Setan Itu, Siapa?

>> Wednesday, November 15, 2006

Putri namanya. Saya tak ingat nama lengkapnya. Kulitnya putih, wajahnya bersih, dan berkaca mata. Ia seorang aktivis mahasiswa di Solo. Ketika diam, ia kelihatan anggun. Senyumnya sedikit-sedikit, tapi kadang juga tertawa lebar. Mukanya menampakkan keyakinan. Gaya bicaranya berapi-api dan mantap.

Saya bertemu dengannya dalam sebuah diskusi tentang pendidikan di Indonesia. Kala itu, ia jadi pembicara. Dan saya, duduk bersila pada sebuah kursi sambil menikmati makanan kecil. Sebelum ia berbicara, saya menerka apa yang akan jadi fokus pembicaraanya. Dan saya benar. Karena itu, saya tersenyum sambil terus memperhatikan bangunan logika yang sedang meluncur dari mulutnya. Juga data-data yang coba ia berikan, entah sebagai gincu atau benar-benar sebuah penguat.

Seperti saya duga sebelumnya, ia akan “menyalahkan” neoliberalisme sebagai biang keladi permasalahan pendidikan di negeri ini. Putri dengan lantang berbicara soal narasi-narasi besar itu: kapitalisme, globalisasi, pasar bebas, juga skenario global. Semuanya kemudian ia tarik ke konteks Indonesia, khusunya masalah pendidikan. Bagi Putri, juga mungkin banyak aktivis mahasiswa yang hadir dalam diskusi itu, neoliberalisme yang terus berkembang pesat dengan menguatnya WTO, IMF, dan Bank Dunia, adalah faktor utama terpuruknya keadaan pendidikan negeri ini.

Pencabutan subsidi dalam bidang pendidikan—dengan berubahnya status PTN, misalnya—adalah bukti bahwa pemerintah menuruti kehendak kaum neoliberal, kata Putri. Anggaran pendidikan yang tak pernah sampai dengan angka yang ditetapkan Undang-undang, juga adalah bukti yang mencolok. Selain itu, pencantuman masyarakat sebagai bagian yang ikut dalam penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sidiknas dianggap Putri sebagai proses “swastanisasi” pendidikan yang dihalalkan.

Sebuah logika usang? Entahlah. Yang jelas, Putri banyak benarnya. Cuma, masalahnya, dari mana ia sampai ke kesimpulan itu? Setelah proses pengkajian yang mendalam, atau hanya mengambil dari teori-teori yang telah ada? Kita kenal Mansour Fakih—yang telah tiada—sebagai orang yang banyak memperkenalkan pemahaman itu. Juga Roem Topatimasang yang menulis Sekolah Itu Candu. Juga sederet pemikir lain.

Karena penasaran, dalam diskusi itu, kemudian saya bertanya pada Putri, “Benarkah neoliberalisme adalah ‘setannya’?” Jangan-jangan semua yang diungkapkan Putri itu hanya sebuah kecurigaan. Menariknya, Putri tak reaktif dengan pertanyaan saya itu. Ia malah terkesan menghindar dari desakan saya. Yang justru reaktif adalah dua kawan lain yang tidak jadi pembicara. Dengan bersemangat mereka mengatakan bahwa neoliberalisme memang benar-benar “si setan itu”. Dan mereka juga menambahi bahwa kesadaran seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketika ia tak pernah mengalami penindasan, ia tak akan pernah sadar kalau ada penindasan, demikian dua kawan yang kelihatannya berasal dari latar belakang ideologi yang sama itu menyimpulkan.

Saya tak begitu yakin, adakah mereka menyindir saya. Yang jelas saya hanya tersenyum. Apa yang sebenarnya saya lakukan dalam diskusi itu—dengan meragukan neoliberalisme sebagai biang keladi permasalahan—adalah sebuah kewaspadaan. Pada penyederhanaan masalah, pada penyempitan pandangan. Juga fundamentalisme baru.

Soalnya, saya melihat ada indikasi bahwa teman-teman aktivis yang hadir dalam diskusi tadi selalu berpikir ke satu pokok soal yang sama ketika berbicara banyak hal. Ketika berbicara pendidikan, yang salah adalah para kapitalis. Ketika berbicara soal kenaikan harga BBM, mereka merujuk pada neoliberalisme. Ketika bicara soal buruknya pelayanan kesehatan, mereka menyalahkan setan yang sama. Bukankah tendensi yang paling berbahaya adalah ketika semua soal dikembalikan pada satu biang keladi, tanpa bukti dan sekedar berpegang pada teori?

Selain itu keyakinan bahwa dunia saat ini digerakkan oleh sebuah mesin ideologi yang satu, utuh, dan total, juga mengandung resiko tersendiri. Keyakinan bahwa saat ini para agen neoliberal sedang merencanakan “sesuatu” terhadap dunia dan keyakinan bahwa mereka benar-benar mampu melakukan “sesuatu” itu terhadap dunia, juga rentan terhadap sebuah penyederhanaan. Bukankah dunia adalah entitas yang terlalu kompleks untuk bisa digerakkan dalam sebuah kepentingan yang satu? Benarkah kaum neoliberal itu adalah kaum yang kompak, berpandangan sama, dan tidak ada perselisihan dalam benak mereka? Benarkah AS, Inggris, IMF, Bank Dunia, Exxon, dan Bill Gates punya kepentingan yang sama? Dan benarkah mereka sekarang sedang berencana menggiring dunia pada kondisi tertentu dengan prinsip-prinsip tertentu? Pertanyaan, dan keraguan ini mungkin akan dianggap keluar dari mulut seorang “kelas menengah” yang tak pernah merasakan sulitnya antre minyak tanah atau tak pernah mengalami mahalnya membayar SPP.
***


Dalam beberapa hal, saya melihat ada persamaan antara orang-orang seperti Putri dan kawan-kawannya dengan teman-teman dari kelompok Islam “fundamentalis”. Putri dan kawan-kawannya—yang mungkin mengidentifikasi diri sebagai “kiri”—seringkali melakukan hal yang sama dengan kelompok Islam fundamentalis: mengembalikan segala hal pada satu pokok soal. Kalau teman-teman kiri hampir selalu menyalahkan dan memusuhi neoliberalisme sebagai biang keladi, maka kawan-kawan fundamentalis berbicara tentang “yang kafir dan memusuhi Islam”. Tentu kelompok “kiri” dan “fundamentalis” juga bermacam banyaknya. Tapi paling tidak, ada kecenderungan semacam itu pada mereka.

Bahkan Eko Prasetyo—seorang penulis yang aktif melawan neoliberalisme—juga mempersamakan kelompok pemuda kiri dengan Islam fundamentalis. Dalam akhir sebuah bukunya, Eko menulis dengan apik persamaan-persamaan antara dua kelompok itu. Persamaan paling menonjol adalah sama-sama memusuhi Amerika Serikat. Kalau teman-teman kiri membenci AS karena negara itu dianggap sebagai “biang kapitalis”, maka teman-teman Islam fundamentalis berang karena kebijakan AS yang cenderung memusuhi Islam. Eko juga membubuhkan persamaan lain: kedua kelompok itu sama-sama memiliki semangat, juga optimisme, dalam membangun dunia “baru”.

Semangat, optimisme, dan panduan. Ketiganya dibutuhkan dalam sebuah ikhtiar perbaikan terhadap dunia. Dan dua kelompok itu memilikinya. Semangat dan optimisme, tak ada yang salah dengan itu. Tapi panduan? Haruskah kita menerimanya dengan mutlak, sebagai doktrin? Bukankah apa yang dinamakan dengan panduan terkadang berwujud prinsip-prinsip umum tentang bagaimana membangun dunia yang baik? Agaknya kita mesti bertanya: benarkah marxisme, kapitalisme, atau ideologi lain—yang selalu mengemukakan prinsip-prinsip umum untuk membangun dunia itu—benar-benar ampuh?

Pertanyaan itu saya ambil dari Daniel Bell, ketika ia menulis The End of Ideology. Bagi Bell, masyarakat tidak mungkin dibangun dengan satu prinsip umum yang berlaku universal. Tak pernah ada satu resep manjur tentang segala soal yang sedang menjadi problem masyarakat. Tak akan pernah ada sebuah “obat universal” yang berlaku di manapun di dunia. Lalu bagaimana? Bell menjawab: permasalahan-permasalahan di masyarakat mesti diselesaikan dengan rasional. Masalah-masalah itu tak pernah boleh disentuh dengan semacam “pendekatan ideologis”. Masalah-masalah itu harus dilihat satu per satu, dengan cermat, teliti, lalu dicari solusinya secara rasional. Saya tak tahu apakah “rasional” yang dimaksud Bell berarti ilmu pengetahuan.

Kalau itu benar, soalnya jadi bertambah. Bukankah beberapa aktivis dan pemikir kiri juga meragukan kemanjuran ilmu pengetahuan? Beberapa dari mereka beranggapan ilmu sama sekali tidak bebas kepentingan. Ilmu juga bisa menjadi doktrin. Dalam bahasa seorang pemikir mazhab Frankfurt, rasionalitas ilmu juga bisa menjadi irasionalitas baru. Kondisi ini muncul ketika ilmu tak diperlakukan secara “ilmiah”. Ketika ia bisa dianggap menyelesaikan segala soal dengan baik, oleh karena itu tak perlu dikritisi lebih jauh.

Sampai di sini, kita bertanya: adakah hal lain yang bisa dijadikan panduan ketika ideologi, ilmu, juga barangkali agama diragukan? Dalam kondisi ini, kita ada pada kondisi yang mirip dengan yang diramalkan Nietzsche: sebuah keadaan tanpa nilai dan pegangan. Sebuah keadaan yang timbul karena—mengutip kata-kata filsuf Prusia itu—Tuhan telah mati. Cuma, Nietzsche tak kemudian bersikap murung dengan kondisi itu. Ia justru senang dan girang. Ia justru “menjawab” kondisi itu dengan sebuah kegembiraan. Dengan semangat dan optimisme, sama ketika teman-teman kiri menyambut perjuangan dengan panduan ideologi mereka. Juga teman-teman gerakan Islam yang selalu berpegang pada kepercayaan mereka. Pada akhirnya, optimisme dan semangat itulah yang dibutuhkan. Dan masalah pegangan? Itu soal yang tak pernah selesai.

Haris Firdaus
Kentingan, 11 Mei 2006

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP