Manusia Hamberger dan Pengetahuan yang Diperdagangkan

>> Tuesday, December 16, 2008


Tiap kali telepon di kantor pusat perusahaan waralaba McDonald’s berdering, akan selalu siaga seorang pekerja yang dengan yakin menjawab panggilan di ujung sana dengan sapaan yang ganjil: “Ya, ini McDonald’s Corporation, ... Ya, kami manusia hamburger.” Ucapan pembuka yang unik ini bukan sekadar basa-basi formalitas perusahaan dengan pelanggannya, namun sebuah salam yang dengan telak menunjukkan bagaimana McDonald’s menjalankan bisnisnya.

Dimulai dengan sebuah bisnis makanan kecil-kecilan yang dirintis Ray A Kroc pada 1955, McDonald’s kini merupakan waralaba raksasa dengan omzet milyaran dolar. Pada 1994, jumlah restoran McDonald’s di seluruh dunia hampir mencapai 15.000 unit dan tersebar di 70 negara. Jumlah pelanggannya pada era tersebut sekitar 20 juta manusia—lebih banyak dari penjumlahan seluruh penduduk Yunani, Irlandia, dan Swiss pada periode yang sama. Dua tahun kemudian, jumlah restoran McDonald’s bertambah menjadi 18.000 yang tersebar di 89 negara.

Pada 23 April 1991, tatkala McDonald’s dibuka pertama kali di Beijing, mereka yang antre untuk membeli berjumlah sekira 40.000 manusia—padahal kita tahu bahwa China adalah negara komunis. Uniknya, ketika McDonal’s dibuka di Moskow—kota yang juga masih berbau komunis—antrean panjang juga terjadi. Jumlah pengantre di Moskow hanya terkalahkan oleh kuantitas pengantre di Beijing.

Dengan riwayat yang demikian, McDonald’s adalah korporasi transnasional yang sukses mengembangkan diri secara mengaggumkan. Tapi, bagi para pengamat budaya massa dan globalisasi pada umumnya, McDonald’s bukan sekadar korporasi yang berhasil melipatgandakan keuntungannya. Perusahaan itu juga sebuah simbol paling bagus yang menandai persemaian globalisasi dan konsumerisme di seluruh dunia.

Bagi mereka yang berminat pada kajian soal konsumerisme, salah satu yang paling menarik dari pertumbuhan perusahaan itu adalah soal “kaderisasi”-nya. Dengan mengandalkan sebuah universitas yang dibangunnya sendiri—namanya Hamburger University—McDonald’s bukanlah perusahaan yang hanya menghasilkan hamburger lalu menjualnya keliling dunia. Lebih dari itu, McDonald’s adalah korporasi “penghasil manusia”.

Tatkala melihat secara langsung bagaimana proses pembelajaran di Hamburger University, Bre Redana menyimpulkan bahwa bukan makanan yang diproses oleh perusahaan itu, tetapi konsumen. Bersamaan dengan standarisasi hamburger buatan mereka, McDonald’s juga sedang mengusahakan standarisasi bagi para konsumen mereka. Para calon pekerja mereka dididik di universitas tersebut supaya mampu menyebarkan “ideologi” perusahaan ke sebanyak mungkin manusia di seluruh pelosok dunia. Kuatnya “indoktrinasi” korporasi terhadap para pekerjanya itu terutama terlihat tatkala para karyawan McDonald’s mengidentifikasi diri mereka sebagai “manusia hamburger”.

Frasa “manusia hamburger” menunjukkan bahwa mereka—para pekerja McDonald’s—adalah orang-orang yang telah direkonstruksi ulang, diindoktrinasi dengan ajaran tertentu, demi kepentingan korporasi. Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan: sukses besar McDonald’s ditangguk terutama karena perusahaan itu adalah sekaligus “pabrik rekonstruksi manusia”, sebuah institusi yang bukan hanya menjual barang material seperti makanan, tapi juga seperangkat nilai, gaya hidup, keyakinan, dan citraan tertentu.

Berdiri pada 24 Februari 1961—dengan jumlah lulusan pertama sebanyak 14 biji—Hamburger University adalah salah satu Corporate University (CU) tertua di dunia. Tiap tahun, jumlah lulusan universitas itu sekitar 5.000 manusia yang langsung ditempatkan di berbagai restoran di seluruh dunia. Hingga saat ini, telah lebih dari 80.000 orang yang lulus dari lembaga pendidikan itu.

Selain McDonald’s, ada ribuan korporasi besar yang memiliki Corporate University. General Eletric memiliki General Eletric University; Intel mempunyai Intel University; Apple mendirikan Apple University; serta masih banyak perusahaan transnasional yang memiliki CU. Di Indonesia, ada Bakrie Group dan sejumlah perusahaan besar lain yang telah memiliki institusi pendidikan sendiri. Jumlah Corporate University di seluruh dunia pada tahun 2004 sekitar 1.000.

Umumnya, CU merupakan lembaga yang secara khusus menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan dan mitra bisnis sebuah korporasi secara holistik: tidak hanya mencakup keahlian teknis tetapi mencakup pula nilai-nilai, kultur, filosofi, sejarah perusahaan, dan keahlian kepemimpinan. Di lembaga seperti inilah, para karyawan diindoktrinasi, dibentuk, dan dikembangkan, sampai mereka benar-benar dianggap mampu dan berkualitas untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan

Pendirian CU oleh berbagai korporasi raksasa sejatinya menunjukkan bahwa kapitalisme selalu ditopang oleh ilmu pengetahuan. Sejak masa kemunculannya yang mula, kapitalisme dengan baik telah menyadari bahwa teknologi adalah faktor penopang yang penting bagi pertumbuhan dirinya. Oleh karenanya, dengan mudah kita bisa melihat bagaimana keduanya saling bersekutu dan jalin-menjalin hingga saat ini. Kemunculan Revolusi Industri ditandai dengan para aparatus teknik yang terus melakukan penyempurnaan mesin dengan tujuan peningkatan efisiensi kerja.

Mulai pada saat itulah, ilmu telah menjadi kekuatan produksi sekaligus bagian dari perputaran modal. Pada masa tersebut, penelitian ilmiah mulai banyak digunakan demi efisiensi kerja produksi sehingga teknologi kemudian menjadi “permainan” yang lebih berhubungan dengan efisiensi ketimbang kebenaran, keadilan, atau keindahan. Karena penelitian teknologi selalu mensyaratkan tambahan dana, seperti disebut Jean-Francois Lyotard, maka mereka yang kaya adalah mereka yang paling memiliki kemungkinan untuk menjadi benar.

Jika tujuan ilmu pengetahuan bukan lagi kebenaran melainkan pelipatgandaan keuntungan modal, maka ilmuwan, teknisi, dan segala instrumen mereka dibeli bukan demi pencapaian kebenaran, melainkan untuk kekuasaan yang lebih besar. Inilah yang disebut sebagai “merkantilisasi pengetahuan”, pengetahuan yang diperdagangkan—pengetahuan digunakan bukan untuk pencapaian kebenaran atau emansipasi masyarakat tapi untuk kepentingan korporasi. Pada era konsumerisme yang berkembang pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi hanya difungsikan untuk mencapai efisiensi produksi komoditi—seperti pada masa awal kapitalisme—tapi juga untuk terus memperbesar hasrat mengonsumsi manusia. Dengan kondisi yang demikian, maka ilmu yang berperan penting dalam menopang kapitalisme dan konsumerisme bukan lagi hanya deretan ilmu sains-teknis, tapi juga—dan terutama—ilmu seperti marketing dan ilmu lain yang berkaitan dengannya seperti desain dan periklanan.

Pada kenyataannya, perkembangan ilmu desain produk dan periklanan ternyata terus-menerus dimanfaatkan demi menggoda hasrat konsumerisme masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh dua disiplin ilmu itu, pada akhirnya hanya “dijual” pada pemilik modal dengan tujuan menggelembungkan pendapatan. Kondisi macam ini diperparah dengan kajian-kajian desain dan periklanan di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia yang amat jarang disertai dengan pembelajaran kritik kebudayaan yang kritis. Mahasiswa-mahasiswa yang belajar desain dan periklanan di universitas jarang sekali mendapat suplemen kajian kebudayaan yang mencukupi sehingga wawasan mereka tidak terbuka. Pada umumnya, kuliah soal desain dan periklanan hanya berkutat pada “bagaimana membuat desain dan iklan yang efektif” dan tidak mencoba membahas misalnya, bagaimana kaitan kedua kajian itu dengan konsumerisme dan masyarakat.

Alih-alih menyajikan kajian yang kritis terhadap konsumerisme, justru banyak universitas atau lembaga pendidikan menengah yang tak kuasa menahan serbuan produk korporasi. Masuknya iklan-iklan produk ke ruang-ruang universitas menjadi bukti bahwa lembaga pendidikan justru ikut menyuburkan konsumerisme. Di sejumlah universitas di Indonesia, misalnya, bisa kita temui sejumlah ruangan atau tempat yang dinamai sesuai dengan korporasi yang “memberi sponsor” pembangunan tempat itu. Lebih dari itu, korporasi juga mulai masuk ke dalam kurikulum lembaga pendidikan dengan cara “memesan” mata kuliah tertentu pada pengelola pendidikan dengan harapan mata kuliah itu akan berguna buat korporasi yang bersangkutan.

Di negara kapitalis-maju seperti Amerika Serikat, sekolah atau kampus adalah sinonim yang pas dari konsumerisme sehingga remaja-remaja AS yang “anti-sekolah” bahkan menganggap diri mereka juga “anti-konsumerisme”. Alissa Quart menyebut dengan sedih bagaimana kondisi lembaga pendidikan di AS: “Semakin banyak SMU yang disponsori korporasi. Remaja tidak hanya bermain basket di gedung olahraga beratap sponsor tetapi juga mengikuti pelajaran Bahasa Inggris dengan mengucapkan slogan sponsor mereka, semua itu atas dukungan institusi yang disebut SMU Negeri. Seratus lima puluh sekolah distrik di 29 negara bagian menandatangani kontrak dengan Pepsi dan Coke. Buku pelajaran berulangkali menyebutkan kue coklat Oreo dan soal matematika berisi logo Nike.”

Sukoharjo, 13 Desember 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

11 comments:

deFranco December 16, 2008 at 4:37:00 PM GMT+8  

Weh saya blom pernah nyoba telpon e, jadi ya ndak tau ungkapan "kami manusia hamburger.." kuwi...

Dasarnya saya wong ndeso, jadi lidah saya sangat menolak perpaduan rasa antara daging dan roti yang disusupi sayuran dan saos itu.

Saya lebih nyaman makan ayam bakar/goreng dan tahu susur wae kok mas HAris...

Btw lulusane Hamburger University kuwi gelare opo ya? hehehe

Anonymous December 16, 2008 at 6:57:00 PM GMT+8  

Bahkan perguruan tinggi pun bisa di-setting2 ya? Gimana kalo yang men-setting itu ternyata tak hanya kaum kapitalis, tapi juga penguasa? Pasti ngeri jadinya

Btw, McD itu kan fast food, dibuatnya cepet dan makannya pun cepet, kalo perlu makannya sambil jalan, seperti yang kita lihat di film Amrik. Tapi di Indonesia kok McD jadi seperti tempat nongkrong, kalau perlu makannya berlama-lama. Mungkin buat orang Indonesia, ini tak cuma membeli pengisi perut, tapi juga membeli gengsi alias prestige. Di Indonesia, selain orang2 kaya, siapa sih yang mampu makan di McD?

Anonymous December 17, 2008 at 1:19:00 AM GMT+8  

kalo saya sih suka beli burger soalnya enak.
tapi bukan mcD, saya suka MISTER BURGER.

*maap haris, aku malah curhat :D*

Unknown December 17, 2008 at 1:20:00 AM GMT+8  

Wah, mas Haris lagi disponsorin McD nih...
sampai sekarang cara belinya aja saya masih gagap...bingung...apalagi lidah saya ya..he..he..

Anonymous December 17, 2008 at 11:44:00 PM GMT+8  

antrian panjang terjadi karena penduduk cina dan rusia penasaran dengan manusia yang jadi hamburgers.... :D

Haris Firdaus December 18, 2008 at 10:35:00 AM GMT+8  

to: tukang gunem
seumur-umur saya juga belum pernah makan hamburger mas. ya lebih enak tempe mendoan ketimbang tahu susur dunk!he2.

to: dony alfan
lha itu lucunya, mas. di amrik kan McDonald's itu makanan utk mereka yang sibuk, di sini kok malah jadi makanan anak nongkrong yg ga punya kerjaan. he2.

to: senja
.....:)

to:boykesn
sy justru disponsori pihak yang memusuhi mcdonald's,mas. ha2

to : ciwir
Cina dan Rusia mungkin mengalami euforia kebabasan saat keduanya ga lagi dibawah pemerintahan komunis yang tulen. kehadiran mcdonald's kan simbol penetrasi kapitalisme yg paling nampak!

Anonymous December 18, 2008 at 9:01:00 PM GMT+8  

mas kalau tidak salah tulisannya tu hamburger bukan humberger, judulnya tu lho. He... (Yoghurt)

Anonymous December 19, 2008 at 1:30:00 AM GMT+8  

piye kapan bukumu terbit?
nek terbit aku dikasih satu, ntar tak resensi dan tak promosikan di blog-ku serta di milis2...

Haris Firdaus December 19, 2008 at 7:52:00 PM GMT+8  

to: yoghurt
yo wis tak benerke. ki yoghurt opo bojone yoghurt? ha2.

to: ciwir
yo, gampang nek soal kuwi. siip!

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP