Berderap

>> Wednesday, May 9, 2007




Bererap dan melaju, menuju Indonesia baru
Singsingkan lengan baju, singkirkan semua musuh-musuh

Rakyat pasti menang melawan penindasan
Rakyat kita pasti akan menang

Rakyat pasti menang merebut kedaulatan
Rakyat kita pasti akan menang.

Larik-larik kalimat di atas adalah sebuah lagu. Sebuah lagu yang saya tak tahu persis judulnya namun saya hafal liriknya. Pertama kali saya berjumpa dengan lagu itu adalah ketika masa orientasi mahasiswa baru di kampus saya. Saat itu, saya yang mahasiswa baru, diajari menyanyikan lagu itu sambil memakai jaket almamater, dengan tangan terkepal, dan semangat yang menyala.

Saya kemudian tahu: lagu itu adalah salah satu lagu penyemangat demonstrasi. Saya menduga, lagu itu diciptakan ketika demonstrasi menentang orde baru marak dilakukan. Dari liriknya kita bisa melihat sebuah harapan, sebuah semangat, sebuah optimisme. Harapan, semangat, dan optimisme: ketiganya dibutuhkan dalam sebuah demonstrasi. Tapi ketiganya, terkadang, menampik rasa ingin tahu yang rewel.

Demonstrasi adalah sebuah paradoks: ia alat yang kerap digunakan buat mengkritisi sesuatu, tapi demonstrasi dalam pelaksanaannya menampik rasa kritis. Tak pernah ada seorang peserta demonstrasi yang mengacungkan tangan lalu bertanya pada korlap atau orator demonstrasi yang ia ikuti: ”Benarkah omongan Anda?” Benar bahwa demonstrasi adalah sesuatu yang telah jauh dipersiapkan, sehingga pertanyaan rewel macam demikian harusnya sudah dijawab sebelum aksi dilakukan. Tapi, bukankah sering dijumpai peserta demo yang tak paham agenda demo yang diikutinya?

Pada akhirnya, demonstrasi menghendaki rasa kompak dari massa. Demonstrasi bergantung pada ”rasa patuh” peserta aksi pada korlapnya. Kenapa demikian? Sebab demonstrasi adalah sebuah aksi massa yang selalu membutuhkan kesatuan. Rasa satu, rasa kompak itu, berguna untuk menekan pihak yang jadi lawannya, dan mengatakan pada mereka: ”Ini lho, kami yang kompak, sekarang menentang anda!”

Maka, saat demonstrasi dan lagu yang liriknya saya tulis di atas dinyanyikan, tak ada yang bertanya dan protes soal lagu itu. Tak ada yang bertanya, ”Benarkah setelah kita berderap dan melaju, Indonesia baru akan bisa kita tuju?” Bahkan tak ada yang bertanya, ”Seperti apa Indonesia baru itu?” Juga, ”Benarkah rakyat pasti menang? Kenapa rakyat bisa menang?” atau malah, ”Siapakah yang dimaksud ’rakyat’ dalam lagu itu?”

Deeret pertanyaan itu adalah sebuah bukti betapa propaganda sebenarnya banyak mengandung unsur ketidakjelasan. Ia selalu bicara dalam bahasa yang umum, tidak rinci, mudah dipahami, tapi tak pernah jelas implementasinya. Ya, dalam sebuah aksi, memang tak perlu membangkitkan rasa kritis massa. Yang perlu adalah membakar semangat massa dengan kata-kata bersayap, dengan harapan-harapan yang melangit, atau caci maki yang keras, agar mereka merasa terdorong berbuat, merasa telah melakukan sesuatu yang benar.

Tapi, kini, sembilan tahun setelah Soeharto tumbang dan lagu di atas telah dinyanyikan ribuan kali, benarkah ”Indonesia baru” telah datang? Sulit menjawabnya. Sebab tak pernah ada yang benar-benar baru dalam sesuatu. Tapi demikian pula tak ada sesuatu yang sebenarnya sama persis dengan masa lalu. Di sini, persoalannya, benarkah ”kebaruan” yang didendangkan sudah sesuai dengan tingkat yang diharapkan? Para politisi bisa menjawab itu. Tapi para aktivis akan berteriak: rakyatlah yang harus menjawab.

Rakyat? Siapakah mereka? Goenawan Mohamad banyak menulis tentang kata ”rakyat” yang tak pernah bisa diidentifikasi. Sama dengan kata ”publik” yang juga tak jelas. Kita tahu, ”rakyat” adal;ah sebuah kata pusaka setelah reformasi bergulir. Tiap kelompok mengatasnamakan kata itu. Tapi, siapakah ”rakyat”? Benarkah ia bisa hadir dalam wujud yang kompak, utuh, dan selalu konsisiten? Kecuali dalam Pemilu, bisakah ”rakyat” dihadirkan suara aslinya?

Saya kira tidak. Sebab kata ”rakyat” hampir selalu diacu pada massa yang berdemonstrasi. Kata publik, diacu pada orang-orang yang terekam di media massa. Kalau “suara rakyat” sering dipakai dalam jargon demosntarsi, kata “opini publik” mengacu pada pendapat orang-orang yang jumlahnya sedikit yang punya akses ke media massa. Maka, sungguh sulit sebenarnya menerima “rakyat” sebagai kesatuan yang utuh dan punya pendapat yang bulat.

Maka, siapakah “rakyat” yang “pasti menang melawan penindasan”? Siapakah ”rakyat” yang ”pasti menang merebut kedaulatan”?

Sukoharjo, 8 Mei 2007
Haris Firdaus

2 comments:

Anonymous May 10, 2007 at 2:31:00 AM GMT+8  

salam kenal mas haris. belum lama ini saya bertemu dengan mas Ridho dalam sebuah acara diskusi puisi di Sastra Undip Semarang. Saya tahu tentang Pawon darinya. Titip salam buatnya.

oh ya, anda bergiat juga di persma ya, gimana kabar teman2 di sana. saya juga aktif di LPM Hayamwuruk.

Haris Firdaus May 14, 2007 at 11:31:00 PM GMT+8  

oh njenengan orang semarang ya? wah salam kenal juga. saya bergiat di LPM VISI FISIP UNS.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP