Angka

>> Friday, March 30, 2007

Di Amerika Serikat, konon angka 21 adalah angka yang “keramat”. Bukan bagi mereka yang telah uzur, tapi bagi anak-anak mudanya, apalagi yang baru saja memasuki umur 21. Konon hal ini karena pada umur 21, anak-anak muda di AS telah mendapatkan sebuah kelegalan untuk memasuki sebuah klub, semacam tempat hiburan malam. Dalam sebuah tulisan yang pernah saya baca, anak-anak muda di AS akan merayakan dengan sebua pesta yang besar-besaran jika mereka telah menginjak usia itu.

Tradisi ini barangkali menggambarkan soal hura-hura yang jadi bagian hidup yang penting di AS. Apa pentingnya sebenarnya memeringati sebuah angka? Apalagi kalau kemudian angka itu hanya berarti kita boleh memasuki suatu tempat? Seorang filsuf barangkali akan menjawab, ”Tak ada yang penting dalam hal semacam itu.” Tapi kita tahu, anak muda tak pernah peduli soal filsafat apalagi pada filsuf.

Maka, di Indonesia, kita kemudian melihat hal yang hampir serupa. Bukan pada angka 21, tapi pada angka 17. 17 tahun adalah suatu mitos yang entah diciptakan oleh siapa, hingga angka ini akhirnya jadi sebuah tradisi dari kaum muda yang kita yang mencoba ”manjiplak” barat dan jadi bagian dari sebuah tradisi yang disebut ”modern”, ”gaul”. Maka, kita tahu, seorang remaja yang berusia 17 tahun biasanya akan mengumbar uang buat mencari sebuah kesenangan. Merayakan sesuatu yang semu, sebuah mitos yang hanya ada di kepalanya. Seolah angka 17 yang melekat di umurnya, berarti bahwa ”sesuatu yang hebat telah terjadi”.

Tapi, benarkah ada ”sesuatu yang hebat” pada angka? Pada dasarnya angka hanya sebuah tanda yang akan ”kosong” jika tak diberi makna. Angka, kalau kita percaya pada semiotika ala De Saussure, hanyalah sebuah ”penanda”. Makna dari sebuah penanda—yang disebut petanda—ditentukan secara arbitrer (sewenang-wenang) oleh masyarakat yang memakai petanda itu. Dan kita kemudian tahu, ada banyak hal yang tak logis dalam hubungan antara penanda dan petanda itu.

Persoalan angka adalah salah satunya. Angka 21 (barangkali) adalah simbol kebebasan sekaligus kedewasaan di AS sehingga perlu disyukuri (dirayakan?) secara berlebihan. Juga angka 17 di Indonesia yang seperti menandakan sebuah angka yang dilingkupi simbol romantis dan sebuah fase transisi dalm diri manusia. Semua itu tak bisa dilihat dalam sebuah hubungan yang logis. Maka bagi mereka yang sadar soal ketaklogisan itu, perayaan angka adalah perayaan yang sebenarnya tak perlu, dan mungkin saja ganjil.

Sebab angka sebenarnya terus berjalan, dalam satuan yang kita sendiri kadang tak pernah mau mengukur. Dan proses juga demikian: menggelinding bak sebuah roda dalam jalanan yang licin dan halus. Maka, tiap angka yang berlalu dari usia kita adalah sebuah proses, sebuah kejadian, sebuah ingatan. Dan tak salah melakukan sebuah refleksi, sebuah penengokan kembali, sebuah pertanyaan yang diaju ulang.

Tapi ketika refleksi jadi ”tradisi”, maka kedangkalan yang hadir. Sebab tiap ”tradisi” yang tak kita paham arti penting sebenarnya, selalu mengandung pemaksaan. Ia mendatangi kita dengan sebuah kelebihan yang mebuat kita silau, dan bertekuk lutut. Maka, refleksi pergantian umur atau pergantian tahun misalnya, menjelma jadi pesta dengan kembang api dan sorak sorai badut penghibur yang hiruk pikuk. Di sana, refleksi yang ”sepi” tak terjadi. Yang ada hanya sebuah tradisi yang hingar bingar dengan tatap mata bahagia yang sebenarnya rapuh.

Maka ketika tradisi membuat semacam ”resolusi tahun baru” menggejala, saya masih saja bingung dengan penggunaan kata ”resolusi”. Ternyata ini sebuah trend, sebuah kecenderungan dari semacam ”mode hidup”. Alangkah membingungkannya. Alangkah dunia kita makin dibawa pada sesuatu yang seringkali dangkal tapi memikat, kosong tapi memesona.

Dan manusia dasarnya adalah makhluk yang gampang terbujuk, gampang terpikat. Sejarah pertama telah membuktikan: Adam yang digoda setan, Qabil yang membunuh Habil. Lalu kita tahu, kita pun demikian. Malah lebih parah. Sebab keterpikatan kita bukan oleh setan lagi (semacam simbol kejahatan yang abadi). Tapi keterpikatan pada yang indah tapi tak kita pahami maknanya. Keterpikatan itu, oleh beberapa orang, sering dianggap sebagai bagian dari sebuah kerja mesin besar yang juga tak terlihat. Sebuah ”mesin hasrat”, kalau kita mau memakai kata-kata para intelektual yang seringkali genit itu.

Dunia ini, konon telah dikuasai sebuah ”mesin hasrat” yang datang dari sebuah penjuru. Ia memakai topeng dengan banyak ragam yang sulit buat diurai. Ia menciptakan mitos, menciptakan petanda pada penanda. Ia tak lagi menggunakan proses fisik, tapi “proses kebudayaan”: sebuah proses yang menghunjam kesadaran kita yang rapuh. Dan simbol-simbol yang molek, yang mulus, yang ganteng dan cantik, merekalah yang menggoda kita.

Jadi, mana tahaaaan?

Sukoharjo 28 Maret 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP