Percik kehidupan

>> Monday, November 20, 2006

Jangan pernah menempatkan organisasi ini sebagai prioritas pertamamu. Sebab kau akan kecewa jika rekanmu tak menempatkan organisasi ini sebagai prioritas pertamanya.

Kalimat itu, saya ambil dari ucapan kawan se-organisasi di kampus. Sebagai mahasiswa, organisasi mungkin telah jadi semacam kelaziman. Bagi beberapa mahasiswa, barangkali termasuk saya, organisasi mungkin saja lebih penting dari pada kuliah. Atau, mungkin lebih penting dari pada keluarga. Saya memasuki sebuah organisasi di kampus sejak tahun-tahun awal saya menjadi mahasiswa. Hingga kini, mungkin sudah dua tahun lebih saya berproses di sana. Ketawa, kecewa, nangis, atau bahagia, terjadi di sana. Dan bagi saya, organisasi yang saya miliki itu teramat berpengaruh.

Kawan-kawan saya di sana telah menjelma menjadi keluarga saya, dalam sekejap. Mungkin merekalah yang akhirnya paham sifat dan watak saya luar dalam, ketimbang keluarga saya yang sebenarnya. Sebagian besar waktu hidup saya selama menjadi mahasiswa dihabiskan di secretariat organisasi itu. Kegiatan kuliah tak terlalu menyita waktu sehingga kegiatan utama saya di kampus adalah organisasi. Mungkin karena itu, bukan hanya tanggung jawab saja yang tumbuh. Tapi juga cinta.

Saya tak lagi melihat kawan se-organisasi sebagai “teman kerja”, tapi sudah sebagai saudara. Bukan hanya bagian dari diri mereka yang terkait dengan organisasi saja yang ingin saya ketahui, tapi juga bagian-bagian yang sifatnya personal. Saya selalu berusaha memposisikan mereka sebagai “manusia”, bukan sebagai semata-semata “organisatoris”. Lalu, hubungan organisasi—baik dengan orang-orang di dalamnya, maupun dengan organisasi itu sendiri—kian terasa emosional, sebuah tipikal hubungan yang agak aneh juga dalam sebuah organisasi.

Kemudian, dalam sebuah proses yang panjang dan kadang tidak disadari, organisasi itu mungkin jadi prioritas saya yang pertama. Rasanya tak lengkap membicarakan diri saya sekarang tanpa mengikutsertakan organisasi itu. Rasanya tak ada cerita tentang diri saya yang lebih menarik buat diceritakan dari pada cerita saya dalam organisasi itu. Pada akhirnya, organisasi itu kian berpengaruh. Dan mungkin, ia adalah proritas pertama saya.

Meski kemudian saya sadari, betapa cepatnya hubungan berlalu dalam sebuah organisasi. Dalam hitungan tahun, atau bahkan bulan, kawan-kawan saya se-organisasi yang saya anggap sebagai “kakak”, atau “saudara”, tiba-tiba telah meninggalkan organisasi. Saya tak dapat menahan mereka. Toh, proses regenerasi atau proses datang-pergi dalam sebuah organisasi adalah proses yang wajar. Saya kemudian tersadar: proses itu sepenuhnya rasional, bukan emosional. Dan karena perpisahan dalam sebuah organisasi, mereka tak lagi dekat dengan saya. Bukan karena persoalan yang prionsipil misalnya, tapi karena soal yang “sepele”: kerenggangan itu terjadi karena kita tak lagi bertemu.

Akhirnya saya tahu, pertemuan fisik ternyata berpengaruh pada “dunia dalam” kita. Sebab, manusia memang bukan hanya roh, abstraksi, atau sekedar pemikiran belaka. Tapi ia juga daging yang bisa disentuh, darah yang bisa dikucurkan, dan mata yang mampu menangis. Betapa cepat waktu berlalu, dalam organisasi. Betapa nisbinya hubungan “persaudaraan” yang saya agung-agungkan itu dulu. Kawan saya se-organisasi yang lain benar: kalau kamu bermusuhan dengan saya, mungkin tak akan jadi soal benar. Sebab ketika proses regenarasi organisasi ini telah terjadi, kamu tak akan lagi bertemu dengan saya. Tapi, kalau kamu bermusuhan dengan keluargamu, yang seumur hidup akan kau temui?

Betapa relatifnya batas “keluarga”. Betapa cepatnya waktu yang dibutuhkan buat saya agar tak lagi merindukan kawan-kawan saya yang dulu (kini, saya harus sibuk mengurus organisasi dan menjalin hubungan dengan kawan yang lain lagi. Kawan boleh pergi, tapi organisasi tak boleh mati.). Saya pernah melihat seorang kawan yang mencoba menjalin kembali hubungan dengan kawannya yang dulu se-organisasi dengannya. Mungkin, saat masih berproses dalam satu organisasi, mereka begitu dekat. Tapi, saat mereka tak lagi disatukan dalam sebuah wadah, sebuah struktur, dan telah lama tak bertemu? Bisakah kemudian, kedekatan yang pernah terjadi dalam organisasinya dulu, diulangi kembali? Saya kira tidak. Dan kawan saya itu agaknya tak terlampau berhasil.

Meski demikian, saya tak juga kemudian punya pendapat bahwa kawan saya yang telah pergi dari organisasi bukanlah saudara saya lagi. Terkadang saya merindukan mereka. Terkadang, bayangan proses di organisasi yang telah lewat kembali muncul. Dan romantisme itu begitu menggoda buat dilamunkan. Dan hubungan memang bisa dijalin, tanpa wadah, tanpa struktur, atau tanpa keharusan buat bertemu. Cuma, kadarnya memang tak akan sama.

Kini, ketika saya menyadari itu, haruskah saya menempatkan prioritas organisasi saya di urutan pertama, atau setidaknya di urutan yang awal? Saya tak lampau tahu. Mungkin, biar proses yang menjawabnya. Tapi, benar kalimat kawan saya yang di awal: ketika tahu, ada kawan se-organisasi yang tak menempatkan prioritas organisasi di urutan pertama, saya agak kecewa. Apalagi jika tahu kawan saya itu adalah orang yang punya tanggung jawab lebih besar dari saya. Dan harusnya, prioritasnya ke organisasi minimal sama dengan saya.

Ah, betapa bodohnya saya: hidup tak melulu soal organisasi.

Haris Firdaus






0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP