Jalan dan Spiral Kebisuan

>> Thursday, May 14, 2009


Sebuah jalan bukan sekadar prasarana fisik guna memungkinkan mobilitas manusia terjadi dengan baik.

Pada awalnya, jalan memang ditegakkan untuk tujuan itu. Tapi, dalam perkembangannya, ia berubah jadi sesuatu yang tak sekadar memiliki “sifat fisik”. Akhirnya, manusia harus mengakui bahwa jalan akan jadi sesuatu yang punya pengaruh “mental” pada mereka.

Saya teringat sebuah siang pada Mei 1998. Pada bulan itu, saya masih seorang murid sekolah dasar tingkat akhir. Sekitar pertengahan bulan, Solo—kota tempat di mana saya sekolah—dilanda sebuah huru-hara yang tak mudah dijelaskan, juga diselesaikan. Saya, yang tiap hari pergi dan pulang sekolah dengan bus, menjadi bingung karena pada hari-hari di mana kerusuhan terjadi seluruh bus berhenti beroperasi.

Pada suatu hari ketika kerusuhan tak bisa lagi dihindari, saya dan kawan-kawan akhirnya sadar bahwa kami tak akan menemu satu bus pun yang bisa membawa pulang ke rumah masing-masing. Setelah menghabiskan waktu sia-sia, akhirnya diputuskan untuk pulang berjalan kaki. Bersama-sama.

Pada momen ketika menyusuri jalanan Solo setapak demi setapak itulah, saya—dengan kaca mata seorang kanak yang siap dewasa—merekam bagaimana kerusuhan terjadi. Jalanan yang berubah jadi berkabut karena asap kebakaran, kerikil dan batu yang bertebaran, orang-orang yang tumpah ruah, tentara dan plisi yang kadang tak sanggup berbuat apa-apa, semuanya saya rekam.

Kekerasan seperti mendapatkan tempatnya di jalan-jalan Solo waktu itu. Tak ada manusia yang bisa bertahan tidak histeris atau marah. Semua mereka yang turun ke jalan berubah jadi manusia yang harus larut dalam histeria yang entah timbul dari mana. Saya lihat bagaimana mereka melempar batu ke arah gedung-gedung, menyulut api dan membakar ban, berteriak, menyumpah, serta marah.

Jalan jadi sebuah medan di mana kemarahan jadi gampang tertular. Manusia, yang dalam eksistensialisme dipercaya bisa menjadi makhluk yang otonom, pada momen itu kehilangan individuasinya. Mereka jadi gerombolan yang anonim di mana identitas, keberpihakan, dan sikap seringkali diambil berdasar sebuah provokasi yang tiba-tiba timbul. Pada momen yang demikian, koor jadi sesuatu yang mudah ditemukan.

Kalau mengingat penggalan momen itu, saya sebenarnya tak yakin bahwa mereka yang menghanguskan Solo betul-betul memahami kenapa akhirnya mereka melakukan itu. Saya meragukan itu karena, bagi saya, kerusuhan waktu itu benar-benar terlihat seperti sebuah chaos, bukan sebuah “gerakan” yang diorganisir dengan rapi. Dalam beberapa aksi pembakaran, misalnya, terkadang terlihat sebuah sikap yang berbeda: ada yang mencoba mencegah bakar-bakaran itu, tapi tetap ada yang dengan ngotot menyulut bara.

Pembakaran, penjarahan, atau kekerasan seringkali menjadi besar jutru karena “gerak spontan” massa yang telah berkumpul di jalan. Mereka yang telah sama-sama ada di sana seperti memiliki semacam tautan satu sama lain—meski kebanyakan tautan itu imajiner sifatnya. Dari tautan itulah “spontanitas” lahir dan kelahiran itu hanya mungkin ketika mereka sama-sama ada di jalan, sama-sama saling melihat secara fisik, sama-sama bisa memerkirakan bahwa masing-masing minimal tak ada dalam kepentingan yang diametral.

Di situlah sebenarnya jalan berpotensi menjadi sesuatu yang negatif karena ia menampik rasio. Pada peristiwa yang demikian, ia bisa mengakibatkan sebuah provokasi mendapat sambutan dan sebuah ajakan yang tak rasional sekalipun bisa jadi tampak sebagai sebuah “sabda suci” yang tak kuasa kita tolak. Individuasi manusia dirampas, identitas mereka digeletakkan, dan anonimitas lah yang akan menggejala.

Di jalanan, sebuah “konsensus yang bebas dominasi”—sesuatu yang oleh Habermas dipercaya sebagai “kodrat” praksis komunikasi manusia—tak terjadi. Sebab, “konsensus yang bebas dominasi” itu mengangankan manusia ada pada kondisi eksistensialnya yang paling prima. Dan di jalanan, ketika histeria terbentuk, kondisi eksistensial manusia justru terpuruk pada levelnya yang amat rendah.

Maka itu pula, diskusi dan tukar pendapat tak akan terjadi di jalanan ketika massa sudah berkumpul. Yang ada di sana adalah kesatuan pendapat, kebulatan tekad, dan kemauan untuk terus menyatakan pendapat atau melakukan perbuatan tertentu. Tapi yang perlu diingat, kesemuanya itu tercapai setelah—pinjam pemikiran Sartre—sebuah proses komunikasi yang mengandung “sengketa”.

Dalam proses yang mengandung “sengketa” itulah sebuah “penaklukan” terjadi. Eksistensi seorang pribadi ditundukkan—bukan oleh eksistensi individu lain—tapi oleh sebuah “gemuruh pendapat umum”. Menghadapi sebuah gelombang sikap yang gigantis itu, seorang pribadi biasanya akan jadi “bisu”: ia tak akan mampu menyatakan pendapatnya yang bertentangan dengan massa di hadapannya. Individu itu akan tunduk dan larut.

Saya kira, istilah “spiral kebisuan”—sebuah istilah dalam Ilmu Komunikasi—bisa mewakili fenomena itu. Spiral kebisuan adalah representasi dari sebuah keadaan di mana mayoritas menjadi sebuah tirani dan individu-individu yang mencoba berbeda kehilangan keberanian untuk mengartikulasikan gagasannya.

Keberanian yang hilang itu, tak terlampau berkait dengan tekanan—dalam arti fisik maupun politis—tapi lebih berkait dengan mekanisme psikologis si individu yang secara pelan-pelan merepresi pendapatnya sendiri dan menyesuaikan opininya itu dengan “pendapat umum”. Represi itu bisa terjadi ketika individu memang melihat dengan mata yang terpukau kepada “publik yang umum” itu. “Keterpukauan” itulah yang kemudian membuat dirinya mulai ragu dan akhirnya sama sekali meninggalkan pendapat atau sikapnya sendiri.

Dibandingkan represi fisik atau politis, represi jenis ini jelas lebih sulit untuk diantisipasi, juga diurai secara konkret karena wujudnya yang tak kentara. Tapi, meski tak kentara, represi diri itu jelas akan menjadikan individu, dalam sebuah spiral kebisuan, laiknya sesendok kecil gula yang dimasukkan ke dalam seember besar air lalu “larutan” itu diaduk. Gula yang cuma sesendok itu tak akan punya arti apa-apa: ia tak mengubah air yang seember itu.

Alih-alih memberi perubahan, gula sesendok itu justru lenyap, larut ke dalam sebuah lubang yang tak akan memungkinkan ia ditemukan kembali. Tepat ketika gula itu dimasukkan, lalu “larutan” diaduk, sejarah gula itu sebenarnya sudah menduduki titik akhir.

Saya takut: jangan-jangan jalanan juga akan mengakhiri sejarah kedaulatan manusia. Ketika jalanan diisi tempik sorak yang tanpa makna tapi sebuah sikap mesti ditegakkan saat itu juga, di situ sebenarnya pembicaraan ditampik dan spiral kebisuan akan mewujuds

Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

25 comments:

zefka May 14, 2009 at 7:41:00 AM GMT+8  

jalan emang bisa jadi tempat berkumpulnya semua yg ada di bumi ini, mulai dari yg bejat/laknat sampe yang penuh manfaat.
Jadi ngeri ingat kerusuhan Mei 98 :(

Sidik Nugroho May 14, 2009 at 7:53:00 AM GMT+8  

salut dengan opini-opini mas haris yang bertepatan dengan berbagai momentum. saat mei 98 saya sma kelas 3, bukan 5 SD. :-) saat itu histeria benar-benar mencekam-memanas akibat tayangan-tayangan di tivi, walaupun posisi saya berada di semarang, bukan solo. :-)

omong-omong tentang jalan, saya ada puisi tentangnya:

jalan adalah sebuah teman renungan
yang menghapus lelah tubuh dan gundah hati
ia adalah penafsir jejak renungan
yang disusupi duka dan nyanyi sunyi

langkahku berat sambung-menyambung
pada jalan yang dibuai dengan renung
aku bersama jalan coba menyatu
mengeja kenangan bersama gerak waktu

salam mengenang tragedi mei,
tuanmalam

zee May 14, 2009 at 9:03:00 AM GMT+8  

Jalanan itu diciptakan oleh manusia utk kepentingan bersama, soal nanti digunakan utk yg baik ato yg negatif, itu adalah tanggung jwb manusia.

Mau jadi saksi bisu sekalipun, jalanan ya tetap jalanan, hanya benda mati biasa.

suwung May 14, 2009 at 9:08:00 AM GMT+8  

anu bos... tergantung ama YANG DIATAS

omiyan May 14, 2009 at 10:16:00 AM GMT+8  

dari sini pula orang mencari sebuah penghidupan apakan terlepas menyengsarakan roang lain atau tidak...tapi disini pulalah kita bisa berbaur dengans atu sama lainnya

afwan auliyar May 14, 2009 at 11:34:00 AM GMT+8  

duh begitulah manusia yang ketika keinginannya tersalurkan.....
mudah tersulut, terhasut dsb :)

Anonymous May 14, 2009 at 1:07:00 PM GMT+8  

jalanan kadang tertumpah emosi di sana
ah, bisa-bisa ....

sawali tuhusetya May 14, 2009 at 2:33:00 PM GMT+8  

jalanan dan massa sudah menjadi sebuah fenomena. “spiral kebisuan” telah membikin pribadi2 penakut menjadi punya nyali. dan ketika pribadi2 penakur itu masuk dalam sebuah kerumunan di jalan, tiba2 saja mereka menjadi pemberani. emosi jadi gampang tersulut hanya persoalan2 sepele yang ndak jelas ujung-pangkalnya. itu kejadian tahun 80-an, ya mas?

Anonymous May 15, 2009 at 1:22:00 AM GMT+8  

yaaaa.....

ketika ada sumbat komunikasi antara rakyat dengan negara maka terciptalah bom yang perlu sedikit saja pemicu untuk bisa meledak.

peristiwa 98 sebuah kenangan ketika saya dengan kawan2 terkepung dalam kampus. untuk kemudian keesokan harinya kita sama2 menduduki DPR/MPR.

sebuah cerita yang tersisa untuk anak cucu agar tak terulang lagi di masa depan.

Anonymous May 15, 2009 at 8:35:00 AM GMT+8  

Jalan memang suatu media yang merupakan hasil "kreasi" umat manusia.
Entahlah, apa ia merupakan hasil pemikiran ataukah memang software bawaan dari atas langit. Kegamangan keyakinan itu timbul karena bayi yang baru lahirpun berusaha menciptakan jalannya sendiri untuk meraih tujuan hidupnya, menggapai tetek ibunya.

Jalan, entah karena kutukan atau terlalu baik hati, selalu menyediakan ruang bagi individu untuk berganti baju.
Betapa sesosok individu yang lembut, murah senyum, yang santun tiba tiba saja berubah perangainya saat sudah duduk dibalik kemudi bis Akas, Restu atau mungkin Sumber Kencono.
Matanya jadi gelap tak mampu bedakan marka. Hatinya serakah, seakan jalan yang dipijak adalah peninggalan neneknya.

Bukan salah bunda mengandung, bukan pula salah bapak membuka sarung, bila jalan memang telah ditakdirkan bukan sebagai media untuk merenung, untuk media menuju jalan yang sesungguhnya, jalan kebenaran.

Dan aku hanya bisa menitipkan harapan kepada diri sendiri, kepada mas Haris, agar senantiasa bisa melangkah di jalan yang lurus.
Agar tak hanya bisa menjadi gula dalam larutan tapi bisa menjadi nila dalam susu sebelanga.

gajah_pesing May 15, 2009 at 10:08:00 AM GMT+8  

alhamdulilah, kota Surabaya aman-aman selalu walau terkadang ada sedikit beberapa titik yang mengadakan chaos, yang penting adanya sikap saling menghargai memang sangat indah bro...

ciwir May 15, 2009 at 5:18:00 PM GMT+8  

suwung pancen bener kali ini... hahaha
tapi semuanya harus ada usaha dulu wung...

Ade May 16, 2009 at 1:49:00 AM GMT+8  

tahun 98 saya sedang kerja lapangan di jakarta.. waah.. ternyata kita beda generasinya banyak ya har :-D

kw May 16, 2009 at 7:05:00 PM GMT+8  

wow.. aku sempat loh melihat langsung orang-orang yang pada ngambilin barang2 di supermarket. mereka kayak kesetanan

JAUHDIMATA May 17, 2009 at 3:36:00 AM GMT+8  

allohu akbar
mei 1998
semoga ....
sejarah buruk tidak terlupakan
sejarah buruk tidak terulang
sejarah buruk - sejarah buruk
amiiiin...

senoaji May 17, 2009 at 6:18:00 PM GMT+8  

sejarah boleh terulang tapi yang baik-baik aja ya..

achmad sholeh May 18, 2009 at 5:10:00 PM GMT+8  

Spiral kebisuan memang beda dengan spiral lainnya

Anonymous May 20, 2009 at 9:35:00 AM GMT+8  

membosankan........

gedeblog May 20, 2009 at 5:29:00 PM GMT+8  

semoga kejadian itu tidak terulang lagii...amien

ammadis May 20, 2009 at 7:17:00 PM GMT+8  

Bad memory....mudahan tak hingga menjadi trauma....

ardisragen May 26, 2009 at 6:34:00 AM GMT+8  

jadi teringat masa lugu ketika sekolah dasar..

melihat terbakar dan terjarahnya bangunan dan toko2 di ibukota negara.. api.. amarah.. asap menjadi satu...

memang jalan.. jalanan... didalamnya penuh makna.. kita dapat melihat senyum manis sodara kita disana.. tapi kita dapat pula melihat tangisah kegelisahan kawan2 tak berpunya...

masmpep May 26, 2009 at 10:28:00 PM GMT+8  

saya berbahagia tak pernah mengalami langsung kerusuhan di depan mata. semoga tak perlu ada lagi, meskipun dari kerusuhan terlahir sejumlah teori, puluhan skripsi, dan ratusan sarjana, he-he-he.

Hera April 12, 2010 at 3:13:00 PM GMT+8  

semoga kejadian itu tidak terulang lagi..

yang terulang itu kejadian yang baik-baik aja

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP