Dari "Pesta" ke "Cinta"

>> Tuesday, February 20, 2007

Segerombolan orang berdiri berkerumun, sambil menatap dengan marah. Mereka sedang menghadapi sebuah gedung yang koyak oleh batu dan lidah api. Sebagian yang lain masih terus melempar batu ke arah-arah kaca gedung itu. Kaca-kaca itu pun tumbang satu persatu seakan pasrah menerima pukulan telak itu. Orang-orang berteriak riuh. Orang-orang mencaci ganas.

Di sudut lain, gerombolan orang mengeluarkan barang-barang berharga dengan paksa. Di kondisi yang seperti itu, hukum seakan lari entah ke mana. Apalagi segala perangkat kecilnya: satpam atau polisi, mungkin sudah lari lebih dulu. Maka yang terlihat hari itu, di sore yang mendung itu, adalah sebuah pemandangan yang buas. Seakan hari itu, manusia berhak marah entah pada siapa, berhak kecewa entah karena apa, dan bebas berbuat apa saja.

Benar-benar sebuah minggu yang riuh pada sekitar Mei 1998 di Solo. Ketika huru-hara demonstrasi mahasiswa berbuah kericuhan dengan aparat, tiba-tiba massa dengan jumlah ribuan datang entah dari mana dan dengan tujuan apa. Mereka tak menampakkan sebuah visi yang jelas. Sampai di tengah kota, mereka mengamuk, melempar toko, membakar ban bekas, dan mengepulkan api di atas tembok gedung-gedung. Kerusuhan rasial juga mulai terdengar. Orang-orang Cina tiba-tiba jadi sasaran. Banyak pemukiman pecinan menutup diri dan menyewa pejaga. Toko-toko dan rumah buru-buru menulisi temboknya dengan “pribumi asli”, “Jawa asli”, atau “muslim”.

Saat itu, kategori bahkan lebih penting dari nyawa, dari kemanusiaan. Mengingat itu saya ngeri. Apalagi bahwa saya melihat semua itu dengan keluguan anak berumur 12 tahun. Saya ingat suatu hari, sepulang sekolah, karena tak ada bus atau angkutan umum yang beroperasi, saya dan beberapa kawan memutuskan pulang dengan berjalan kaki. Di tengah chaos saat itu, berjalan kaki tentu bukan sebuah pilihan yang “baik”. Tak ayal, saya melihat sendiri dengan ketakutan yang tak mengerti, semua kekacauan itu: api, batu, caci, dan peluru.

Mengingat itu, kemudian membandingkan dengan Solo yang sekarang, saya menjadi lebih tenteram. Solo yang sekarang adalah sebuah Solo yang penuh dengan warna-warni “pesta kebudayaan”. Tahun lalu, Bengawan Solo Fair digelar, Festival Bonraja diadakan, Festival Kraton Nusantara diselenggarakan di Solo. Acara-acara kesenian bermekaran di kantong-kantong penting kota ini. Di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) misalnya, hampir tak ada bulan yang terlewat tanpa acara kesenian. Diskusi sastra, pembacaan puisi, peluncuran antologi, pentas musik tradisonal, pentas teater sampai pameran seni rupa dan seni grafis rutin digelar. Meski dengan peminat yang masih terbatas, acara-acara itu toh saya yakin mampu mendapat penggemar yang lebih luas.

Solo juga bukan kota yang rasialis lagi. Apalagi tahun ini, pesta ulang tahun Solo yang ke 262 berbarengan dengan Peringatan Imlek. Ramai dan gegap gempita peringatan hari lahir Solo dibarengi dengan “merahnya” perayaan Imlek. Dalam Kirab Budaya dalam rangka HUT Solo yang ke-262 kemarin, sekelompok masyarakat Tionghoa bahkan ikut dalam kirab bersama Walikota Jokowi, Pasukan Kraton Solo, dan berbagai institusi lain di Solo.

Animo masyarakat menyaksikan Kirab Budaya juga luar biasa. Saya ada di antara ribuan warga yang menonton Kirab Budaya yang dilaksanakan 18 Februari kemarin (tepat dengan hari Perayaan Imlek). Antusiasme yang begitu besar bahkan sudah terlihat sejak beberapa jam sebelum Kirab Budaya itu mulai. Warga berkumpul di pinggir-pinggir jalan sambil menggendong anak dan membawa saudara di tengah matahari yang cukup panas. Mereka menanti dengan harap.

Sekitar jam tiga kurang sepuluh menit, kirab mulai memasuki tempat saya menonton—beberapa meter sebelum Stadion R. Maladi. Diawali dengan rombongan Pemadam Kebakaran yang menyemprotkan air ke jalan aspal untuk mengurangi terik, kirab disusul dengan rombongan Pasukan Pengibar Bendera Surakarta yang membawa ratusan bendera merah putih. Walikota Jokowi dan wakilnya kemudian menyusul dengan tumpangan sebuah kereta kuda. Memakai pakaian adat Jawa, Kokowi dan Rudy melambai sambil tersenyum ke arah warga yang melihat pemimpin mereka. Sebuah pemandangan yang sebenarnya klise tapi tetap membuat memori tersendiri bagi saya.

Berturut-turut kemudian adalah rombongan Kraton dengan prajurit, gamelan, pusaka, kendaraan pusaka, dan bahkan kandang hewan milik Kraton juga dibawa. Setelah itu giliran rombongan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang unjuk kebolehan. Dengan beberapa rombongan yang memakai kostum yang berbeda-beda, rombongan ISI Solo terlihat sangat menopnjol. Apalagi dengan sebuah kapal besar dengan wajah raksasa di bagian mukanya, rombongan ini terlihat begitu “nyeni”. Sesekali rombongan ISI Solo juga menabuh gamelan—tentu dengan berbagai aransemen yang dipadukan dengan musik modern—yang membuat penonton ikut “bergoyang”.

Rombongan kirab terus berlanjut dan ditutup dengan dua buah truk besar yang menyajikan musik secara live di atas truk. Yang pertama adalah barisan Orang Indonesia (OI) yang merupakan barisan penggemar Iwan Fals. Yang kedua adalah penyanyi Ian Kasolo yang diiringi band lokal—yang tentu saja membawa lagu-lagu Radja.

Begitu meriah pawai itu. Begitu hingar bingar. Dan begitulah Solo yang sekarang. Meski saya juga sedih karena deretan mall yang mengghinggapi kota ini juga tumbuh dengan begitu subur. Tapi, keragaman dan warna-warni “pesta kebudayaan” selalu menimbulkan daya tariknya sendiri. Alangkah bahagianya pula, bila “pesta kebudayaan” semacam itu tak hanya menjadi sekedar “pesta” tapi juga mampu menumbuhkan sebuah kecintaan dan penghargaan masyarakat pada budaya, pada kesenian.

Sukoharjo, 19 Februari 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP