Lambat

>> Friday, July 4, 2008




Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi daerah Tawangmangu—sebuah dataran tinggi di kaki Gunung Lawu—saya seperti berharap akan menemui semacam “kelambatan”. Mungkin karena dalam imajinasi saya Tawangmangu masih sebuah “desa”, sehingga saya bayangkan ia akan diisi dengan manusia-manusia yang tak tergesa dan terlihat lebih sumeleh.

Anehnya, pikiran macam itu—tentang Tawangmangu yang “desa” dan otomatis mungkin “lambat”—muncul di benak saya baru-baru ini, bukan sejak dulu. Padahal, saya adalah manusia yang sudah menjejakkan diri di Tawangmangu selama puluhan kali dan tentu saya sudah melihat bagaimana suasana sosial di sana sekaligus bagaimana orang berinteraksi di sana.

Mungkin saja pikiran tentang “desa” dan “kelambatan” ini muncul karena hari-hari terakhir ini saya sedang dirundung “suasana kecepatan”. Hari-hari itu adalah sebuah waktu di mana saya dioyak-oyak banyak tugas dan tanggung jawab, dengan deadline waktu yang tak bertoleransi. Tentu saja, saya tak sedang menyesali kenapa semua bisa jadi seperti itu. Saya toh, pada akhirnya, adalah manusia yang hampir-hampir selalu hidup dengan “suasana kecepatan” macam itu, laiknya manusia-manusia kebanyakan.

Cuma, merindukan unsur “kelambatan” hadir pada kita—paling tidak kita bisa melihat suasana kelambatan itu dan tak perlu masuk terlampau jauh ke dalam sana—mungkin sesuatu yang sah saja: ia barangkali semacam kerinduan orang kota pada desa atau semacamnya. Ada suasana “nostalgis” yang hadir bersama dengan kerinduan itu. Ada sebentuk perasaan “ingin menjadi tenteram”, sejenak berhenti dari aktivitas yang mengejar, atau apapun namanya itu.

Tapi ketika akhirnya saya tiba di Tawangmangu, saya sadar: suasana “kelambatan” itu memang hanya separo. Di lipatan-lipatan kampung daerah itu, “kelambatan” itu mungkin masih hadir. Saya masih melihat anak-anak kecil bermain sepakbola di jalan umum dalam waktu yang lama, seolah jalan itu tak akan dilewati mobil atau kendaraan yang tergesa. Saya juga masih melihat orang-orang berkumpul pada suatu sore di sebuah rumah, dengan santai, ngobrol tak karuan, mungkin sampai akhirnya matahari tenggelam, dan malam membuat mereka terpisah karena udara yang dingin, atau karena mereka mesti kembali ke rumah dan makan bersama keluarga.

Suasana macam itu tak akan lagi kelihatan di “pusat kota” Tawangmangu. Di beberapa obyek wisata daerah itu—seperti air terjun Grojogan Sewu—“kelambatan” bukan sesuatu yang mudah dikonsumsi. Di obyek-obyek itu, suasana hiruk pikuk hadir, dengan manusia-manusia yang berjalan terus-terusan. Mereka yang di sana adalah mereka yang membawa tas, kamera, handphone, dan penunjuk waktu: sebuah petanda tentang rencana yang tak akan menoleransi “kelambatan”.

Ketika saya memasuki Grojogan Sewu, lalu melihat air terjun yang tingginya sekira80 meter itu, dengan merebahkan diri di atas sebuah batu kali, saya sejenak melupakan hiruk pikuk manusia di sana. Dengan posisi berbaring di batu sambil melihat air terjun yang raksasa tersebut, mata saya memang tak bisa melihat rangkaian manusia yang masuk atau keluar obyek wisata itu. Telinga saya, juga tak mampu mendengar keramaian mereka karena suara air terjun itu begitu gemuruh.

Memandangi air terjun itu, saya merasa melihat sesuatu yang “statis”. Saya sendiri heran kenapa pikiran macam itu bisa hadir. Padahal, air terjun adalah sesuatu yang tak pernah stag: aliran airnya selalu saja diperbarui tiap detik. Tiap waktu, air yang kita tangkap dengan mata kita itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang baru karena ia berbeda dengan air yang kita lihat sedetik yang lalu. Tapi, bisakah kita menangkap perbedaan itu meski secara logis kita tahu itu berbeda?

Saya kira tidak. Atau mungkin saja, suatu suasana yang sangat cepat justru akan terlihat sebagai sesuatu yang amat lambat, bahkan hampir berhenti. Melihat dan menghayati air terjun Grojogan Sewu—yang pada dasarnya adalah sebuah kecepatan yang amat tinggi—saya justru merasa memasuki suasana “kelambatan”. Saya seperti “berhenti” pada momen itu, dan gerak air yang terus mengucur, hilang, lalu berganti itu, justru saya hayati sebagai sesuatu yang lambat dan menarik saya ke suasana “kelambatan”.

Tapi itu hanya sejenak karena ketika saya bangkit dari pembaringan saya, suasana itu sontak buyar: saya kembali melihat orang-orang yang sedang berendam, bercanda dengan teriakan-teriakan, atau yang sekadar melihat air terjun tanpa berani masuk ke dalam sungai di bawahnya. Semua itu, membuat saya sadar: kelambatan itu tak akan bisa saya bawa pulang.

Kesadaran macam itu jugalah yang muncul ketika beberapa waktu sesudah mengunjungi Grojogan Sewu saya ada di sebuah sabana hutan di kaki Gunung Lawu, sendirian. Saya menatap rangkaian rumput-rumput yang luas di tempat itu, memandang beberapa bukit yang dari posisi saya terlihat amat tinggi, dan merasakan angin yang menyentuh pori-pori saya. Pada momen demikian, saya merasakan ada semacam “kelambatan” yang hadir. Di sabana itu, saya menggelar matras, dan berbaring berbantalkan tas ransel, kadang menatap langit cerah, kadang melirik matahari yang tak terik. Lama-kelamaan, saya merasa ngantuk. Di sabana itu, saya sempat tertidur beberapa menit mungkin.

Ketika saya terbangun, sontak tergambar beberapa rencana, beberapa “kerja” yang saya tinggalkan, juga jadwal-jadwal yang menghiasi kepala. Saya tahu, saya tak akan bisa bertahan di sabana itu untuk beberapa hari lagi karena semua gambaran itu benar-benar mengganggu saya dan memaksa saya akhirnya mengemasi tas, dan kemudian balik menuju habitat saya sebenarnya.

Pada akhirnya, “kelambatan” itu memang tak bisa saya bawa serta di dalam tas. Di sabana itu, ia saya tinggalkan. Kapan-kapan, mungkin ia akan saya sambangi lagi.

Sukoharjo, 2 Juli 2008
Haris Firdaus

3 comments:

ika rahutami July 7, 2008 at 9:20:00 AM GMT+8  

wahhh Ris.... nikmatnya masih bsia tidur di atas batu dan di sela rumput
kadang kita butuh suasana lambat dan hening untuk berefleksi

Anonymous July 8, 2008 at 4:57:00 PM GMT+8  

wah, bener, mbak. memang enak. meski sejenak. setidaknya kita tahu kita pernah berhenti

Anonymous August 25, 2008 at 6:57:00 PM GMT+8  

sendirian Ris? Wow.
Eh aku pernah lho naik gunung Lawu dan Merbabu, sampai puncak.., emang luar biasa ya keindahannya, stress ilang . paling tidak utk sementara, dan segar kembali to...(puitri)

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP