Terancam

>> Tuesday, February 13, 2007

Sore itu, setelah beberapa hari hujan mengguyur Solo dan sekitarnya, akhirnya saya tahu bahwa hujan bisa juga dianggap sebagai nikmat. Di teras rumah, saya duduk sambil minum teh dan merenung menikmati semilir dingin dan bau khas yang dibawa hujan hari itu. Betapa nikmatnya suasana itu. Betapa saya menikmati dan menganggap hujan bukan sebagai sebuah “ancaman”, tapi sebagai sesuatu yang menentramkan.

Hujan cukup deras dan seandainya saya tidak sedang berada di rumah, mungkin saya tak akan menganggap hujan sore itu nikmat untuk direnungi. Atau, kalaupun saya di rumah tapi sedang ada rencana untuk pergi, maka tentu hujan sore itu adalah sebuah hambatan. Tapi dalam kondisi sore itu, sore yang hujan adalah sore yang penuh inspirasi. Duduk sambil memandang deraian air yang dengan cepat turun dari atas yang tak terlihat pucuknya, membuat suasana hati begitu nyaman dan bahkan saya tergerak membuat sebuah puisi. Sedikit sentimentil? Mungkin saja.

Tapi sebenarnya saya ingin menunjukkan paradoks dalam hujan. Kita tahu—dari berita media massa—hujan di Jakarta telah melumpuhkan kota yang punya hasrat jadi raksasa itu. Di sana, hujan begitu deras hingga sungai dan tanah tak mampu menampung sehingga ia lari ke rumah-rumah penduduk mencari ruang, mencari teritori buat menampung diri. Maka, kita juga tahu, ada banyak manusia yang kemudian harus mengungsi karena tentu manusia tak bisa hidup berdampingan secara damai dengan air, apalagi air yang begitu banyak. Kita juga tahu bahwa ada yang jadi korban dalam sebuah fenomena yang disebut banjir itu. Beberapa saudara kita meninggal, yang lain masuk rumah sakit, yang lain kehilangan rumah atau harta lainnya.

Di sini, membandingkan hujan di rumah saya dengan hujan di Jakarta menjadi “menarik”. Hujan di sekitar rumah saya, meskipun cukup deras, tapi tak sampai menimbulkan banjir. Di sekitar rumah saya, hujan membawa kesejukan dan bau yang khas yang bisa menimbulkan inspirasi untuk membuat sebuah puisi. Tapi di Jakarta, hujan menimbulkan banjir. Hujan merenggut korban jiwa. Menghanyutkan orang dan benda-benda. Mengapa perbedaan itu bisa terjadi? Benarkah hanya soal volume hujan yang berbeda? Atau juga soal kondisi kita dan lingkungan kita yang “menerima” hujan itu?

Mungkin karena lingkungan Jakarta yang tak lagi nyaman buat menampung air yang begitu banyak. Konon tata kota Jakarta rawan terhadap banjir. Pembangunan berbagai proyek buat menahan banjir pun terbengkalai dan ditinggalkan begitu saja berbarengan dengan ditinggalkannya isu itu oleh media. Tapi, banjir dan hujan di Jakarat barangkali terkait dengan keserakahan.

Seperti dinyatakan dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohammad di Tempo beberapa waktu lalu tentang hujan. Hujan, bagi GM, akhirnya menjadi bencana karena nafsu manusia. Ya, keserakahan manusialah yang pada akhirnya menjadikan hujan—yang merupakan fenomena alam yang biasa dan wajar terjadi—berubah jadi sebuah ancaman. Ketika banjir terjadi semua orang merinding ketakutan, tapi pernahkan kita atau sebagian kita ingat bahwa ancaman itu adalah akibat keserakahan kita?

GM benar bahwa hujan jadi ancaman akibat keserakahan manusia sendiri. Tapi, dalam bayangan saya, terkadang keserakahan terjadi karena manusia merasa “terancam”. Terancam bahwa mobilnya yang telah lima tiba-tiba dicuri orang satu per satu atau tergores mikrolet ketika tengah ada di kemacetan Jakarta sehingga ia harus berusaha buat “jaga-jaga” dengan menambah koleksinya mobilnya menjadi enam, tujun, delapan....

Orang juga bisa jadi serakah, misalnya, ketika memiliki perasaan “ternacam” bahwa uangnya yang telah milyaran tiba-tiba disita karena terbukti korupsi sehingga ia pun harus melakukan tindakan “preventif” dengan menyingkirkan semua bukti sembari terus menambah pundi-pundi. Atau rasa terancam yang sederhana: terancam tersaingi oleh tetangga, terancam kariernya didahului oleh rekan kerja, atau terancam nilainya kalah oleh temannya sendiri.

Pada akhirnya, terkadang, ada sebuah logika yang “melingkar” di sini. Sesuatu yang awalnya jadi sebab, akhirnya kemudian menjadi akibat. Tapi memang manusia adalah makhluk yang gampang terancam bahkan oleh kondisi yang sebenarnya tak terlampau “bermasalah”. Dan kadang, dalam mengatasi “ancaman” yang tak seberapa itu, kita melakukan hal yang di luar batas kewajaran. Pemerintahan Komunis Uni Soviet harus membunuh banyak sekali warganya karena perasaan “terancam”nya yang kadang hiperbolis. Pemerintahan Soeharto juga bertindak demikian terhadap mereka yang komunis atau dianggap komunis di Indonesia. Padahal, barangkali, bila tindak “preventif” itu tak dilakukan pun, keadaan mungkin masih baik-baik saja dan akibat yang lebih buruk bisa dicegah.

Dalam soal kekuasaan, juga ada sebuah logika “melingkar” dalam persoalan “ancam-mengancam”. Sebuah kekuasaan yang ditegakkan dengan menimbulkan ancaman terhadap orang ramai yang jadi objek kekuasaannya, akhirnya ia akan jadi sering atau malah selalu dalam kondisi terancam. Bahkan ketika kondisi kekuasaannya aman-aman saja. Mungkin itu memang sebuah hukum karma: orang ramai yang mereka ancam pun pada akhirnya balik mereka lihat sebagai ancaman.

Sukoharjo, 12 Februari 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP