Eco dan Fasisme yang Kabur
>> Thursday, April 17, 2008
Di atas Gaya Baru Malam, di tengah situasi berisik para pedagang yang menawarkan barang, saya menghabiskan sebuah esai Umberto Eco tentang fasisme. Refleksi Eco menjadi menarik karena di awal kisahnya itu ia bernarasi soal masa kecilnya.
Alkisah, di tahun 1942, ketika ia masih seorang anak berusia 10 tahun, Eco memenangkan sebuah kompetisi yang bernama “Ludi Juveniles”: satu lomba wajib dan terbuka bagi semua pemuda Fasis Italia. Saat itu para peserta diminta merespons sebuah esai berjudul “Haruskah Kita Mati demi Kejayaan Mussolini dan Nasib Abadi Italia?”.
Eco mengaku bahwa ia “menulis sebuah serpihan retorika luar biasa” yang “mengiyakan” pertanyaan dalam esai tersebut. Hasilnya, ia menang di urutan pertama. Eco menulis: “(Saat itu) Saya seorang bocah yang bijaksana.”
Saya tersenyum geli membaca kalimat tersebut. Saya menyangka bahwa Eco sedang mengolok-olok dirinya sendiri dan juga masyarakatnya saat itu. Tapi ketika saya melanjutkan pembacaan ke bagian selanjutnya, saya jadi tak yakin bahwa Eco sedang berolok-olok.
Bisa jadi, Eco adalah anak yang “tahu diri” pada situasi saat itu sehingga hampir tak mungkin memberi jawab selain sebuah afirmasi atas pertanyaan tersebut. Tapi, mungkin saja ia sedang “bersungguh-sungguh” saat memberi pengiyaan itu.
Di tahun 1942, bisa jadi Eco masih seorang kecil yang barangkali tak memiliki kesadaran soal fasisme secara lebih jauh. Sejak kecil, ia dan anak seusianya memang sudah dihadapkan pada kondisi negara yang tak stabil, penuh dengan peperangan, juga propaganda.
Rezim Mussolini tentu melakukan “kontrol kesadaran”, barangkali semacam hegemoni dalam bahasa Antonio Gramsci. Dengan aparatus yang lengkap dan tertib, kontrol macam itu jadi mungkin dan bukan sesuatu yang aneh ketika anak Italia saat itu bercita-cita mati demi Mussolini dan “Nasib Abadi Italia”.
Tapi di sana-sini ada perlawanan dan anak-anak itu bukan tak memahami bahwa mereka sedang ada dalam sebuah “persaingan”. Bagi para pemuda Italia saat itu, perang adalah sebuah kondisi yang normal—seperti diakui Eco. “Perdamaian,” kata penulis “The Name of the Rose” itu, “membuatku merasa aneh”.
“Keanehan” itu, saya kira, karena sejak kecil mereka memang telah terbiasa dengan hal demikian dan secara naif barangkali mereka tak berpikir bahwa ada kondisi alternatif selain perang.
Pada mei 1945, ketika perang dinyatakan usai, Eco baru belajar tentang kondisi yang lebih luas di Eropa. Ia baru tersadar bahwa perang bukan hanya ada di negaranya tapi juga hampir di seluruh Eropa—dan juga di banyak bagian dunia lainnya. Saat itu, ia menyadari bahwa diri dan bangsanyalah yang baru saja “dibebaskan”.
Demikianlah: kesadaran tak mungkin selamanya tertutup. Bahkan sejak lama sebelum Fasisme Italia kalah dalam Perang Dunia II, kesadaran telah bangkit dan perlawanan digelar. Bagi Eco dan orang Italia segenerasinya, perlawanan yang digerakkan organisasi-organisasi bawah tanah penting untuk diingat. “Moral dan psikologi perlawanan” terhadap Mussolini adalah sesuatu yang penting karena ia menerbitkan semacam kebanggan.
Mengingat perlawanan itu, bagi Eco dan orang-orang Italia di jamannya, adalah semacam bukti bahwa mereka bukan orang pasif yang menunggu dibebaskan oleh “pemuda-pemuda Amerika”.
“Saya berpikir bahwa bagi para pemuda Amerika yang membayar (dengan) kehormatan dan darah bagi kebebasan kami tidaklah tanpa guna untuk mengetahui bahwa di belakang itu ada orang-orang Eropa yang siap membayar hutang mereka,” tulisnya.
Eco sudah menyadari itu sebab bahkan sejak kecil ia telah gemar mendengarkan radio perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Dengan jendela tertutup dan lampu dimatikan, Eco kecil menghabiskan malam-malamnya dengan menempelkan telinganya pada radio untuk mendengarkan pesan-pesan dari Radio London untuk para partisan. Pesan-pesan yang disampaikan itu, seperti dituturkannya, biasanya tersembunyi dan puitik, seperti “matahari selalu terbit” atau “mawar akan mekar”.
Salah satu pemimpin gerakan bawah tanah yang banyak menerima pesan adalah Franchi: pemimpin gerakan kuat di Italia Utara. Ia merupakan lelaki dengan keberanian yang melegenda. Kagum akan keberanian lelaki itu, Eco kecil mengadopsi Franchi sebagai “jagoannya”.
Setelah perang, Franchi yang monarkis itu bergabung dengan kelompok sayap kanan ekstrem dan kemudian dituduh berkolaborasi dalam sebuah kup reaksioner. Eco dewasa tahu itu. “Tapi apa masalahnya?” tanyanya. Franchi tetap merupakan impian masa kanak-kanak Eco yang tak akan rusak oleh sesuatu yang dilakukannya sesudah perang usai.
***
Selain soal masa kecil, apa yang menarik dari “Ur-Fasisme”—judul esai Eco yang saya bicarakan itu—adalah tesisnya bahwa Fasisme Italia adalah sebuah kekuasaan yang dipancangkan tanpa bangunan filsafat ideologis yang baku dan kokoh. Kalau Stalin berkuasa dengan marxisme-leninisme yang rapi, Hitler memerintah dengan Mein Kampf-nya yang bisa dianggap lengkap sebagai manifesto politik, Mussolini menyebar kebencian bukan atas dasar argumentasi yang memadai.
Mussolini, kata Eco, sama sekali tak punya filsafat. Yang ia punya cuma retorika. Tapi yang menarik, justru Fasisme Italia adalah kedikatatoran sayap kanan yang pertama mendominasi negara-negara Eropa dan semua gerakan sejenis justru menemukan pola dasarnya dari Mussolini. Fasisme Italia yang pertama membuat liturgi militer, legenda, dan bahkan gaya pakaian yang sukses “dipasarkan” melebihi merk-merk terkenal.
Jadi, kata Eco: Fasisme bukan ideologi monolitik, tapi lebih merupakan susunan ide-ide politis dan filosofis yang berbeda, benang kusut yang berdiri sendiri-sendiri.
Saya geleng-geleng kepala: bagaimana bisa sebuah rezim totaliter membangun diri dan memertahankannya tanpa modal sebuah “filsafat”. Saya heran, bagaimana mungkin rezim yang disebut Eco sebagai bentuk “totalitarianisme yang kabur” itu bisa menanamkan pengaruh ke Inggris, Jerman, dan banyak negara Eropa lain.
Tapi, barangkali, totalitarianisme yang memang sejak awal “berniat buruk” tak perlu membekali diri dengan “filsafat”. Ia cuma butuh retorika, aparatus pemaksa, dan selebihnya kebijakan diambil bukan atas dasar doktrin atau semacamnya, tapi atas landasan yang pragmatis.
Sukoharjo, 17 April 2008
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment