Kita Berbelanja Maka Kita Ada

>> Tuesday, February 17, 2009


Judul buku : Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris
Penulis : Haryanto Seodjatmiko
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : 118 halaman

Salah satu aktivitas paling penting yang membedakan manusia modern dengan pendahulunya yang primitif adalah belanja. Diakui atau tidak, pada masa ini, berbelanja tidak lagi merupakan aktivitas ekonomi demi pemenuhan kebutuhan saja. Berbelanja telah menjadi laku kultural yang memiliki kontribusi penting dalam pembentukan identitas kita sebagai makhluk sosial. Manusia kontemporer, suka atau tidak, adalah “manusia belanja”.

Jean Baudrillard pernah memaklumatkan hadirnya sebuah “masyarakat baru” yang ditandai dengan makin pentingnya makna konsumsi dalam kehidupan sosial. Alih-alih hanya merupakan tindak memenuhi kebutuhan, konsumsi adalah proses yang menandai diferensiasi dalam masyarakat. Baudrillard menyebut, di dalam sebuah “masyarakat konsumer”, konsumsi berperan sebagai sebuah “sistem diferensiasi” yang membeda-bedakan masyarakat ke dalam kategori-kategori tertentu.

Buku karya Haryanto Soedjatmiko ini merupakan studi tentang laku konsumsi dalam kebudayaan kontemporer. Studi Haryanto diawali dengan telaah tentang perkembangan proses konsumsi yang dikaitkan dengan tindak pemenuhan kebutuhan manusia sampai kemunculan konsumerisme sebagai cara hidup (a way of life).

Sejak awal abad 18 di Inggris, mulai tampak sebuah masyarakat yang lebih berorientasi pada kepemilikan benda-benda yang up to date daripada materi-materi yang tahan lama. Gejala ini dilihat Haryanto sebagai asal mula sebuah fenomena yang sering disebut sebagai “konsumerisme”. Peningkatan kapasitas konsumsi masyarakat Inggris pada 1880-1980-an juga menjadi titik penting yang menandai penyemaian “budaya belanja” dalam masyarakat.

Setelah tahun-tahun itu, berbarengan dengan peningkatan teknologi dan pertumbuhan penduduk yang cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah urban, daya belanja masyarakat terus bertambah. Secara khusus, setelah Perang Dunia II, sebuah pasar massa barang-barang konsumsi telah terbentuk. Sejak tahun 1980-an, seperti disampaikan Martyn J. Lee di dalam Consumer Culture Reborn (1993), telah terjadi perubahan global yang berakibat terbentuknya “budaya konsumsi”.

Sejumlah perubahan global yang disebut Martyn J. Lee menyebabkan maraknya perbincangan mengenai wacana konsumsi antara lain: (1) pertumbuhan teknologi komputer; (2) internasionalisasi perdagangan yang membuka pasar bebas antar negara; (3) kemajuan teknologi produksi imaji atau citra yang berpegang pada estetika bentuk; (4) perkembangan dalam sistem produksi yang membawa tambahan kemakmuran bagi kelas pekerja; dan (5) munculnya wacana posmodern dalam bidang seni dan akademik.

Pada perkembangan yang lebih lanjut, budaya konsumsi masuk ke dalam berbagai ranah sosial dalam masyarakat. Dalam buku ini, Haryanto menunjuk sejumlah ranah yang telah dimasuki oleh budaya konsumsi, seperti teknologi informasi, musik, dan olahraga. Perkembangan lebih jauh juga menunjukkan bahwa laku konsumsi atau belanja menjadi makin penting dalam relasi sosial manusia.

Mike Featherstone menyatakan, pada akhirnya konsumsi secara alamiah akan membentuk identitas bagi tiap individu dalam masyarakat. Pada masa sekarang, perbedaan dalam aktivitas berbelanja memang bisa mengakibatkan diferensiasi identitas antarindividu. Mereka yang membeli produk mewah tentu akan memiliki identitas berbeda dengan orang yang hanya mampu mengonsumsi produk kelas bawah. Seperti judul buku ini, berbelanja memang menjadi sebuah aktivitas yang bisa menegaskan eksistensi kita sebagai manusia. Kita berbelanja maka kita ada!

Paradoks
Salah satu yang paling menarik dari buku ini adalah telaah mengenai paradoks yang terkandung dalam konsep konsumerisme. Pada mulanya, konsumerisme berkaitan dengan sebuah upaya untuk ikut menyertakan pandangan para konsumen terhadap proses produksi barang. Dalam The Concise Oxford Dictionary, term konsumerisme diartikan sebagai “perlindungan kepada minat para konsumen terhadap produsen”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti nomor satu konsumerisme adalah “gerakan/kebijakan melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan”.

Dilihat dari sisi ini, konsumerisme menawarkan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk yang mereka sukai sekaligus memberikan pendapat pada produsen tentang barang yang mereka inginkan. Namun dalam praktiknya, wacana kebebasan yang disuarakan oleh konsumerisme tahap awal ini hanyalah sebuah retorika. Secara substansial, kebebasan konsumen tak pernah benar-benar ada. Haryanto mengatakan, para konsumen lebih sering digiring kepada sebuah tujuan yang telah ditetapkan oleh para produsen.

Alih-alih memenuhi keinginan para konsumen tentang produk yang mereka inginkan, para produsen lebih sering melakukan “pendiktean” terhadap konsumen tentang produk apa yang seharusnya mereka beli. Salah satu aspek penting dari upaya “pendiktean” ini adalah dengan melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hal desain produk. Haryanto menyebut, perkembangan teknologi desain produk menjadi salah satu faktor kunci perkembangan konsumerisme.

Sebagai sebuah pengantar, buku ini bisa membawa kita menjelajahi sejumlah tema berkait dengan konsumsi dan konsumerisme. Meski masih belum bisa disebut komprehensif, paling tidak karya ini membuat kita sadar bahwa aktivitas berbelanja pada masa ini ternyata memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan kita. Berbelanja bisa menjadi sebuah aktivitas penegasan identitas dan eksistensi. Kita berbelanja maka kita ada!
Haris Firdaus

15 comments:

Senoaji February 18, 2009 at 12:06:00 AM GMT+8  

mungkin fenomena itu sudah mulai bergeser bahkan merebut perhatian holic-nya. dan yang terjadi adalah hidup mati untuk belanja. apakah mungkin ini karena usaha pencapaian pemenuhan identitas diri ataukah hanya libas imbas budaya baru [culuture shock]

Haris Firdaus February 18, 2009 at 12:20:00 AM GMT+8  

@ senoaji
salah satu yang membuat belanja jadi amat penting kan pengaitan belanja dengan identitas diri. belanja menjadi aktivitas di mana eksistensi ditegaskan. tapi kondisi ini memang karena "budaya baru".

Anonymous February 18, 2009 at 4:01:00 AM GMT+8  

wah, buku yang bagus dan mencerahkan, mas haris. judulnya mengingatkan pada kita, betapa idiom yang pernah diungkapkan leh rene descartes itu sudah mengalami perluasan makna. gaya hidup konsumtif dan hedonis agaknya sudah menjadi kelatahan dalam bersikap, sehingga cenderung memicu seseorang utk mengambil "jalan kelinci" sekadar utk mendapatkan harta dan kekayaan.

Unknown February 18, 2009 at 10:19:00 AM GMT+8  

benar, karena juga akibat ketakutan akan ketinggalan tren sehingga menjadi konsumtip.

Sidik Nugroho February 18, 2009 at 2:32:00 PM GMT+8  

pertama-tama, trims review-nya.

"pendiktean" rasanya terlalu berat dijadikan istilah bagi para produsen, mengingat "upaya 'pendiktean' ... dengan melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hal desain produk."

yang saya tanyakan: apakah pembaharuan itu juga ditentukan dari selera konsumen berdasar riset, atau anlisa s.w.o.t, misalnya? bila ya, kembali lagi pada slogan lawas: "pembeli adalah raja".

deFranco February 18, 2009 at 3:26:00 PM GMT+8  

Budaya konsumerisme pada hakekatnya menembak pada sisi manusia yang tidak pernah puas dan berkeinginan untuk selalu "tampil". Dan Produsen tau betul akan hal tersebut dengan menggelontori produk2 baru, dan selalu menciptakan trend2 anyar...

Ning kok nggumune akeh2 wong wedok ya Ris sing ngono kuwi...

www.katobengke.com February 18, 2009 at 4:18:00 PM GMT+8  

shopping.................
wah gmana yah.........

Anonymous February 18, 2009 at 5:45:00 PM GMT+8  

shopping kalau lagi pengen, kalau lagi gak mud alias bokek ya mana mungkin..
(doh)
hhahaha

Anonymous February 18, 2009 at 11:00:00 PM GMT+8  

@ sidik nugroho
benar, mas bahwa selalu ada riset dlm memproduksi sebuah produk. tapi ingat bahwa riset itu lebih banyak digunakan untuk membuat konsumen bisa membeli lebih banyak ketimbang menyajikan produk yang benar2 berorientasi pada konsumen. dlm dunia desain produk, ada ajaran jangan pernah pernah memproduksi barang kategori "travo", yakni barang yang tahannya amat lama. barang "travo" dihindari karena sekali membeli barang ini, konsumen tak perlu membeli lagi. misal kecil ini menunjukkan bahwa produksi produk selalu harus diimbangi propaganda untuk mengonsumsi, dan dalam taraf tertentu konsumsi jadi sebuah laku yang menentukan identitas kita. jadi, pembeli sama sekali bukan raja, mas. produsen itulah yang raja sejati:)

@ tukang gunem
benar njol bahwa kecenderungan perempuan utk menjadi pecandu belanja (shopaholic) itu lebih besar daripada laki2. survey di Inggris menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan memikirkan belanja setiap satu menit sekali! kalau laki2, konon yang paling banyak dipikirkan itu seks, njol. ini kemungkinan juga valid ya?ha3.

Sidik Nugroho February 19, 2009 at 4:23:00 PM GMT+8  

asyik. baru tahu saya tentang adanya barang travo. jadi tambah wawasan. matur nuwun, mas.

Unknown February 19, 2009 at 7:17:00 PM GMT+8  

meminjam kata-katanya sindhunata, itu adalah kebiasaan orang-orang kita, mudah lupa pada hal-hal yang sebetulnya bersifat urgent. contohnya, meskipun saat ini sedang krisis, masih saja mall-mall dipenuhi pengunjung. yeah, ini cuma nyuplik pendapat berita aja sih.

Anonymous February 19, 2009 at 10:43:00 PM GMT+8  

Wah, buku yang menarik. Nanti tak cari, kalo mampu beli *maklum pengangguran*
Salam kenal, main yuk ke blog aku.
Salam.

Anonymous February 24, 2009 at 4:35:00 AM GMT+8  

aku ora patek dong karo postingan ini.
sing penting komen.... :D

Anonymous February 24, 2009 at 2:19:00 PM GMT+8  

saya kira belanja tak bisa dipisahkan dari iklan. saya sendiri berusaha untuk sadar, bahwa iklan selalu meracuni otak. tapi beberapa kali saya terpengaruh iklan juga. apalagi yang ditulis dalam bentuk advetorial. misalnya 'iklan-iklan' tempat yang makan enak, klasik, penuh tantangan mencari warungnya, dan eksotik. beberapa kali saya melanggar 'komitmen' untuk prihatin karena tergoda 'advetorial' model ini.

memang makan enak, tak perlu diiklankan membuat kita mencobanya lagi. lagi. dan lagi.

salam,
penikmat kuliner yang rela konsumtif karenanya...

Anonymous March 11, 2009 at 9:33:00 PM GMT+8  

wah, gak berani komen ....hehehe

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP