang “membagi” dukanya kepada seluruh wanita di dunia. Tapi sebaliknya, ia justru sedang ikut merasakan duka seluruh wanita yang akan dihilangkan kehormatannya. Dan dengan menentang dan mengutuk penghinaan dan “kekurangajaran” terhadap dirinya, ia sebenarnya sedang menentang dan mengutuk penghinanaan dan “kekurangajaran” terhadap seluruh wanita di dunia. Tapi, mungkin lebih dari itu. Ia sedang menentang dan “mengajak berkelahi” sistem yang dominan saat itu tapi membatasi ia dan kaumnya: patriarki.

Drupadi adalah seorang wanita “kuno” yang telah paham prinsip-prinsip demokrasi ketika ia berkata, “Tugas seorang raja adalah melindungi rakyatnya.” Meski dalam konteks itu yang harus dilindungi adalah dirinya sendiri, tapi Drupadi tidak egois. Ia tidak mengatakan, “Wahai Sang Raja lindungilah saya.” Ia justru dengan lantang berkata bahwa rakyatlah—bukan hanya dirinya yang sebenarnya bangsawan--yang harus dilindungi. Ia juga seorang yang “anti feodalisme” ketika ia berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini berhak mempertaruhkan orang lain dalam sebuah permainan dadu, termasuk seorang raja sekalipun.” Meski pernyataannya ini lebih ditujukan untuk “kebodohan” Yudistira yang telah mempertaruhkan dirinya dan keempat suaminya yang lain dalam sebuah permainan dadu melawan Sengkuni. Tapi sebenarnya tidak mutlak semacam itu. Drupadi justru tengah berteriak dengan lantang bahwa segala “penguasaan mutlak” atas seorang manusia oleh manusia yang lain harus dihentikan. Drupadi juga sedang berteriak bahwa tiap manusia sebenarnya sejajar dan tidak ada yang namanya “tinggi” atau “rendah”. Bahkan Drupadi bisa ditafsirkan sedang menentang sistem kasta. Sebuah sistem yang telah jadi bagian integral dari sitem kepercayaan dan kemasyarakatan tempat ia tinggal.

Drupadi juga seorang yang tidak bisa diam ketika melihat sebuah penindasan. Ia akan berteriak, menyumpah dan misuh saat melihat sebuah kesewenang-wenangan. Tapi bukan hanya orang-orang yang melakukan kesewenang-wenangan itu yang ia teriaki, sumpahi, atau pisuhi. Tapi juga orang yang diam melihat penindasan juga akan ia perlakukan sama. Seperti ketika ia mengacungkan telunjuknya sambil melotot dan menggugat “kediaman” Bisma, Sang Penjaga Hastinapura, saat penghinaan terhadap dirinya tengah berlangsung. Tapi bukan hanya Bisma yang ia gugat. Juga Maharaja Hastinapura, Guru Durna, Kripacarya, dan Mahamentri Widura. Tak ketinggalan kelima suaminya-- yang berdasar cerita sangat gagah perkasa namun diam saat ia ditelanjangi—juga tak luput dari sasaran gugatannya. Mungkin Drupadi paham bahwa “bersikap netral di hadapan penindasan sama artinya dengan melakukan penindasan”.

Dan saat menggugat para “tetua”itu, Drupadi juga sedang menolak satu sistem nilai yang lain: apapun yang terjadi si muda harus tetap hormat pada si tua. Ya, ia sedang menolak hal itu. Baginya, ketika berhadapan dengan sebuah kebenaran, tidak ada lagi kategori “tua” dan “muda” lagi. Kata-kata “hormat” dan “sopan santun” tidak laku saat itu. Karenanya, saat Bima—anak Pandawa yang sering dianggap paling tidak punya sopan santun—tidak pernah berani membantah kakaknya, Yudistira, Drupadi berani melakukannya. Penghormatan dan rasa sopan harus dikalahkan oleh keinginan membela kebenaran.

Drupadi tidak seperti kebanyakan wanita lain yang dipenuhi perasaan takut dan cemas untuk “melawan” tiap kesewenang-wenangan pada dirinya. “Anda mungkin saja takut, tapi saya tidak,” katanya. Dengan gagah ia mengeluarkan kutukan sebagai balasan terhadap ulah Dursasana yang menarik kain sarinya. Kutukan yang membuat Maharaja Hastinapura harus meminta maaf kepadanya. Kutukan yang juga membuat Gandari, first lady Hastinapura, meminta anaknya, Duryudaana, melakukan hal yang sama dengan apa yang telah Duryudana lakukan pada Drupadi: menelanjangi.

Drupadi, dalam Mahabarata, adalah simbol perlawanan yang sesungguhnya. Ia lebih tepat menyandang gelar itu ketimbang kelima anak Kunthi. Meski Arjuna, Bima, Yudistira, Nakula, dan Sadewa adalah orang-orang yang selalu dicitrakan sebagai ksatria: tampan, sakti mandraguna, punya banyak pusaka, gagah, dan disukai banyak wanita. Tapi kesemuanya itu mungkin hanya citra yang dibentuk oleh budaya dan pandangan yang patriarki. Ksatria, atau pahlawan, dalam pandangan ini, selalu dicitrakan secara maskulin dan cenderung berkutat pada masalah fisik. Ia kebanyakan muncul sebagai seorang pria dengan kesaktian luar biasa, dengan otot besar, dan pacar banyak.

Wanita, dalam kebanyakan film superhero hanyalah semacam “pelengkap” bagi si “bintang utama”, yang biasanya laki-laki. Wanita, bukanlah sosok yang mandiri di sana. Ia ada atau dibutuhkan hanya karena sang pahlawaan ada. Kalau sang pahlawan tidak ada, maka barang kali ia juga akan tidak ada. Wanita, dalam kebanyakan film superhero adalah sebuah “sosok yang tergantung” dan “tidak utuh”. Sisi pandang terhadapnya adalah sisi pandang “sang pahlawan” yang menjadi “pusat perhatian”. Sisi pandang terhadapnya adalah sisi pandang yang sepenuhnya maskulin. Karenanya sang wanita, biasanya tidak diungkap secara penuh atau utuh. Ia hanya diungkap dengan cara pandang “sang pahlawan”. Ia mungkin hanya akan diperlakukan sebagai sebuah obyek yang butuh perlindungan, atau sedang menanti untuk diselamatkan. Atau mungkin ia adalah sebuah “sansak” untuk dipeluk atau dicium setelah “sang pahlawan” mengalahkan musuh-musuhnya.

Pencitraan yang semacam ini tentunya berkaitan dengan bagaimana definisi “ksatria” dibentuk. Ksatria, selama ini adalah seorang yang tengah berjuang membela kebenaran dan keadilan kebanyakan dengan “jalan fisik”: perang, perkelahian fisik, atau adu tenaga dalam. Tentu dengan definisi yang semacam ini maka laki-lakilah yang lebih pantas untuk disebut sebagai “ksatria”. Karena laki-laki—lagi-lagi ini juga soal citra atau mungkin mitos—lebih sering diasumsikan sebagai manusia yang punya kemampuan fisik lebih baik ketimbang wanita. Padahal “ksatria” tidak harus selalu didefinisikan atau digambarkan secara demikian. Sekalipun dalam film atau cerita yang mengutamakan “adegan fisik”. Ksatria bisa saja hadir dalam bentuk lain. Ia bisa ditafsirkan sebagai sumber inspirasi, dorongan, atau sebuah spirit bagi penegakan kebenaran dan keadilan. Ia lebih merupakan sebuah semangat yang abstrak ketimbang tindakan konkret. Tapi kesemua itu terhambat oleh kesenangan kita menangkap yang “konkret” ketimbang yang “abstrak”. Padahal, bisa jadi yang “abstrak” itulah sebenarnya yang konkret, the real.

Mungkin juga Drupadi “ditempatkan”, dalam Mahabarata, hanya sekedar sebagai “pelengkap” bagi Pandawa. Tapi ternyata Drupadi tidak diam saja. Ia bukan hanya ingin menjadi “pelengkap” tapi juga “yang dilengkapi”, “yang utama”. Ia tidak mau diam saja. Ia memberontak, menggugat, dan berteriak. Ia adalah seorang feminis yang punya unsur demokrat dan marxis sekaligus. Ia adalah simbol pemberontakan.


Haris Firdaus
Kentingan, 8 Nopember 2005

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP