Jurang yang Dalam

>> Friday, March 28, 2008




Dulu, saya selalu beranggapan bahwa komunitas, kelompok, organisasi, atau keterikatan apapun, di mana kita terlibat di dalamnya, harus sebisa mungkin menjadi “rumah” bagi kita. Tapi, kini, perjumpaan-perjumpaan saya dengan beberapa individu mulai menggoyahkan keyakinan macam itu.

Dulu, karena menganggap sebuah komunitas atau organisasi harusnya bisa menjadi “rumah”, saya amat menyukai kata “kenyamanan”. Kenyamanan adalah sebuah benda, sebentuk abstraksi yang terus-menerus saya kejar, sekaligus berupaya saya tularkan ke orang lain yang terlibat bersama saya dalam sebuah organisasi.

Kenyamanan, kata saya dulu, adalah sebuah konsep yang jika kita mampu memilikinya, maka kesolidan organisasi menjadi sesuatu yang sangat mungkin diwujudkan secara cepat. Saya, dengan naif beranggapan bahwa, dalam sebuah organisasi, kenyamanan adalah segala-galanya, dan segala-galanya adalah kenyamanan.

Saya memercayai konsep itu selama lebih dari tiga tahun berorganisasi. Kini, di penghujung proses itu, saya justru terguncang. Saya mulai melihat bahwa sebuah kenyamanan bisa jadi sama dengan sebuah kemandekan. Ya, kenyamanan barangkali sebuah bius, semacam “candu” yang membikin kita terus-menerus terlena dalam sebuah kelompok, dan akhirnya membuat lupa tentang segala potensi kita.

Orang yang sudah menemukan kenyamanan dalam sebuah kelompok, sudah menemukan semacam “rumah” di sana, seringkali lupa atau terlena bahwa di luar sana masih banyak tantangan yang harus ia jajal, masih banyak jalan yang bisa ditempuh, juga masih banyak laut yang bisa diarungi. “Rumah” dan kenyamanan membuat semua itu menjadi tak berarti di hadapan seorang individu.

Kenyamanan dalam sebuah kelompok barangkali berpotensi meniadakan keberanian manusia mengarungi tantangan, menghadapi cobaan, dan menempuh resiko. Kenyamanan membuat kita lebih suka memilih duduk diam, ngobrol dengan sahabat-sahabat kita tentang sesuatu yang tak penting, padahal di luar sana banyak yang mesti dilakukan, banyak rute yang seharusnya kita jajal.

Kini, saya sedikit bersepakat dengan Nietzsche: hidup memang seharusnya berisi tantangan-tantangan yang terus-menerus, tanpa henti, sehingga hidup tak menjadi sesuatu yang beku. Keberanian manusia, bagi filsuf Prusia itu, adalah kaedah moral yang tertinggi. Baginya, yang baik dalam hidup ini adalah sebuah keberanian.

Orang yang berani, kata Nietzsche, adalah mereka yang tahu ketakutan, tetapi menaklukkan apa yang menjadi ketakutan itu, mereka yang menyaksikan jurang yang dalam dengan rasa bangga.

Dalam kalimat itu tersimpul semacam paradoks: orang yang berani hanyalah orang yang tahu tentang ketakutan. Orang yang tak lagi mengetahui ketakutan, oleh karena itu, justru tak akan pernah menjadi orang yang berani. Orang yang sudah kehilangan rasa takut sama sekali—kalau kualitas macam itu ada—justru adalah orang yang tak mungkin lagi menjadi berani: ia tak akan menaklukkan apa-apa, ia tak akan melihat “jurang yang dalam” itu.

Pada titik inilah kenyamanan menjadi bius. Ketika kita terus-terusan berada dalam sebuah “rumah” yang nyaman, aman, dan tenteram, rasa takut hampir pasti akan jarang menyapa kita. Ketakutan, sebagai syarat awal bagi keberanian, akan jarang kita temui. Di situlah kemudian soalnya: kita akan jadi pribadi yang mandek, pribadi yang tak lagi menemui sebuah lecut untuk berkembang.

Kalau tantangan dan cobaaan adalah bagian dari “rasa takut” itu, bisa dikatakan bahwa sebuah “rumah” yang sentausa adalah sebuah ruang yang tak memungkinkan keduanya—tantangan dan cobaan—untuk hadir secara rutin tapi dalam taraf yang tak sama. Segala cobaan, di dalam sebuah “rumah” yang terlampau nyaman bisa jadi akan turun “taraf tantangannya” atau malah menjadi sebuah rutin yang bisa ditebak.

Lalu, bila sudah begitu, bagaimana bisa kita mengikuti saran Nietzsche untuk “mencintai penderitaan” atau dalam bahasanya yang terkenal, amor fati? Bila penderitaan adalah sesuatu yang secara sadar tak lagi kita pilih, bagaimana mungkin kita bisa mencintainya?

Sampai di sini, saya ingin mengatakan: berbahagialah kalian yang belum menemukan sebuah kenyamanan. Sebab, itu artinya kalian masih bisa berkembang, masih menemui sejumput tantangan untuk ditaklukkan, masih menghadapi resiko, masih bisa menatap “jurang yang dalam” itu.

Ketidaknyamanan dalam sebuah kelompok justru sebuah simptom bagi kreativitas yang masih akan terus berkembang dengan meledak-ledak. Itu artinya, masih ada yang bisa kita “ambil” dari kelompok itu.

Yang harus dilakukan, mungkin, menerima ketidaknyamanan itu dengan hati riang, dengan sejumput optimisme bahwa segala ketakutan yang menyebabkan ketidaknyamanan itu bisa kita taklukkan. Agaknya, kita mesti bisa—mengikuti saran Nietzsche—memandang “jurang yang dalam dengan rasa bangga”.

Nietzsche pernah menyatakan: “Pernahkah kau menyaksikan perahu layar mengarungi lautan, layarnya mengembang, tegang serta gemetar bersama menderunya angin? Seperti layar itulah, gemetar bersama dahsyatnya semangat, kearifanku mengarungi kearifan lautan yang ganas.”

Saya beranggapan bahwa itulah “kredo” kefilsufan Nietzsche. Kemauannya untuk berlayar dalam sebuah laut yang ganas dengan gairah yang besar, kemauannya untuk menanggung dan mencintai penderitaan, dan keinginannya agar manusia hidup dengan keberanian yang bergairah, adalah beberapa pokok terpenting dari warisannya.

Sekali lagi: berbahagialah kalian yang belum menemukan kenyamanan.

Sukoharjo, 28 Maret 2008
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP