Imam, Laras, dan Keyakinan

>> Wednesday, November 15, 2006

Saya tak tahu, sudahkah Imam Samudera bermimpi seperti Laras. Imam Samudera, kita kenal nama itu sebagai orang yang terlibat Bom Bali pertama. Juga, orang yang kemudian menulis sebuah buku yang berusaha “menerangkan” alasan ia dan kawan-kawannya melakukan itu: sebuah jihad, peperangan melawan yang tak suci dan jahat.

Dan Laras? Saya ambil nama itu dari sebuah cerita pendek kawan saya. Judul cerita itu Jejak Kaki di Pasir Putih. Bersama beberapa cerpen dan puisi, cerita itu kemudian diterbitkan secara “independen” oleh sebuah lembaga kemahasiswaan di UNS (Universitas Sebelas Maret, Solo). Ika Damayanti, si pengarang cerita, melukiskan Laras sebagai seorang remaja yang hampir mirip dengan yang ada di sinetron: kaya, banyak teman, dan suka usil. Tapi saya tak terlampau tertarik akan hal itu. Yang menarik bagi saya adalah soal mimpi Laras yang hampir tiap malam selalu sama. Sebuah mimpi melihat dua pasang jejak kaki di atas pasir putih. Dan entah kenapa—Ika juga tak menerangkan itu—Laras kemudian mengidentifikasikan dua pasang jejak kaki itu sebagai miliknya dan milik Tuhan. Tentu ini sebuah kiasan. Sebab dengan mengidentifikasi jejak kakinya berada di samping jejak kaki Tuhan, Laras sebenarnya ingin punya keyakinan bahwa Tuhan selalu ada di sampingnya.

Tuhan selalu ada di samping kita. Juga selalu berada pada pihak kita. Barangkali itu juga yang ada di benak Imam Samudera. Juga kawan-kawannya yang lain. Sebab dengan memiliki keyakinan bahwa Tuhan selalu ada di pihak “kita” dan bukan pihak “mereka”, orang bisa memiliki sebuah otoritas. Otoritas itu timbul, sebab keyakinan bahwa Tuhan ada di pihak “kita” bisa juga diartikan sebagai “kita” adalah pihak yang memperjuangkan Tuhan. Dan dalam memperjuangkan sebuah kekuasaan tertinggi, yang tak ada kekuatan lain yang menandingi, apa yang tidak halal? Dalam perjuangan untuk sebuah kebenaran yang telah “selesai menjadi”, apa yang mesti kita ragukan?

Tak ada memang. Semuanya jadi halal ketika kita yakin bahwa Tuhan ada di pihak kita. Semuanya jadi terang, jelas, dan final ketika kita merasa yakin dengan apa yang diyakini Laras: dua pasang jejak kaki itu adalah milik kita dan milik Tuhan. Mungkin bayangan kita berlanjut: kita dan Tuhan bersama berjalan pada jalan yang sama, secara beriringan. Dengan keyakinan semacam itu, apa yang sanggup membantah kita? Dan apa yang sanggup menghalangi kita?

Agaknya, dalam kondisi itu, tak akan pernah ditemukan sebuah benteng untuk menghambat kita. Dalam keyakinan yang terus-menerus diperteguh itu, tak ada senjata yang mampu membunuh kita. Apalagi, sekedar menggertak. Juga penjara, hukuman mati, cemoohan orang, dan ancaman pembunuhan secara brutal sekalipun, tak akan mempan. Tapi bukankah semua itu—senjata, benteng, penjara, dan lain sebagainya—adalah benda di luar kita? Bukankah mereka hanya mampu menyentuh fisik kita? Dan bukankah ancaman fisik sebenarnya sebuah ancaman yang tak lebih “mengganggu” ketimbang sebuah ancaman lain: kerisauan emosional, keragu-raguan psikologis, gugahan kemanusiaan, atau hal yang semacamnya?

Cuma, ancaman kedua yang bagi saya lebih berat itu, ternyata juga tak mempan buat orang yang telah memegang iman bahwa ia bertugas untuk Tuhan. Kerisauan melihat tumpahan darah yang mengalir, kegoncangan mendengar isak tangis para korban, atau penyesalan yang timbul karena telah membuat sebuah tragedi, barangkali juga tak ada. Rasa-rasa seperti itu, oleh Imam Samudera dan kawan-kawannya, agaknya telah mampu “diatasi”.

Bagaimana mengatasinya? Bagaimana membuat kemanusiaan kita tak tergetar melihat kekejaman seperti Bom Bali? Itu yang tak pernah saya tahu. Cukupkah dengan mengatakan bahwa para korban yang jatuh adalah sebuah “ongkos” yang harus dibayar untuk dunia yang lebih baik? Ataukah dengan mengatakan bahwa para korban itu adalah orang yang benar-benar pantas mati, juga keberadaan mereka cuma mengotori bumi? Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebab konon ketika Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Ismail, ia mengalami guncangan hebat. Barangkali Ibrahim masih tergetar dan ragu ketika ia telah sampai pada saat harus mengadu ujung pisau dengan leher anaknya. Bahkan, setahu saya, Ismail sampai harus meyakinkan ayahnya agar segera menyembelih dirinya karena itu adalah perintah Tuhan.

Ibrahim, seorang nabi. Seorang yang terlampau dekat dengan Tuhan, barangkali. Dalam posisi seperti itu saja, Ibrahim masih harus menunggu sampai ia mengalami beberapa kali mimpi yang sama tentang perintah menyembelih anaknya. Ia bahkan terus bertanya, Tuhan ataukah setan yang membisiki dirinya? Tuhan ataukah setan? Perintah suci, atau dorongan nafsu yang mengerikan? Saya tak tahu sudahkah Imam Samudera bertanya semacam itu. Cuma, saya agak yakin bahwa perintah untuk melakukan “jihad” di Bali tak ia temukan dalam kondisi yang spekulatif seperti mimpi. Perintah itu, tentunya, datang dari sebuah kondisi yang terang dengan dasar. Dan dasar itu tak main-main. Al-Qur’an, Hadist, dan tarikh sahabat dikutip Imam Samudera dalam bukunya. Semuanya dengan pemahaman yang “membenarkan” tindakannya.

Agaknya kita tak pernah bisa mengerti di mana Imam Samudera membuang kemanusiaannya. Atau jangan-jangan, kemanusiaan bagi Imam Samudera adalah hal yang tak universal. Dalam sebuah bagian bukunya, ia menulis tentang bayi-bayi muslim yang dibunuh, juga tentang nasib para korban perang di negeri-negeri muslim. Imam Samudera bersedih Dan ia menangis buat mereka. Juga, berjanji “membalas dendam”. Bagi Imam Samudera, mungkin kemanusiaan adalah hal yang “rasialis”. Pembunuhan terhadap si muslim adalah pelanggaran kemanusiaan, tapi pembunuhan terhadap yang non muslim dan “kafir”?

Saya justru bingung kenapa Imam Samudera mengambil logika musuhnya sendiri. Bukankah ia terus menuduh bahwa AS—musuhnya itu—selalu mengabaikan pembunuhan terhadap warga muslim tetapi menganggap penting pembunuhan terhadap warga barat yang non muslim? Dan kini, ia melakukan hal yang sejajar dengan mengabaikan pembunuhan terhadap orang non muslim yang tak bersalah. Pentingkah sebuah baju seperti agama, ras, dan bangsa, dalam hal kemanusiaan? Saya kira tidak. Kekejaman bisa untuk siapa saja. Ia berlaku tanpa batas teritori tertentu. Tapi, bagi orang yang yakin jejak kaki Tuhan ada di samping jejak kakinya?

Saya tak tahu, sudahkah Imam Samudera bermimpi seperti Laras dalam Jejak Kaki di Pasir Putih. Saya juga tak tahu, apakah pada akhirnya keyakinan Imam Samudera—bahwa Tuhan ada di sampingnya—akan berubah, seperti keyakinan Laras yang berubah. Pada akhirnya, keyakinan Laras bahwa Tuhan selalu di sampingnya memang berganti. Pergantian ini, karena suatu saat, ia kembali bermimpi dan melihat jejak kaki yang ada di atas pasir putih itu tinggal satu. Ia pun mengambil kesimpulan: Tuhan telah meninggalkan dia. Ia sedih dan gundah. Kemudian, karena penasaran, Laras mencoba meletakkan tapak kakinya ke atas jejak kaki yang tinggal satu itu. Di luar dugaan, ukuran kakinya ternyata tak pas dengan jejak kaki itu. Pada akhirnya, ia sadar jejak kaki itu bukan miliknya. Dan ia pun menyadari, sejak semula Tuhan tak pernah berjalan beriringan dengannya di atas pasir putih.

Haris Firdaus
Kentingan, 12 Mei 2006

1 comments:

Yono April 11, 2007 at 12:50:00 PM GMT+8  

Saat kita berinteraksi dan bersinggungan dengan orang lain, nilai-nilai dan keyakinan yang kita anut harus dikoreksi ulang karena ketersinggungan dengan nilai-nilai lain itu. Yang menjadi titik acuan harusnya adalah nilai-nilai umum dalam masyarakat.
Dalam kasus di atas, nilai-nilai umum yang harus dijaga bersama adalah kemanusian.
Akan menjadi masalah kalau ada orang-orang yang mau 'menang sendiri', memaksakan kehendaknya, value2 yang dia anut kepada orang lain. Sampai kapanpun, pemaksaan kehendak hanya mampu menghasilkan pribadi yang terkungkung, pemberontak; tidak akan menghasilkan pribadi yang merdeka.
Banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa agama (keyakinan) yang dijadikan alasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain hanya menghasilkan penderitaan.
Dalam tatanan masyarakat kita, sebaiknya kita membentuk pribadi2 mau menghargai pendapat orang lain, pribadi dewasa yang mau menerima adanya perbedaan di dunia ini. Bertoleransi dengan sesama. Menghormati Tuhan yang telah pula menciptakan orang lain selain dirinya.
Kita harus menentang dan membentuk opini publik bahwa langkah-langkah arogan, fanatik dan mau menang sendiri adalah langkah yang salah dalam membentuk tatanan dunia yang lebih baik. Dalam kehidupan sehari-hari kita masih sering menjumpai kasus-kasus arogan seperti itu seperti misalnya FPI (Front Pembela Islam) yang sering main hakim sendiri.
Perbedaan adalah wajar, dunia akan menjadi monoton kalau kita tidak berbeda. Tuhan sendiri menciptakan perbedaan-perbedaan itu. Apa hak manusia untuk melenyapkannya?

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP