Beranda Tanpa Angin dan Beranda yang Kehujanan

>> Friday, February 29, 2008


/1/
Beranda adalah sebuah “ruang transisi”. Ia memang bagian dari suatu rumah—tempat pusat, asal, dan identitas biasa dilekatkan—tapi seseorang yang ada di dalamanya tak pernah benar-benar bisa disebut “ada di rumah”.

Barangakali, ini pula yang menyebabkan beranda, dalam artinya secara kamus, disebut sebagai “ruang beratap terbuka (tidak berdinding) di bagian samping atau depan rumah.” Meski secara jelas disebut ada “di bagian samping atau depan rumah”—artinya ia merupakan bagian dari rumah meski tak “berada di dalamnya”—tapi beranda senantiasa punya penanda yang secara signifikan membuatnya beda dengan rumah: ia merupakan ruang yang “beratap terbuka” dan “tanpa dinding”.

Dinding, barangkali ia adalah penanda paling penting dari rumah. Rumah senanatiasa memiliki batas, yang secara mutlak membuat penghuninya merasa dirinya—paling tidak dari segi geografis—berbeda dengan sekelilingnya. Dan, batas itu—yang akhirnya tak bersifat geografis semata—terutama, dan pada awalnya, ditegakkan oleh dinding.

Beranda “merusak” batas itu. Di ruangan “tanpa dinding” itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang biasanya “duduk santai sambil makan angin, dan sebagainya.”

Apa sebenarnya arti “makan angin”? Barangkali ia merupakan sebuah kegiatan iseng untuk mencari suatu kesegaran dari luar (rumah). Pada kegiatan yang seperti itu, tujuan lebih banyak tak menyertai. “Makan angin”, mungkin adalah sebuah kegiatan yang—meminjam tuduhan Sutan Takdir Alisjahbana pada puisi Chairil—seperti rujak: menyegarkan tapi tak terlalu bergizi.

Dengan kata lain: ia dibutuhkan, meski efektivitas tak melulu jadi tujuan akhir, apalagi yang utama. Dalam konteks ini, beranda, sebagai pusat di mana manusia biasa “makan angin”, adalah sebuah tempat yang menarik tapi kadang tanpa penjelasan: manusia butuh ada di sana meski dengan tujuan entah apa.

/2/
Persoalan beranda sebagai ruang bukanlah monopoli kaum arsitek. Para penyair, adalah juga kaum yang terpesona pada beranda sebagai ruang.

Goenawan Mohamad menulis puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” tahun 1966. Puisi itu, semacam ekspresi yang bertindihan tentang kenangan, keinginan, masa depan, sekaligus keterbatasan:

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi tuts dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku piun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang mungkin esok tak ada.


Puisi itu, terutama adalah kemurungan. Sudah sejak kita baca judulnya, tercium bau kehilngan. Kehilangan itu tersirat dari kalimat-kalimat seperti “di beranda ini angin tak kedengaran lagi”, “di luar detik dan kereta telah berangkat”, “sepi kita semula bersiap kecewa”, dan “bersedih tanpa kata-kata”.

Kehilangan dalam puisi itu adalah kehilangan yang “siginifikan”. Kalau, seperti telah disebut di atas, “mencari angin” adalah kegiatan yang utama di beranda, maka “kehilangan angin” tentu saja berarti segalanya jadi sia-sia.

Beranda, jadi sebuah ruang yang di sana makna sama dengan nihil. Fungsi dan efektivitas, dalam beranda yang “tanpa angin”, menjadi sesuatu yang mustahil dibicarakan.

Pada Goenawan, kondisi yang demikian bisa jadi tragis. Goenawan Mohamad, sebagai seorang Malin Kundang, adalah seorang penyair yang saya bayangkan akan lebih betah “ada di beranda” ketimbang di rumah.

Sebagai seorang yang lahir dari sebuah tempat yang marginal secara kebudayaan, Goenawan kecil adalah manusia yang diserang kompleks inferior ketika mesti berhadapan dengan “kebudayaan pusat”. Meski sama-sama disebut sebagai “Jawa”, asal Goenawan bukanlah “Jawa yang pusat”, melainkan “Jawa yang pinggir”.

Dalam sebuah esainya, Goenawan mengaku bahwa ia lahir di sebuah desa di pantai utara Jawa Tengah yang jauh dari center of exellence kebudayaan manapun. Dalam hidupnya sehari-hari, ia berpikir, berbicara, bertingkah laku, serta bertata cara dalam sebuah “bahasa lokal”. Tapi, katanya kemudian: “bahasa lokal ini pada akhirnya terasa bukan sekadar sebagai dialek bahasa Jawa, tetapi sebagai penyimpangan.”

Persis pada titik itulah, inferioritas bersemi. Tentu saja, ada relasi kuasa yang terlibat dalam penciptaan kecenderungan yang demikian. Bahasa lokal yang dianut Goenawan, pada akhirnya diserang oleh bahasa Jawa lain—yang dari “pusat”—yang dianggap sebagai bahasanya orang priyayi, orang yang berpendidikan serta berkududukan.

Dalam penyerangan tersebut, ada semacam otoritas yang meletakkan “bahasa sekolahan” itu di kepala Goenawan kecil dalam posisi sebagai bahasa yang luhur. Dengan demikian, bahasa sehari-hari Goenawan, didorong dan disepak masuk ke dalam ruang yang secara sepihak didefinisikan sebagai yang “bukan luhur”.

Barangkali, penyerangan terhadap bahasa masa kecilnya—sekaligus ini juga berarti penyerangan terhadap budaya asalnya—ada kaitannya dengan pilihan Goenawan sebagai Malin Kundang. Di samping itu, sebagaimana lzimnya sastrawan yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, meminjam analisis Bennedict Anderson, Goenawan pun pada akhirnya mengalami “ketercerabutan bahasa” karena kehadiran bahasa Indonesia.

Dalam kasus beberapa pengarang di masa Hindia Belanda, ketercerabutan itu tak berarti mereka meninggalkan akar ke-Jawa-annya. Ketercerabutan itu adalah sesuatu yang justru disengaja guna melakukan resistensi terhadap politik pemerintah kolonial yang menggunakan bahasa Jawa sebagai perangkat penaklukkan.

Pada Goenawan, resistensi adalah sesuatu yang hampir tak kentara. Ia hanya menjadi “lain” karena kegagapan yang disebabkan “penyerangan” sekaligus “ketercerabutan” tadi.

Selain itu, seperti halnya Malin Kundang, pengembaraan punya pengaruh yang besar padanya. Goenawan yang terlanjur mengembara itulah yang akhirnya pulang ke Indonesia dan menemukan bahwa perangkat analisis dalam otaknya sudah “tercemar”. Akhirnya, ketika berhadapan dengan budaya asalnya, Jawa, ia mau tak mau melihatnya dengan kaca mata yang sudah “tercemar”oleh barat tadi.

Itulah kenapa, yang dibutuhkan Goenawan adalah sebuah “beranda”: sebuah ruang yang cukup melindungi, tapi tak sampai membatasi. Tapi, ketika beranda itu sudah “kehilangan angin” dan “langit terlepas”, apa lagi yang masih bisa dinikmati dari beranda itu? Di sana memang masih terdengar rubayyat: semacam penanda tradisi dan masa lalu, tapi toh itu saja tak cukup karena “di luar detik dan kereta telah berangkat” bahkan “sebelum bait pertama dan sebelum selesai kata”.

Pada akhirnya, “aku pun tahu”, katanya, bahwa “sepi kita semula bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” Di sini, beranda yang didiami Goenawan adalah sebuah “beranda yang tragis”.

/3/
Sapardi Djoko Damono juga menulis tentang beranda dalam puisinya, “Di Beranda Waktu Hujan”. Tapi, beda dengan Goenawan, beranda dalam puisi Sapardi adalah beranda yang penuh. Simak beberapa baris dari puisi itu:

Kusebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan
warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus
jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang
dalam hujan. Kau di beranda
sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan
tak pernah kulihat, yang menjelma semacam nyanyian,
semacam keheningan) terbang; ke mana pula siut daun
yang berayun jauh dalam setiap impian?”

...
Di beranda kau duduk,
sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,
menghindar dari pandangku; di mana pula
(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar
kepada hujan, sendiri,
....

Sapardi memang bicara tentang seorang yang sendirian di beranda. Tapi, kalau kita tilik dalam-dalam ke isi puisinya, akan nampak bahwa kesendirian itu tak menampakkan jejak yang jelas. Sajak “Di Beranda Waktu Hujan” adalah sajak yang panjang, dipenuhi kata-kata, tanda baca, dan beragam eskpresi yang saling menimpali. Itulah kenapa, saya menyebut sajak ini sebagai sajak yang “penuh”.

Dibandingkan dengan rata-rata sajak Sapardi, sajak ini relatif lebih panjang. Kata-kata hadir dengan sambung-menyambung, diiringi tanda kurung yang menandakan ragam eskpresi yang berlainan sekaligus tumpang-tindih. Maka, beranda dalam puisi ini—yang seharusnya sepi karena hanya ada seorang di sana— justru menjadi tampak penuh.

Kenangan yang berkelabatan, tanggapan terhadap suasana alam, dan percakapan yang mengalir membuat pembaca mesti menerima sekian beban komunikasi yang berakibat pada terciptanya suasana yang penuh.

Sapardi memang berbeda dengan Goenawan. Ia dilahirkan di Solo lalu kuliah di Yogyakarta: dua kota yang merupakan “pusat” kebudayaan Jawa. Sapardi tentu tak mengalami apa yang dirasakan Goenawan saat kecil. Perasaan inferior secara kultural tak ia punyai. Maka, secara biografis, Sapardi sebenarnya tak terlalu membutuhkan sebuah “beranda”—terutma dalam arti kebudayaan—karena ia memang masih ada di dalam “rumah”.

Beranda—dalam ranah kebudayaan—adalah sebuah tempat transisi yang benar-benar dibutuhkan oleh seorang yang secara kultural sudah tak bisa tinggal di “rumah kebudayaan”-nya tapi sekaligus tak pernah mampu benar-benar pergi dari “rumah” itu. Sapardi bukan orang yang demikian. Karenanya penghayatan Sapardi atas beranda pun meruapkan hasil yang berbeda dengan Goenawan.

Meski dalam puisi tadi Sapardi juga bercerita tentang beranda dan kehilangan, impresinya berbeda dengan sajak Goenawan. Baik sajak Goenawan maupun sajak Sapardi pada dasarnya berbicara dua hal yang sama: beranda yang sepi, beranda yang kehilangan. Cuma, berdasar hasil pembacaan saya, keduanya menghasilkan sesuatu yang berbeda.

Sajak Goenawan adalah sajak yang sepenuhnya “sepi” dilihat dari pilihan kata, tipografi yang digunakan, maupun suasana utuh yang tercipta ketika kita membacanya. Sajak Sapardi, secara diksi, memang bicara tentang kesepian dan kesendirian, tapi secara keseluruhan sajak itu justru menjadi penuh, ramai akan kata-kata dan tanda baca. Diksi yang dipenuhi kata-kata tentang kesepian pada akhirnya menjadi tak berarti.

Dilihat dari judul saja, sajak Sapardi tak menyiratkan kehilangan apa-apa, jauh berbeda dengan sajak milik Goenawan. Beranda dalam sajak Goenawan adalah “beranda yang tanpa angin”: beranda yang secara tersirat mengalami sebuah kehilangan. Sebaliknya, beranda dalam sajak Sapardi adalah “beranda yang kehujanan”: beranda yang secara tersirat menerima kedatangan sesuatu.

Goenawan adalah seorang yang sangat membutuhkan “beranda” sehingga penghayatannya atas “beranda yang kehilangan” menjadi amat berhasil. Sebaliknya, Sapardi tak terlampau membutuhkan “beranda” sehingga penghayatannya atas tematis itu menjadi tak maksimal.

/4/
Penghayatan yang berbeda terhadap beranda dari dua penyair itu barangkali terjadi karena biografi kultural keduanya yang berbeda. Goenawan adalah seorang yang tegas-tegas mencanangkan dirinya sebagai Malin Kundang tapi secara paradoks ia—dalam sebuah sajaknya—juga pernah mengatakan bahwa “di antara kita, ada yang seperti sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” (Sajak “Seperti Sebuah Negeri”). Di sinilah Goenawan mengalami sebuah ketegangan: antara keinginan untuk “durhaka” pada kebudayaannya dan ketakmampuan secara penuh melaksanakan “pendurhakaan” itu.

Sapardi tak berada dalam ketegangan yang sama. Persoalan kultural baginya adalah sebuah soal yang jauh lebih tertib. Itulah kenapa, saya kira, kedua penyair yang bersahabat itu harus berpisah jalan dalam soal beranda.

Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP