Dandy-dandy Revolusioner

>> Wednesday, February 20, 2008

Revolusi dan dandyisme bagaikan dua sisi dari sekeping uang logam: keduanya jelas berbeda tapi berada dalam jarak yang amat dekat.

Robespierre, salah satu tokoh dalam Revolusi Prancis, konon adalah seorang yang suka memakai parfum yang sangat mahal sekaligus bersemerbak baunya. Bahkan beberapa saat sebelum ia dihukum mati dengan dipancung, ia masih sempat memakai minyak wangi kesukaannya itu. Seolah-olah, perjalanan menuju pancungan yang dilaluinya adalah sebuah “pertunjukan” yang membutuhkan seorang aktor yang sempurna—terutama dalam arti fisik.

Revolusi Prancis memang penuh dengan tokoh yang dandy alias suka dandan sekaligus menyukai pamer. Tapi Revolusi Prancis tak sendirian. Di Rusia, ketika gemuruh marxisme—yang digabung dengan leninisme—sedang kencang-kencangnya, kita mengenal Stalin: penguasa kejam yang membunuh sekian ratus ribu nyawa demi dua kata: “dikatatur proletariat”. Tapi, Stalin yang jelas “anti kapitalis” itu juga punya sisi lain: di saat-saat ia lepas dari tatap mata rakyatnya, Stalin adalah seorang yang tahu soal kualitas pakaian dari satin dan minyak rambut asal Prancis.

Jawaharlal Nehru juga demikian. Sapu tangan milik mantan Perdana Menteri India ini selalu berasal dari sutera dan sekuntum mawar merah senantiasa bersandar sebagai hiasan di kancing paling atas jasnya. Dan, daftar “tokoh revolusioner” yang sekaligus suka bersolek ini bisa diperpanjang: George Washington, Wodrow Wilson, Sun Yat Sen, dan Krushchev.

Kalau wilayahnya diperluas sampai negeri kita, daftar itu bisa tambah panjang. Soekarno, sang proklamator plus agitator paling hot itu, tentu saja seorang yang sangat mementingkan penampilan sekaligus menyukai “pertunjukan”. Kusno—nama kecil Bung Karno—adalah manusia yang dengan sengaja selalu melakukan “rekayasa” terhadap penampilan dan juga “show” yang dilakukannya.

Itulah kenapa, dalam masa kepemimpinannya, slogan-slogan hadir dengan membanjir berbentuk kata-kata yang mahahebat tapi miskin “esensi”. Slogan, sebagai bagian tak terpisahkan dari pidato dan rapat raksasa, adalah salah satu komponen utama dalam “dandyisme politik”. Sebagai sebuah kata yang lebih mementingkan unsur “estetika” ketimbang “hakekat”, slogan hampir selalu bertujuan sebagai “pemikat” dan bukan “penjelas”.

Dalam sebuah suratnya kepada B. Soelarto, awal September 1965, Iwan Simatupang pernah dengan tegas menunjuk Bung Karno sebagai seorang “dandy par exellence”. Hampir seluruh aspek dalam gerak Bung Karno, kata Iwan, mencerminkan sikap dandy: cara berpakaian, cara berjalan, cara berjabat tangan, dan tentu saja cara pidato. Pilihan bahasa yang ia gunakan dalam pidato, juga metafor dan alegori yang dipilihnya, menunjukkan dengan jelas bahwa Bung Karno adalah “seorang pesolek”.

Dandyisme, kata Iwan lagi, adalah sebuah “doktrin” yang memang seringkali hadir mengiringi terjadinya sebuah revolusi atau perjuangan. Sifat-sifat patriotis dan herois dari kebanyakan pejuang kemerdekaan hampir selalu dibarengi sikap dandy. Bahkan tanpa ragu Iwan menyebut “dandyisme sering kita sinyalir hanya ada pada tokoh-tokoh yang luar biasa, yang genial: tidak jarang dandyisme inilah justru titik berangkat dari seluruh gagasan (konsepsi) perjuangannya di bidang politik, ekonomi, sosial, kultural, militer, dan seterusnya.”

Saya kira, kesimpulan yang diambil Iwan ini sungguh berani, dan barangkali bisa disebut sebagai “gegabah”. Tapi sebagai cendekiawan yang mahfum soal filsafat, antropologi, dan sejarah, Iwan tentunya sudah mendasari argumennya tadi dengan seabrek dalil, sekaligus “pembuktian”.

Pandangan Iwan tentang perkembangan sejarah dan bagaimana melakukan analisis terhadapnya, bisa kita temukan dalam surat-surat Iwan pada B. Solearto yang kemudian diterbitkan LP3ES tahun 1986—20 tahun setelah surat terakhir dalam kumpulan itu ditulis—dengan judul “Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966”.

Buku kumpulan surat itu ukurannya kecil, dengan tebal kurang dari 300 halaman. Tapi di dalamnya, tentu saja dengan gaya tulis surat yang personal dan subyektif, bisa kita ketemukan pandangan politik Iwan yang mengaggumkan tentang kondisi politik, kebudayaan, dan ekonomi Indonesia sekitar tahun 1960-an.

Sebagai sebuah surat, kelebihan utama dari buku ini adalah bisa dibacanya pandangan Iwan tentang berbagai soal dalam ekspresi yang paling murni. Kebencian Iwan dinyatakan dengan cara yang amat kasar terkadang. Pemujaan terhadap satu tokoh kadang juga terasa berlebihan. Kesedihan yang ia rasakan sebagai sebuah reaksi atas berbagai peristiwa yang dialaminya, juga terasa sebagai sebuah melankoli.

Pada titik itu, saya kira, kita bisa melihat Iwan Simatupang dalam wujud yang “asli”. Meski Frans M. Parera menyebut bahwa novel-novel Iwan pun sesunggunya merupakan “biografi” atas diri pengarangnya, tapi karya sastra yang sifatnya “biografis” sekalipun sebenarnya tak melulu “idem dito” dengan penulisnya.

Karya sastra, mengambil pendapat A Teeuw yang saya renovasi sedikit, memang betul adalah penjelmaan isi jiwa manusia (pengarang), namu tidak identik dengan isi jiwa itu. Di sini, meski novel Iwan punya segudang kaitan dengan biografi dirinya sebagai pengarang, kita tak serta merta mampu menemukan Iwan yang benar-benar dalam novel-novelnya.

Saya kira, kumpulan surat Iwan lebih bisa dipertanggungjawabkan sebagai sumber “biografi”-nya. Tapi, fungsi surat-surat itu, menurut saya, bukan hanya itu. Kumpulan surat Iwan adalah juga perangkat kita memahami kondisi politik tahun 1960-an secara lebih lengkap karena banyak hal yang disebutkan Iwan dalam surat-suratnya tak akan lagi bisa kita ketemukan dalam sejarah yang “resmi”.

Iwan misalnya banyak menyinggung secara sarkastis tentang lemahnya kemampuan pikir beberapa pejabat yang amat dekat dengan Soekarno. Soekarno, kata Iwan, seolah-olah tak mampu melihat bahwa beberapa pembantu terdekatnya yang sebenarnya amat bodoh.

Iwan juga menyoroti kegemaran beberapa pejabat saat itu untuk mencari kesenangan kelamin pada perempuan panggilan. Beberapa nama tenar dalam sejarah kebangsaan kita dituduh secara langsung olehnya suka mengundang “wanita panggilan” dengan tarif yang mahalnya minta ampun.

Beberapa pejabat PKI yang mempropangandakan anti majalah Barat, kata Iwan, ternyata menyimpan segepok majalah terbitan negeri Barat yang porno.

Selain semua itu, banyak hal lagi yang bisa kita ketemukan dalam surat-surat Iwan yang kalau saja semua itu dijadikan “sumber sejarah resmi”, barangkali cerita revolusi bangsa kita tahun 1960-an akan penuh dengan dua hal: kebodohan dan nafsu birahi.
***

Ketika memahami perubahan zaman dan dialektika yang inheren dalam dirinya, barangkali, kita akan selalu dihadapkan pada sebuah ketegangan antara dua hal pokok yang terlibat di dalamnya: manusia dan struktur. Pada ketegangan itu pula, kata Daniel Dhakidae, terjadi perbedaan dalam memahami sejarah.

Ada sekelompok ahli yang kemudian menganggap bahwa manusia adalah faktor utama dalam jalannya sejarah. Sejarah, ada dan berubah karena faktor manusia beserta perilakunya. Aliran ini yang kemudian disebut sebagai “aliran behavioral”. Perangkat utama dari aliran ini dalam memahami sebuah perubahan adalah perangkat psikologi. Artinya, perubahan kondisi dicari jawabannya dari kondisi psikologis tokoh-tokoh yang terlibat dan menjadi gerbong dalam perubahan itu.

Aliran ini kemudian, kata Dhakidae, menuju sebuah kecenderungan untuk “mempsikologikan” segala gejala sosial dan politik: seolah-olah yang paling menentukan gerak zaman adalah persepsi seseorang, sikap dasar seseorang mengenai sesuatu, dan sama sekali abai terhadap struktur sosial dan ekonomi.

Di posisi yang berlawanan dengan teori ini adalah “kelompok struktural” yang menganggap bahwa perubahan adalah akibat dari kondisi dari struktur sosial dan ekonomi yang tanpa ampun memaksa manusia melakukan suatu tindakan. Dilihat dari perspektif ini, posisi manusia dalam dialektika zaman bahkan lebih buruk dibandingkan artis yang bermain dalam sinetron yang skenarionya sudah ditentukan. Kehadiran manusia dalam rentang waktu itu, hanya sebagai pelengkap, bukan dalam posisi yang menentukan.

Namun kelompok kedua ini, juga memberi peluang—pada kondisi-kondisi tertentu—terhadap peranan tokoh. Sejarah memang tak pernah lepas dari struktur yang melingkupinya, tapi tokoh-tokoh yang kuat bisa datang dan memberi warna yang khas pada sejarah.

Itulah yang disebut sebagai “generational history”. Iwan Simatupang, saya kira, ada dalam pendirian ini. Ia, dalam melakukan analisis terhadap perubahan politik nasional tahun 1960-an, tak pernah lupa mengaitkan dengan struktur dan konstelasi politik internasional, tapi sekaligus juga menganggap kondisi psikologis para elite politik nasional saat itu sebagai sesuatu yang penting.

Saking pentingya kondisi psikologis itu, ia lalu melakukan analisis terhadap sikap pesolek para tokoh politik guna mencari jawaban dari perkembangan politik mutakhir. Pada Januari 1966, ketika kondisi ekonomi Indonesia makin mengarah pada lubang hitam, dalam sebuah suratnya, Iwan mempersalahkan sikap dandyisme para pemimpin saat itu yang hanya bisa “nampang” di hadapan rakyat tanpa kompetensi yang memadai.

Dandyisme, sebagai sebentuk penghargaan yang terlalu berlebihan pada bentuk sekaligus pengabaian pada isi, adalah warisan kultural yang menurut kesimpulan Frans M Parera atas kumpulan surat Iwan, masih terwariskan pada para pemimpin orde lama. Mereka—para pemimpin itu—adalah seorang yang siap naik panggung di depan rakyat untuk orasi, tapi sebenarnya sangat tak bisa diharapkan secara profesional.

Konon, dandyisme adalah warisan turun-temurun dari kebudayaan kita. Barangkali, itulah kenapa pada Pemilu Presiden tahun 2004 lalu kita bisa saksikan seorang calon presiden yang memakai jaket kulit dengan sisiran rambut yang rapi dan wajah nggantengnya rela tampil menyanyi dalam pentas AFI.

Yah, dandyisme dalam politik memang masih berlanjut meski saat ini bukan “dandy-dandy revolusioner” yang tampil!

Sukoharjo, 19 Februari 2008
Haris Firdaus

2 comments:

ikram February 21, 2008 at 3:44:00 PM GMT+8  

Revolusi dan dandyisme bagaikan dua sisi dari sekeping uang logam: keduanya jelas berbeda tapi berada dalam jarak yang amat dekat.

Tamsilnya nggak akurat ah :D

Anonymous February 9, 2009 at 12:08:00 PM GMT+8  

politisi yang dandy menurut saya adalah politisi yang kumplit. dia dapat membedakan ruang publik di mana ia milik publik, dan ruang privat di mana ia otonom. politisi yang tidak dandy hanya akan menjadi politisi yang 'kering' tak memiliki kemampuan 'bergurau' dan membuat politik menjadi lebih 'pengap'.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP