Hal-hal Sepele yang Membawa Serta Bahagia
>> Wednesday, December 5, 2007
Dalam hidup yang serba hiruk-pikuk, kebahagiaan bisa jadi ditemukan dalam hal-hal sepele yang kita anggap remeh. Saya membaca tentang itu di salah satu blog kesukaan saya beberapa hari lalu. Dari sana saya tahu: hal-hal kecil yang remeh-temeh ternyata selalu menyimpan sesuatu yang barangkali tak kita bayangkan. Terkadang, kita sendiri pun sampai tak paham kenapa hal-hal sepele yang telah kita lalui ternyata mampu membawa semacam bahagia.
Saya menyadari hal itu sepenuhnya setelah mengalami beberapa obrolan, dan pertemuan dengan beberapa teman. Pertemuan pertama, di suatu petang ketika saya dan beberapa kawan se-angkatan menjenguk seorang kawan yang sedang sakit di rumahnya. Di rumah kawan saya itu, kami tak hanya menjenguk, tapi juga ngobrol, bercanda, dan merencanakan beberapa hal. Obrolan mengalir ditemani minuman mineral berukuran gelas dengan merek tak terkenal, serta roti sederhana yang sudah terlalu banyak kami konsumsi.
Kenyataannya, petang itu saya merasa bahagia. Meski untuk sampai ke rumah kawan saya itu kami harus berhujan-hujan dulu, dan sempat tersesat beberapa kali, toh kehadiran saya di sana seolah mendapat imbalan yang pantas. Ditemani suara hujan, dan hawa petang yang dingin, kami bercanda tentang banyak hal, bicara tentang beberapa tugas kuliah yang akhir-akhir ini menggila, bicara tentang dosen-dosen kami yang tak terlampau istimewa, dan banyak lagi.
Kami tak bicara hal-hal besar. Sungguh, forum kami saat itu adalah sebuah forum tanpa rencana, yang entah kenapa bisa berjalan dengan begitu hangat, semarak, dan membawa semacam semangat baru. Mungkin karena kami—meski se-angkatan dan hampir tiap hari bertemu di kampus—sudah jarang bertemu dalam forum yang begitu santai, tanpa beban tugas kuliah, atau perencanaan tentang program-program bersama. Maka, akhirnya sambil mengunyah roti, dan sesekali meminum air mineral kemasan, kami ngobrol sampai hampir lupa waktu dan baru tersadar ketika adzan Maghrib berkumandang.
Kami sholat, dan kemudian pamit pulang. Pertemuan singkat yang sepele, tapi membawa semacam bahagia. Sebab, bagaimanapun di tengah himpitan tugas kuliah yang begitu banyak, dan tugas organisasi yang juga terus mengalir hampir tanpa jeda, pertemuan singkat yang remeh-temeh seperti tadi akan membawa sebuah kelegaan. Pertemuan macam itu, barangkali, adalah semacam jeda. Semacam pemberhentian di tengah kesibukan dan waktu yang berjalan dengan cepat.
Perasaan berhenti sejenak dan terbebas dari tugas itulah yang juga saya rasakan ketika di sebuah malam yang hujan, saya dan seorang kawan ngobrol di sebuah warung pinggir jalan. Sambil memakan nasi liwet, dan minum teh panas, kami ngobrol tentang banyak hal: kuliah, organisasi, masa depan, dan sebagainya. Kadang saya melihat kendaraan-kendaraan pribadi yang lalu-lalang di depan kami. Lampu sorot mereka yang menyala di malam yang temaram membuat kehadiran kendaraan-kendaraan itu tampak mencolok. Mereka berjalan dengan cepat, dan tiba-tiba saya merasa berhenti pada satu titik.
Saat itu, saya merasa benar-benar berhenti. Ketika melihat lalu-lalang yang menjauh dari hadapan kami dengan begitu cepatnya, saya tiba-tiba merasa menjadi orang yang begitu lambat, dan bahkan hampir tak bergerak. Saya sempat termangu sejenak, dan kemudian menyadari: begitu banyak hal berlalu di hadapan kita, dan terkadang kita hanya bisa berhenti memandangnya dari kejauhan. Terkadang, manusia tak berhasrat pada apapun kecuali pada hal sepele: istirahat, duduk santai di warung, ngobrol ngalor-ngidul dengan kawan, atau hal-hal tak produktif lainnya.
Akhirnya, saya paham: manusia membutuhkan hal-hal sepele itu, sama ketika manusia merasa harus bekerja se-produktif mungkin untuk mengejar hal-hal yang ia anggap besar dan berguna dalam hidupnya. Mendapati diri kita bersama hal-hal sepele, memang mendapati waktu yang berlari menjauh, tanpa usaha apapun dari kita buat mengejar. Dalam kondisi demikian, produktivitas tentu tak masuk hitungan. Tapi begitulah: manusia adalah entitas yang tak selamanya bisa tegang, dan konsentrasi pada satu hal. Ia sesekali membutuhkan pelampiasan yang agak gila, atau membutuhkan istirahat yang benar-benar memberinya waktu untuk berhenti sejenak, dan tak memikirkan apapun.
Saya barangkali menyadari hal itu karena pertemuan-pertemuan dengan kawan-kawan saya tadi. Betapa dalam pertemuan yang demikian kita sebenarnya mendapati diri sebagai orang yang jauh lebih rileks. Di tengah hujan malam-malam, saya dapati sebuah kelegaan ketika ngobrol dengan seorang kawan. Saya dapati rona bahagia di wajahnya pula. Dalam kondisi demikian, saya sebagai manusia merasa hasrat mengejar hal-hal produktif adalah sesuatu yang kadang juga harus ditinggalkan dan tak dipikirkan sama sekali.
Bagaimanapun, manusia memang kadang menemukan kebahagiaan bukan dari hal-hal besar, tapi dari hal-hal sepele yang boleh jadi merupakan rutin keseharian kita. Saya beruntung sudah membuktikan hal itu. Saya berharap, Anda sekalian membuktikan hal itu juga.
Sukoharjo, 5 Desember 2007
Haris Firdaus
4 comments:
I believe I can Fly.... I believe I can touch the sky. wuih itu lagu keren bgt ris, sayang aku tdk nonton malam itu. malam itu memang hujan ya kota kita, jadi lebih enak tinggal di rumah. lagu itu pasti pas dinyanyikan mike yg gendut dan kalem..lagu itu justru liriknya ngaduk emosi , krn menyentuh bgt bila kita rasakan sampai jauh dlm hati, menyemangati kita utk terus menyatakan impian, seperti nama blogmu ini, rumah impianmu RIs..
acara tv juga ada ko yg menarik misal oprah show di metro, biography di metro, acara jelajah alam itu juga lumayan.
lho sori RIs, perasaan aku sent comment yg itu utk tulisanmu yg kemarin "MIke yang terbang", tapi ko masuknya ke tulisan baru. kmen sent nya mmg susah..
utk tulisan yang baru hal sepele yang membuat bahagia. aku suka tema itu . memang kadang kita menemui kebahagiaan justru pada hal kecil. mungkin karena waktu kita merasakan bahagia di hal sepele itu disebabkan kita tak punya beban blas ketika sedang menikmati segelas air putih dan kue sederhana. dan obrolan dengan sahabat. pointnya karena kita ngobrol dg sahabat kali. keadaan itu aku paradokskan dengan misal ketika aku sedang menghadiri pernikahan tetangga yg kbtulan saudaranya shela on 7, di resepsi itu semua makanan ada. ada kebab, ada dimsum, kalkun dll. aku kenyang dan bisa coba makanan baru yg belum pnah kucicipi sebelumnya. tapi apakah aku bahagia? jawabannya wah belum tentu. senang iya, tapi bahagia itu beda ya. karena di resepsi aku dan kita biasanya tetap ada beban kan. datang aja kalau perempuan mesti dandan, paling tidak dia nggak mungkin kan pakai oblong dan jeans. kemudian meski banyak makanan dan bebas makan, tapi dengan ribuan org yg tdk semua kita kenal kan jadi beda dengn kita berbincang dg teman dekat dan suguhan ringan yg tdk membebani, juga dg pakaian kita sehari-hari misal kaos yg juga ringan di tubuh kita, akhirnya ringan di perasaan kita. kalau saya pernah melakukan satu hal kecil yg membuat ku bahagia, ktika aku naik motor di jalur bus tepatnya di depan samsat, udara panas, tak sengaja aku melihat satu bambu utk spanduk iklan yang berdiri, spt bendera2 salah satunya ambruk. saya melihatnya dg agak risih , krn meski jatuhnya masih dipinggir tapi akan mengganggu jalan. waktu itu situasi panas, org malas keluar rmh seharusnya, tapi aku ada perlu. dan melihat bambu itu aku terus balik lagi utk menyingkirkannya. sebetulnya malessss bgt utk berhenti krn memang siang begitu terik, dan juga bisa krn malu dilihat org.aku anggap itu hal kecil yg membuatku bahagia, krn bisa mengalahkan rasa males dan malu. setelah itu rasanya entheng aja melangkah. meski tak seorangpun tahu.
satu lagi yg kuingat, hal kecil yang bisa membuatku bahagia. kemarin pelek motorku hondaku yg asli telah keropos dan minta diganti. aku ganti di bengkel kawan, krn banku sering bocor kalo pelek itu tak diganti, sdh berkali-kali kebanan, maka aku ke bengkel kawan, t4nya jauh sih di SKh, kupikir aku melakukan hal kecil yg membahagiakan krn bengkel kawan sendiri bukan yang lain. terus setelah pelek diganti, aku wanti2 dg kawanku pelek bekasnya mau kuminta "utk hiasan instalasi seni", aku agak malu juga memintanya, sebab bisa disangka pelit kan brg sdh bekas diopeni. tapi aku tak peduli dg perasaan ku sendiri . krn mmg bgr itu sampai di rumah kugantung didinding cukup indah sebagai benda seni, dilihat dari sisi yg lain. settelah berbulan-bulan aku tdk memikirkan pelek bekasku lagi, aku menempatkan didinding diats rak sepatu, yg jarang kulihat, kalopun aku melihat juga tanpa perasaan lagi. suatu hari ada anak tetangga, namnya fadilah sekolah di sd djamaatul ikwan. dia meski anak kecil, tapi bisa dibilang aktivis kecil masjid. dia datang dg kawannya, meminta aku memberikan dia satu barang bekas apa saja. aku msh terbengong menatap anak itu, sbb dia hampir belum pernah ke rmh. buat apa barang bekas itu dk? tanyaku. katanya utk dijual trus disumbangin ke anak yatim. aku msh bingung dg brg bekas , tapi aku langsung berpikir cepat pada pelek bekas yg ternyata berat itu , segera kucopot dg gerakan impulsif dan kuserahkan ke anak perempaun yg berdiri di pintu belakang rumahku.
aku senang tema tulisanmu ini, kita semua juga pernah mengalami. misal makan nasi lodeh dan ikan asin yg dikasih dari tetangga yg sdg ada rewangan, rasanya enaakkk bgt melabihi pizza hut dan semua masakan mewah yg pernah kurasakan. kebetulan yg punya gawe tetanggaku itu keluarga sederhana.
terima kasih, mbak. mngkn emang lg eror komentarnya. wah, benar lagu mike itu emang romantis abis........ sy suka sekali...
sy suka kick andy jg..acara tv lainnya membosankan. kecuali film2 asing nya. he2
hal2 kecil emmang luar biasa kadang. manusia kan bukan makhluk yang mesti takluk terus2 an dg hal2 besar. sy sepakat ma km, mbak...
Post a Comment