Wisrawa

>> Wednesday, January 14, 2009


Hasrat merengkuh kesucian kadangkala bisa berbalik menjadi sebuah kebrutalan.

Salah satu adegan paling menyayat dari kisah klasik Ramayana adalah tatkala Begawan Wisrawa bertemu Dewi Sukesi di sebuah taman yang sepi, jauh dari keindahan dan hiruk pikuk manusia. Di taman yang cuma berhiaskan kembang kenanga itu, keduanya bertemu dengan hasrat untuk membuka tabir semesta. Saat tirai penutup rahasia itu tersibak, jagat akan goncang dan tepat pada saat itu manusia tak membutuhkan dewa-dewa lagi karena mereka telah jadi suci.

Sukesi adalah orang yang pertama kali berhasrat menyibak rahasia jagat. Pada suatu malam, putri jelita ini bermimpi ada di sebuah dunia yang tak mengenal malam maupun siang. Di sebuah alun-alun yang gemerlapan, dengan pelangi berupa seekor naga bersisik emas yang senantiasa menetes laksana hujan, Sukesi menerima sebuah ilmu tentang rahasia semesta yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Tapi perempuan yang kecantikannya tiada tara ini tak mampu mengerti makna Sastra Jendra. Ia cuma merasa menerima anugerah tanpa mampu memahaminya. Hatinya gundah, dan akhirnya diambillah keputusan yang kelak akan disesalinya seumur hidup. Kepada ayahnya, Prabu Sumali, Sukesi menyatakan hanya akan menikah dengan orang yang bisa menjabarkan makna Sastra Jendra.

Sumali kaget bukan kepalang: kehendak anaknya adalah keinginan yang melawan dunia, sebuah niatan yang akan berakibat perubahan maha dahsyat untuk alam seisinya. Kepada Sukesi, Sumali menyatakan “bahaya”-nya menjabarkan makna Sastra Jendra: “Setahuku Nak, binatang akan berubah jadi manusia, dan manusia akan mulia seperti dewa, bila ada makhluk yang dapat mengupas Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Keseimbangan jagad raya akan goncang, Nak. Urungkanlah niatmu.”

Namun Sukesi bergeming. Keinginannya tetap tak bisa diubah. Pada saat itulah Begawan Wisrawa datang ke Alengka menemui Prabu Sumali. Kepada sahabatnya itu, Wisrawa menyatakan hendak melamar Sukesi untuk anaknya, Prabu Danareja. Sumali bingung. Pada satu sisi, ia tak enak hati dengan kehendak sahabatnya. Pada sisi lainnya, syarat yang diajukan Sukesi benar-benar di luar akal sehat. Tapi, tak pelak Sumali menyatakan juga permintaan Sukesi soal Sastra Jendra pada Wisrawa.

Pada mulanya, Wisrawa kaget dan terguncang—bukan karena ia tak memahami Sastra Jendra, tapi justru karena ia tahu risiko penjabaran ilmu itu bagi dunia. Dalam kebimbangannya itulah, ia teringat Danareja yang sudah tergila-gila pada Sukesi. Kasih sayangnya sebagai ayah muncul, dan disanggupilah permintaan Sukesi.

Lalu, adegan paling menyayat itu pun terjadi. Dalam novel yang merupakan tafsir atas Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin, Sindhunta melukiskan pertemuan itu dengan detail suasana yang menggetarkan dan penuh nuansa iba. Tatkala keduanya bertemu dengan penuh pengharapan untuk mencapai kesucian di taman sunyi berhiaskan kenanga, Wisrawa mulai menjabarkan “rahasia dunia” itu. Pada mulanya, semua kelihatan baik-baik saja: Wisrawa dengan cakap mewedar satu per satu rahasia itu seperti mengupas helai demi helai kulit buah-buahan. Sukesi mendengarkan dengan hikmat dan mulailah kebahagiaan merayapi dirinya. Sedikit demi sedikit rahasia kehidupan terhampar di hadapan Sukesi dan tubuhnya seolah melayang dalam alam kebahagiaan yang menyingkap begitu banyak rahasia.

Tatkala Wisrawa telah sampai pada akhir wejangannya—bahwa Sastra Jendra adalah “cinta dalam budi” dan jika Sukesi telah memahami cinta dalam budinya sendiri maka ia akan menjadi “ilahi”—pada saat itu pula dewa-dewa akan musnah karena manusia memang tak lagi membutuhkan mereka. Berbarengan dengan itu, alam berontak. Air laut mendidih, bumi gempa tujuh kali, dan panas tiba-tiba meruyak ke seluruh pelosok. Jagad raya berada dalam pintu perubahan yang maha dahsyat saat itu. Bumi akan segera berubah, keseimbangan yang selama ini menaunginya akan segera musnah.

Lalu Batara Guru, dewa para dewa, turun tangan untuk menggagalkan tercapainya pemahaman Sastra Jendra oleh Sukesi sebab belum saatnya jagad diguncang dengan demikian dahsyat. Ia turun ke dunia, lalu masuk ke dalam tubuh Sukesi dan mencoba menggoda nafsu Wisrawa. Tapi Wisrawa tak tergoda. Batara Guru kemudian ganti masuk ke tubuh Wisrawa dan balik menggoda Sukesi. Sukesi juga tak bisa ditenggelamkan nafsunya. Maka, tak ada jalan lain: keduanya harus dirasuki secara bersama-sama sehingga Batara Guru terpaksa memanggil Dewi Uma, istrinya. Uma diperintahkan merasuki Sukesi, sedangkan Batara Guru masuk ke dalam tubuh Wisrawa.

Pada saat kedua tubuh itu dirasuki, keteguhan pun runtuh. Nafsu keduanya tak tertahankan. Di taman yang sunyi dan dihiasi kenanga itu, Wisrawa dan Sukesi bercinta dengan amat liar. Nafsu mereka menggelora dan kesucian pun tanggal. Keilahian yang hendak dicapai tiba-tiba runtuh dengan seketika. Rahasia jagad kembali tersimpan, alam kembali menemu kenormalannya. Bumi diam, air laut tak lagi bergolak, hawa panas pun surut. Tepat saat dua manusia itu memadu cinta, alam telah menemu keseimbangannya kembali.

Sukesi dan Wisrawa tak pernah menjadi ilahi: mereka tetap manusia yang dipenuhi nafsu. Dan alam menyukai yang demikian. Keseimbangan dunia tercapai tatkala manusia tetap jadi makhluk yang tak sempurna, sehingga dewa-dewa tetap dibutuhkan.
***

Kisah Wisrawa dan Sukesi yang berhasrat mencapai kesucian namun terjerumus dalam lubang nafsu mereka sendiri seperti mengingatkan kita: kesucian dan keilahian akan selamanya menjadi harapan yang hendak terus kita jelang, namun tak pernah benar-benar kita capai. Kita tahu, setelah percintaan liar mereka, Sukesi dan Wisrawa melahirkan tiga putra: Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Dari anak-anak inilah riwayat dunia yang muram dalam Ramayana dimulai.

Rahwana adalah perlambang nafsu dan angkara murka. Sarpakenaka, raksasa perempuan yang gemar laki-laki itu, adalah simbol nafsu birahi yang tak bisa dihentikan. Sementara itu, Kumbakarna adalah tanda akan penyesalan: ia raksasa yang buruk rupa sekaligus seorang yang bijak bestari.

Kesombongan dan nafsu berkuasa Rahwana itulah yang akhirnya mengguncangkan dunia, membuat petaka di mana-mana. Dan di sinilah tragik itu terjadi: Rahwana, raksasa penuh angkara murka itu, justru lahir dari sebuah kehendak paling suci dari orang tuanya untuk menjadi ilahi. Dengan kata lain, kisah itu memberi tahu kita: angkara murka justru bisa dilahirkan dari niatan manusia untuk menjadi suci, tak berdosa.

Dalam hal inilah Ramayana seolah menjadi cermin bagi wajah kita sendiri. Jika hari ini kita melihat begitu banyak manusia hendak mencapai Tuhan dengan jalan kekerasan, kita pun tahu: hasrat menjadi suci selalu punya risiko berubah jadi kebrutalan. Agama dan Tuhan, bisa menjadi sebuah kedok yang dengannya manusia merubuhkan sesamanya. Dan darah pun tumpah, untuk kehendak suci yang dipenuhi kesombongan.

Ya, kehendak menjadi suci adalah sebentuk kesombongan. Ketika Wisrawa menyebut hakikat Sastra Jendra adalah budi manusia, itu juga semacam kesombongan: sebab, sang begawan hendak mengatakan bahwa budi manusia sanggup membuatnya mencapai kesucian yang ilahi. Tapi Wisrawa salah. Rahasia Sastra Jendra justru terletak pada kerendahhatian manusia. Rasa rendah hati inilah yang menuntun manusia menjadi sosok yang mulia, meski barangkali tidak pernah suci.

Itulah kenapa, dalam Ramayana, bukan Ramawijaya—sosok manusia yang luhur dan titisan Batara Wisnu—yang berhasil mengalahkan Rahwana. Justru Anoman—kera putih, makhluk yang kadangkala dianggap hina oleh manusia itu—yang mampu membuat Rahwana tak berkutik. Bukan manusia—yang kadangkala dihinggapi kesombongan—yang berhasil menjadi penyelamat dunia, tapi seekor kera—sosok makhluk yang penuh kerendahhatian. Ini juga perlambang: dunia tak sentausa hanya dengan akal yang cerdas atau otot yang kekar, ia membutuhkan sebentuk kerendahhatian juga.

Sukoharjo, 14 Januari 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

24 comments:

Anonymous January 14, 2009 at 12:02:00 PM GMT+8  

suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti...

Unknown January 14, 2009 at 12:19:00 PM GMT+8  

ya..ya..sebuah pencerahan, disaat dimana-mana penuh pembenaran dan caci maki..
Terimakasih.

Anonymous January 14, 2009 at 1:17:00 PM GMT+8  

cuilleh yang lagi serius baca novel sindhunata terus begini jadinya wuakkaakk

Anonymous January 14, 2009 at 1:30:00 PM GMT+8  

Wah, nyaman rasanya membaca tulisan anda ini.. Terima kasih banyak..

Anonymous January 15, 2009 at 7:30:00 AM GMT+8  

Yah, lagi2 karena nafsu manusia menjadi lupa dan alpa. Manajemen nafsu di manakah aku mempelajarinya?

wonka January 15, 2009 at 11:48:00 PM GMT+8  

konon, terinspirasi kisah ini aura sukaesih suka berbaju seksi..:) hehehe

wonka January 15, 2009 at 11:49:00 PM GMT+8  

konon, terisnpsirasi cerita ini aura sukaesih suka berbaju seksi..

Anonymous January 16, 2009 at 7:03:00 PM GMT+8  

wah, seneng aku baca tulisane. mateng, asyik...

mesti wis katam baca anak bajang menggiring angin-e sindhunata, wis apal karo lakon-lakon kang kababar dening ki nartosabdho.

sippp

Anonymous January 16, 2009 at 11:49:00 PM GMT+8  

wah ris, lagi resah dengan agama dan kebenaran???
sepertinya memang ada bahasa "bumi dan langit". seperti Ayu Utami:
"hanya kebaikan yang boleh mewujud hari ini"

Anonymous January 17, 2009 at 12:00:00 AM GMT+8  

hm....sampe bingung aku meh komen apa..

Senoaji January 17, 2009 at 3:12:00 AM GMT+8  

sama seperti ala... muantapppp....polpolan mentul mentul..

tabiek
senoaji

Anonymous January 18, 2009 at 11:18:00 AM GMT+8  

tulisan yang bagus mas...

bener sekali kerendahhatian adalah sesuatu yang penting, dan yang benar pasti akan menang

Unknown January 19, 2009 at 12:15:00 AM GMT+8  

wah penjabaran yang menarik. cerita leluhur pasti mempunyai pesan. bukan hanya kecerdasan yang digunakan untuk membaca. tapi juga kearifan dan kerendahan hati untuk menerima sebuah petuah, menerima hidup yang selalu mengolah. matang atau busukkah? kita takkan pernah tahu. sejarah yang mencatatnya. walau diam-diam.

Brian January 19, 2009 at 10:07:00 AM GMT+8  

ternyata kisah ramayana bermakna sedlam itu ya,makasih atas artikelnya

Anonymous January 20, 2009 at 2:17:00 AM GMT+8  

Penuh dengan simbolisme ya mas? Emang nafsu tuh fitrahe menungso, tinggal bagaimana mnjaga kseimbangane. Bahkan obsesi berlebih tentang kesucian, bukankah itu juga nafsu?

Anonymous January 21, 2009 at 8:23:00 AM GMT+8  

just visit, tapi emang bagus ceritanya.
Dewa2 egois juga ya... ga mau lenyap.

Anonymous January 22, 2009 at 9:18:00 AM GMT+8  

dari 'teori' mengenai ramayana yang pernah saya baca: ramayana lebih banyak mendeskripsikan watak secara hitam putih ketimbang mahabarata. betapa pandawa beberapa kali berlaku khilaf. bahwa adipati durna yang dianggap licik di jawa ternyata tokoh yang dilematis di india.

selain makna filsafati, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari 'alur' lakon ramayana ini.
pertama, ketika wisrawa membuka tabir kehidupan kepada sukesi dunia berguncang. ini berarti setiap ilmu tersebut dibuka, dunia berguncang. mengapa dewa-dwa hanya ingin mengentikan pembelajaran pada sukesi. tidakkah ketika wisrawa belajar ilmu ini dunia berguncang pula? atau wisrawa memperoleh ilmu ini sebagai wahyu?

kedua, banyak buku-buku mengenai ramayana, mahabarata, wali songo, syekh siti jenar (yang belakangan populer), hanya berhenti pada 'istilah' ketika mendeskripsikan soal 'ilmu kehidupan'. penulis-penulis kita, filosof-filosof kita, dalang-dalang kita tampaknya satu garis dengan dewa-dewa: pelit ilmu. saya kesulitan mencerna 'ilmu kehidupan' seperti apa 'sastra jendar' itu, 'jimat kalimosodo' itu, 'otok howok' nya semar, 'air kehidupan di tengkuk' dalam cerita-cerita jenar dan walisongo.... (bung haris pun masih menjelaskan dalam 'istilah', belum pada 'definisi', apalagi 'definisi konseptual' dan 'definisi operasional'.

salam,
masmpep.wordpress.com

Anonymous January 22, 2009 at 11:27:00 AM GMT+8  

to: masmpep.wordpress.com

pertama,wisrawa itu belum pernah mewedar sastra jendra sblmnya selain di hadapan sukesi krn dy tahu risikonya. barangkali, pemahaman dy pun hanya didapat dari semacam wangsit atau wahyu. slt membayangkan wisrawa menerima sastra jendra melalui pengajaran yang definitif kan?

kedua, dalang2 dan buku2 kita bukan pelit. sastra jendra, "rahasia kehidupan", harus dipahami dg nalar yg berbeda dg nalar modernis kita yg penuh tuntutan rasio. itu yg sy pahami. bagi sy, agak berlebihan menuntut definisi konseptual, apalagi definisi operasional, soal sastra jendra. itu pemahaman sy. tapi, coba kau tanya mas antok atau kabut. mereka jg pernah diskusi itu dulu bgt. ketika antok sy tanya soal sastra jendra, dy hanya jawab singkat: sangkan paraning dumadi. nah bukankah jawaban itu juga sebuah simol, mas? bukan definisi?

Anonymous January 23, 2009 at 10:23:00 AM GMT+8  

"kedua, dalang2 dan buku2 kita bukan pelit. sastra jendra, "rahasia kehidupan", harus dipahami dg nalar yg berbeda dg nalar modernis kita yg penuh tuntutan rasio."

saya tertarik dengan anak paragraf ini. soal nalar berpikir. saya hanya kesulitan memahami 'makna' yang dikatakan 'dalam' dari simbol dan definisi-definisi filsafati ini. ketika kemudian saya ingin mengetahui lebih dalam, saya dibenturkan pada alam berpikir yang hipotetis: bahwa peradaban hari ini berpikir dengan menggunakan 'nalar modernis' dengan kata kunci 'rasio(nalitas)'. sedang peradaban ketika kakawin ramayan digubah menggunakan 'nalar berbeda'--dalam analisis teks saya 'tradisional' dan 'tidak menggunakan rasio'.

saya tak puas berhenti pada titik ini, mas haris. saya tak puas ketika membaca buku-buku semacam itu, lebih banyak berhenti pada 'sejarah' tokoh-tokohnya (cerita syekh siti jenar lebih banyak berisi sejarah ketimbang muatan filsafat 'ajarannya'). kalaupun dikupas, lebih banyak berisi 'resensi', dan 'kesimpulan'. sehingga kita kemudian menyebut 'pakem'.

padahal, gairah berpikir kakawin-kakawin kita itu saya kira terbuka terhadap tafsir-tafsir baru. bagaimana kita menafsir, bila kita tak berkesempatan untuk memahami abstraksi 'simbol' dan 'istilah'.

saya berharap mas haris--dengan tradisi membaca dan menguliti kepustakaan yang tak diragukan--tak berada pada domain penulis-penulis 'istilah'.

namun ini hanya harapan, he-he-he.

salam,
masmpep.wordpress.com

Anonymous January 23, 2009 at 8:49:00 PM GMT+8  

terima kasih atas diskusinya, mas feb. mas, melakukan tafsir atas "simbol" tentu saja tak perlu harus sampai pada apa yang kau sebut sebagai "definisi operasional" bukan? kekayaan simbol agaknya tak bisa diringkas ke dalam "definisi operasional". melakukan tafsir, itu beda dengan melakukan pendefinisian operasional, kan? barangkali benar bahwa kebanykan buku yg berkisah soal epos itu tak banyak berkisah soal definisi dari simbol2 itu. bagi sy pribadi, lebih menarik melakukan tafsir dari kisah2 sejarah para tokoh itu ketimbang harus mencari2 pokok2 ajaran filsafat mereka. dlm laku hidup merekalah tersimpan kekayaan yang bs kita tafsirkan dlm konteks kekinian. sy memang blm bs mewedar sastra jendra, mas. pengetahuan sy soal itu amatlah terbatas--sy bahkan agak ragu kita yg tak melakukan olah spritual bs sampai ke arah sana. tapi bukan berarti tiap bagian dari epos tak bs kita tafsir kan?

sekali lagi terima kasih...

Anonymous January 27, 2009 at 5:28:00 PM GMT+8  

wuih, diskusi haris dan masmpep benar-benar mencerahkan. jadi gak pede ikutan komentar...

Anonymous January 29, 2009 at 9:09:00 AM GMT+8  

Luar biasa kupasane mas...
Dunia perwayangan memang merupakan simbol kehidupan manusia sebagaimana makna wayang, bayangan, ayang-ayang.
Di balik simbol dan pralambang itulah para pujangga ingin menyampaikan pesan-pesan mengenai keluhuran budi dan nilai-nilai moralitas, dan satu hal yang pasti adalah dialektika antara kebenaran dan kebatilan yang tiada akan pernah sirna selama dunia ini masih berputar. dan di setiap ujung pergulatan hidup, kebenaran akan senantiasa unggul di atas kebatilan.
Matur nuwun dongenge mas...

Anonymous March 10, 2009 at 3:43:00 PM GMT+8  

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti

wayang banget, mengingatkanku pada dosenku, kuliah PSE,
sastra jendra tu maksudnya apa? ilmu?
pangruwating diyu? pengekang hawa nafsu?
nafsu=diyu buto?
hayuningrat?............
suradira ?.............
lebur dening pangastuti? terhapus dengan kerendahan hati, pemaaf?saling memaafkan?

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP