Mencari Sosialisme Fabian yang “Hilang”

>> Tuesday, February 5, 2008




Kaum jurnalis Indonesia harus mengenang—dan barangkali berterima kasih—pada dua hal yang tak ada kaitannya dengan jurnalisme: Sendratari Ramayana dan Restoran Mbok Berek. Sebab, keduanya adalah “saksi” dari sebuah peritiwa penting yang cukup berpengaruh pada dunia jurnalisme Indonesia: berdirinya Harian Kompas, sebuah surat kabar terbesar di Indonesia saat ini.

Ya, Kompas memang dimulai dari sebuah pertemuan antara Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama di sebuah pementasan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Setelah pertemuan itu, mereka berdua—yang sudah saling kenal meski bekerja pada dua penerbitan yang beda—makan di Restoran Mbok Berek.

Pada prosesi makan itulah tercetus sebuah ide dari PK Ojong untuk menerbitkan sebuah “media pendobrak”. Saat itu, sekitar awal tahun 60-an, pemerintahan Soekarno memang melarang masuknya media massa dari negeri-negeri barat sehingga, dalam pikiran PK Ojong, masyarakat menjadi “terisolasi” dari informasi penting dunia.

Ojong mengatakan bahwa media yang akan diterbitkan itu mesti memuat informasi yang mampu membuka mata dan telinga masyarakat. Secara teknis, direncanakan menerbitkan sebuah media dengan artikel-artikel yang ditulis bergaya “human story”, meniru Majalah Readers Digest.

Obrolan sambil makan nasi berlauk ayam itulah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Majalah Intisari pada Agustus 1963. Edisi pertama yang terbit pada hari ke-22 bulan itu sudah menampilkan banyak penulis luar yang bisa dibilang “canggih” pada masa itu. Beberapa penulis luar itu antara lain: Nugroho Notosusanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Soe Hok Gie, Ajip Rosidi, dan Rijono Pratikno.

Intisari yang sampai sekarang masih bertahan adalah cikal bakal pertemanan abadi antara Ojong dan Jakob. Keduanya kemudian diminta oleh Frans Seda, Menteri Perkebunan RI pada tahun 1965, untuk membuat sebuah surat kabar independen. Ide Frans Seda sebenarnya berawal dari sebuah percakapan telepon dengan Jenderal Ahmad Yani.

Secara khusus, dalam pembicaraan itu, Yani—yang menjabat Menteri TNI AD saat itu—meminta Seda membuat sebuah surat kabar guna membendung pengaruh koran-koran milik PKI. Seda kemudian menghubungi Igantius J Kasimo, seorang pengurus Partai Katolik. Keduanya kemudian bertemu Ojong dan Jakob.

Lalu lahirlah Kompas yang awalnya ingin dinamai sebagai “Bentara Rakayat” tapi kemudian diganti atas usul Bung Karno pada Seda. Kompas lahir pertama tanggal 28 Juni 1965 dengan edisi pertamanya sejumlah empat halaman.

Dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”, surat kabar ini kemudian berkembang jadi harian terbesar di Indonesia yang meluaskan bisnisnya pada penerbitan buku dan usaha lainnya dengan membentuk Kelompok Kompas Gramedia.
***

Riwayat Kompas bisa ditemui dalam buku berjudul “Kompas. Menulis dari Dalam” yang terbit pada November 2007. Buku yang awalnya dicetak terbatas pada April 2007 ini kemudian dicetak dan diperjualbelikan untuk umum. Berisi tulisan-tulisan dari para wartawan Kompas, buku ini bisa jadi menghimpun kisah Kompas yang paling lengkap sampai saat ini.

Saya membeli buku itu di Toko Buku Toga Mas, Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, saya baca buku itu dalam waktu yang tak terlampau lama. Dilihat dari materi tulisan, buku ini sebenarnya ingin menerang-jelaskan banyak hal tentang Kompas. Cuma, agaknya hal itu kurang bisa tercapai.

Banyak hal yang diulang di beberapa tulisan. Jumlah kontributor yang cukup banyak membuat struktur tulisan bisa tak seragam. Ini sebenarnya masih bisa ditolerir. Cuma, ada hal lain yang lebih krusial: beberapa tulisan di buku itu kurang bisa menggambarkan dengan utuh materi yang harusnya digambarkan oleh tulisan tersebut.

Bagi saya, Bab II yang berjudul “Kompas dan Pergulatan Inteletualnya” adalah bab yang paling “lemah”. Soalnya, bab itu adalah bab “inti” yang punya tujuan besar: menerangkan bagaimana Kompas bergulat dengan proses intelektualnya, tapi tak berhasil. Bagi saya, bab ini tak mampu memberi gambaran yang utuh tentang bagaimana “pergulatan intelektual Kompas”.

Tulisan Julious Pour berjudul “Kearifan mengintip Ke Belakang dan Keberanian Menatap Ke Depan” yang diletakkan pada bagian paling awal dari Bab II mungkin dimaksudkan sebagai “amunisi utama” bab ini. Sayangnya, tulisan ini tak banyak menyentuh “sisi intelektual” Kompas.

Alih-alih memberi gambaran yang utuh, tulisan ini malah cenderung “mengulang” sejarah Kompas dan bagaimana hubungan Ojong dan Jakob yang telah dijelaskan dengan cukup gamblang pada Bab I. Bahkan—ini yang cukup banyak saya sayangkan—“ideologi” Kompas, yaitu humanisme transedental hanya disinggung tak lebih dari dua halaman pada tulisan Julious Pour itu.

Padahal, pergulatan intelektual sebuah institusi tentunya digerakkan oleh sebuah “ideologi” yang dianut secara kolektif. Pada kasus Kompas, humanisme transedental itulah yang menggerakkan proses intelektual tersebut.

Kees De Jong bahkan pernah membuat disertasi tentang Kompas dan peranannya di tengah keragaman agama di Indonesia. Dalam disertasi yang ia pertahankan di Universitas Katolik Nijmegen, Belanda itu, De Jong menulis bahwa humanisme transedental adalah pilar sekaligus falsafah hidup Kompas. Dari sini saja, bisa kita lihat betapa penelusuran humanisme transedental itu sangat penting dalam melihat pergulatan intelektual Kompas.

Tulisan-tulisan lanjutan di Bab II, tak menyentuh “pergulatan intelektual Kompas” secara utuh tapi hanya menyentuh bagian per bagian: Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria Hartiningsih menulis tentang lahirnya Rubrik “Swara”, Efix Mulaydi menulis tentang langkah-langkah “budaya” yang dilakukan Kompas, sedang Hardanto Subagyo menulis tentang unit teknologi informasi milik Kompas.

Meski mengandung kekurangan, buku itu tetap menghadirkan sebuah kisah yang menarik, mudah dibaca, juga lepas dari sikap arogansi. Kehadirannya menjadi penting tatkala Kompas makin berkembang menjadi bisnis raksasa sekaligus menjadi institusi budaya yang makin berpengaruh dalam perkembangan masyarakat Indonesia.

Dilengkapi data kuantitatif dan tanggal-tanggal penting yang berkaitan dengan Kompas, buku ini memudahkan orang membaca perkembangan sebuah harian besar di Indonesia dari masa awal yang penuh keprihatinan sampai sekarang mengalami kejayaan.

Secara khusus, masuknya tulisan tentang langkah-langkah Kompas menghadapi era media digital yang menyebabkan banyak ilmuwan meramalkan “kematian media cetak”, juga amat menarik untuk disimak. Saya kira, kemampuan dan keberanian Kompas dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi adalah satu faktor pendorong perkembangan pesat harian itu.
***

Selain humanisme transedental yang banyak diperkenalkan oleh Jakob Oetama, ada satu “paham” lain yang (seharusnya) berpengaruh di Kompas, paling tidak pada saat awal harian itu berdiri. “Paham” itu adalah apa yang disebut sebagai “sosialisme Fabian”.

Nama “paham” itu barangkali agak asing bagi generasi sekarang seperti saya yang menerima pelajaran ilmu politik di universitas dengan sangat “simpel”.

Sosialisme Fabian merupakan nama sebuah pendirian yang dianut sebuah kelompok intelektual di Inggris pada akhir abad 19. Nama kelompok itu: Fabian Society. Berdiri pada tahun 1884, Fabian Society adalah kelompok yang kemudian menginspirasi kehadiran Partai Buruh di Inggris.

Saya belum menemukan sebuah penjelasan ilmiah yang panjang lebar tentang apa itu sosialisme Fabian. Tulisan Frans M Parera di Jurnal Prisma No. 4/1985 yang berjudul “Menegakkan Keadilan Sosial: Pengalaman dan Visi PK Ojong” adalah referensi pertama yang saya baca tentang kaitan Ojong dan sosialisme Fabian.

Sayang, tulisan itu tak banyak memberi referensi tentang sosialisme Fabian. Kaitan paham itu dengan Kompas yang didirikan dan dipimpin Ojong pun tak saya temukan.

Dalam Buku “Kompas. Menulis dari Dalam”, hanya satu tulisan yang menyebut sosialisme Fabian. Tulisan yang diletakkan paling awal itu juga ditulis Frans M Parera dengan judul “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis”.

Dalam tulisannya, Frans M Parera mengacu pada tulisan Frans Seda berjudul “Sepanjang Jalan Kenangan”. Tak ada keterangan di mana tulisan Seda terbit. Referensi waktu yang diberi Parera hanyalah bahwa tulisan Seda muncul pada usia Kompas yang ke-25.

Dalam “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis”, Parera—mengutip Seda—mengatakan adanya “Fabian Society Made In Indonesia”. Kelompok ini adalah sebuah kelompok yang memiliki mimpi kolektif tentang Indonesia Baru yang mirip dengan mimpi Inggris Baru yang dipunyai Fabian Society.

Apa yang dimaksud “Fabian Society Made In Indonesia” adalah sebuah kelompok cendekiawan Indonesia yang memiliki mimpi kolektif sosialisme demokrat dengan perjuangan rakyat yang berbeda dengan perjuangan ala komunis. Dalam pandangan kelompok ini, semiskin-miskinnya seorang fakir jelata, ia masih memiliki harta yang layak dipertahankan: hati nurani.

Hati nurani adalah wujud dari semangat hidup tidak pantang menyerah terhadap berbagai tekanan hidup, kata Parera. Dan hati nurani pula yang mesti diacu kala memperjuangkan keadilan sosial.

Barangkali, inilah beda sosialisme Fabian—yang bagi saya terlihat mirip dengan sosialisme demokrat—dengan komunisme: kalau komunis konon katanya menghalalkan segala cara demi revolusi, sosialisme Fabian masih berjuang mencapai keadilan sosial sebagai cita-citanya dengan panduan hati nurani.

Tulisan “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis” memang menyebut bahwa “sosialisme Fabian masih dipelihara di perusahaan KKG”. Cuma, Parera tak menyebut bagaimana operasionalisasi paham itu dalam perusahaan sebesar KKG sampai saat ini.

Barangkali, inilah yang “hilang” dari sejarah Kompas. Kalau benar PK Ojong adalah seorang penganut sosialisme Fabian, seharusnya paham itu berimbas pada Kompas. Apalagi, sampai tahun 1980 Ojong adalah pemimpin tertinggi harian itu yang banyak memberi kerangka falsafah pada organisasi.

Tapi, jejak sosialisme Fabian di Kompas dan KKG hampir “tak terlacak” lagi. Barangkali bukan karena paham itu sudah tak ada lagi di Kompas, tapi lebih karena tak ada orang—bahkan orang dalam Kompas sendiri—yang berusaha membuktikan paham itu masih ada atau tidak di Kompas.

Bahkan dalam Buku “Kompas. Menulis dari Dalam”—yang mungkin merupakan biografi “terlengkap” Kompas—penyebutan sosialisme Fabian hanya muncul dalam satu tulisan. Di bundel biografi Kompas keluaran resmi harian itu—yang saya dapat dari seorang kawan yang melakukan penelitian tentang Kompas—juga tak disebut-sebut soal sosialisme Fabian-nya PK Ojong.

Agaknya, memang diperlukan sebuah upaya mencari sosialisme Fabian yang hilang itu.


Sukoharjo, 1 Februari 2008
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP