Nama aslinya Saddam Husein, tapi ia sering dipanggil Kastro. Ia seorang ABG, masih SMA, rumahnya tepat di muka rumah saya. Sangat mungkin ia dilahirkan semasa Perang Teluk sehingga ayahnya yang nge-fans berat dengan Presiden Irak Saddam Husein memberikan nama persis dengan sang presiden. Seperti lazimnya ABG, Kastro selalu ingin tampil beda: ia gemar memakai busana hitam-hitam, kaos dengan tulisan tak jelas yang kelihatan sangar, potongan rambutnya gondrong di bagian belakang dan cepak bagian depan.
Pada suatu hari, saya melihat Kastro sibuk berbicara melalui handphone. Di dekatnya ada seorang kawannya yang masih sekampung dengan saya. Saya duduk cukup dekat dengan Kastro sehingga bisa tahu bahwa ia bicara dengan seorang perempuan—juga masih ABG. Kawan cowok di sebelahnya, namanya Nuri, tampak antusias mendengar percakapan Kastro dan teman ceweknya. Kadang Nuri memberi komentar, atau ikut dalam percakapan. Ia beberapa kali meminta handphone supaya bisa berbicara dengan sang cewek di seberang. Ternyata, Nuri dan Kastro memang bicara secara bergantian dengan cewek yang kalau tak salah namanya Mawar itu. Saya mendengar cukup lama obrolan mereka dan tahu: ketiganya sebenarnya hanya saling kenal via handphone. Entah dengan cara bagaimana, Kastro atau Nuri mendapatkan nomor Mawar lalu mengajkanya berkenalan. Mawar menyambut ajakan itu sehingga terjadilah percakapan panjang penuh gelak.
Perkenalan nonfisik via handphone yang dilanjutkan percakapan panjang itu bisa terjadi karena Kastro atau Nuri baru saja membeli kartu perdana merek tertentu yang, kala itu, sedang menggelar promosi besar-besaran melalui pemberian tarif telepon sangat murah. Tarif bicara sesama operator hanya Rp 1 per menit. Untuk ukuran Indonesia, tarif itu sangat murah sehingga Kastro pun membeli kartu perdana dan secara iseng menelepon nomor handphone yang menggunakan operator sama. Mujur ia bertemu ABG perempuan bernama Mawar dan kemudian mereka berkenalan.
Saya tertarik dengan aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar, karena obrolan mereka, menurut saya, dipenuhi hal menarik yang mungkin bisa disebut sebagai karakter percakapan iseng para remaja. Pertama, jelas hubungan pertemanan mereka hanya terjadi melalui kontak nonfisik. Bisa jadi obrolan mereka ini akan menjadi awalan bagi pertemuan fisik, tapi saya kira pertemanan mereka hanya akan tetap terjadi lewat handphone. Ini pun masih dengan syarat: operator seluler yang sedang mereka pakai masih memberikan potongan harga yang cukup besar sehingga bisa dijangkau secara ekonomi oleh mereka.
Kedua, ketiganya menggunakan nama samaran saat berkenalan. Kastro tidak menyebutkan nama aslinya, bukan pula julukan akrabnya. Ia menyebut nama lain yang agak beken, seperti Diki. Nuri juga demikian. Nama Mawar yang disebut sang cewek sangat mungkin juga hanya samaran. Dari sini, kita tahu: mereka sebenarnya tak pernah benar-benar ingin mengenalkan diri. Nama samaran adalah sebuah pertanda bahwa mereka tak sungguh-sungguh ingin berteman—dalam artinya secara klasik.
Ketiga, isi percakapan mereka benar-benar hanya merupakan hal remeh yang bagi orang dewasa bisa membikin ketawa. Sepanjang puluhan menit dialog, mereka hanya mempercakapkan hal-hal umum semacam sekolah, alamat rumah, aktivitas yang sedang dilakukan. Selebihnya pertanyaan-pertanyaan macam ini: “Sudah makan belum?”; “Baru ngapain?”; atau “Sudah punya pacar belum?”. Karena sejak awal perkenalan mereka dibangun dengan nama samaran, saya curiga bahwa data-data pribadi yang mereka sebutkan sebenarnya juga palsu.
Keempat, percakapan yang mereka lakukan tak mengenal waktu dan tempat. Mereka bisa bercakap kapan saja, asalkan tarif telepon masih sangat murah. Kastro dan Nuri juga tak bercakap-cakap di tempat-tempat privat, semisal kamar atau rumah. Saya bertemu dengan mereka di masjid dan mereka dengan santai melakukan percakapan dengan Mawar. Saat saya berada dalam satu mobil dengan mereka, kala itu kami sedang sama-sama menuju pernikahan kawan kami, Kastro dan Nuri pun tanpa rikuh terus bercakap-cakap via handphone. Padahal ruang mobil yang sempit membuat obrolan mereka bisa didengar oleh semua penumpang mobil lainnya. Tak terlihat bahwa mereka berusaha menyembunyikan isi ibrolan mereka. Bahkan, sangat sering mereka memakai load speaker di handphone mereka sehingga suara Mawar juga bisa jelas terdengar oleh orang lain dalam mobil.
Kelima, ini yang membuat saya ngakak dan menurut saya benar-benar orisinal dari mode obrolan mereka: di sela-sela pembicaraan, Kastro atau Nuri akan meminta Mawar menyanyikan lagu apa saja yang ia bisa. Saya mulanya menyangka Mawar akan menolak, mungkin ia malu. Nyatanya tidak. Dengan suaranya yang tak pas, dan percaya diri yang luar biasa tinggi, Mawar mulai mendendangkan sebuah lagu dangdut yang saya tak hafal judulnya—sesungguhnya, lirik lagu itu juga baru saya dengar kali pertama saat itu. Saya geleng-geleng kepala mendengar nyanyian itu dan tak habis mengerti: apa sih tujuan Kastro dan Nuri meminta Mawar menyanyi? Sebagai hiburan? Sekadar keisengan atau lucu-lucuan?
***
Saya tertarik mengamati bagaimana Kastro dan Nuri melakukan percakapan dengan Mawar karena aktivitas mereka adalah satu eksemplar misal tentang bagaimana hasrat berteman yang dimiliki para remaja berhubungan dengan teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi, seperti handphone, bukan barang yang asing dengan mereka. Para remaja membawanya ke mana-mana, kadang mereka berlomba unjuk handphone di hadapan sesama remaja.
Dalam kasus Kastro dan Nuri, handphone adalah sarana yang bisa memuaskan hasrat iseng mereka akan hubungan dengan lawan jenis. Para remaja adalah figur yang mulai punya keterterikan secara konsisten dengan lawan jenis. Mereka mulai belajar bagaimana menjalin hubungan, bagaimana memulai perkenalan, atau membuka obrolan. Mereka membutuhkan pelampiasan: hasrat berhubungan itu dalam waktu tertentu harus disalurkan.
Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung ingin menjalin hubungan serius, remaja menginginkan hubungan yang penuh petualangan dan keisengan. Mereka sama sekali tidak serius. Bukan hasil akhir hubungan itu yang penting bagi mereka. Alih-alih tertarik dengan hal itu, mereka lebih terangsang dengan hal-hal iseng, seperti berkenalan dengan orang-orang baru, menjalin percakapan dengan lawan jenis tak dikenal, atau semacamnya. Tampaknya, mereka menyukai proses perkenalan dengan orang-orang baru karena hal itu menantang, membuat penasaran. Tujuan utama perkenalan itu jauh dari motif mencari pasangan yang serius dan sebagainya.
Hal semacam itulah yang membuat Kastro dan Nuri berani menelepon sebuah nomor tak dikenal, lalu mengajak sang empunya nomor berkenalan. Hasrat berteman yang dipenuhi keisengan itu pula yang menyebabkan Mawar menerima ajakan perkenalan dari Kastro, tak peduli bahwa cowok yang mengajaknya kenalan hanya sekadar iseng. Kastro iseng, dan Mawar juga sangat mungkin hanya iseng.
Belum lama ini, saya kembali teringat dengan model keisengan Kastro dan Nuri saat membaca Rubrik SMS Gaul di Harian Solopos Edisi Minggu. Solopos adalah koran yang mendominasi di wilayah Solo dan sekitarnya sejak 1998, saat kerusuhan melanda Solo. Tiap Minggu, Solopos punya halaman khusus remaja berisi beberapa rubrik seperti puisi, wawancara, curhat, dan artikel mengenai dunia remaja—semuanya ada di dua halaman bernama Gaul. SMS Gaul adalah bagian dari halaman itu, merupakan rubrik berisi pesan singkat dari para remaja yang berisi berbagai hal. “Punya unek-unek atau mau mengirim pesan ke teman-teman, sampein aja lewat SMS Gaul,” begitulah isi pengumuman singkat di bagian atas rubrik yang kemudian disusul dengan cara pengiriman pesan.
Sejak lama saya mengacuhkan rubrik itu tapi beberapa waktu lalu entah kenapa saya membaca rubrik itu dengan agak teliti. Saya menemukan, rubrik itu memang banyak berisi ucapan yang ditujukan kepada kawan dari si pengirim—mirip dengan model “salam-salam” via radio—dengan bahasa gaul yang kadang di luar nalar. Salam-salam semacam itu sebenarnya lucu jika disampaikan via koran karena pesannya jelas akan lebih lambat diterima orang yang dituju ketimbang jika dikirim langsung ke nomor handphone kawan bersangkutan. Model pengiriman pesan semacam ini menunjukkan, sang pengirim tak sekadar ingin memberi ucapan pada kawannya. Ia mungkin ingin numpang beken via koran, atau ingin para pembaca koran tahu bahwa ia sedang memberi ucapan pada kawannya.
Selain pesan model “salam-salam”, saya menemukan jenis pesan lain, yakni: semacam ajakan untuk berkenalan yang ditujukan kepada para pembaca anonim. Di Edisi Solopos Minggu, 15 Maret 2009, saya menemukan pesan yang dikirm oleh Choky (Sragen, HP: 085725091234): kulOnuwun....?aLOw cmua? Buat smuanya yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ, silakan sms Aq di nOmer ini..atAu buka fsQ aja di cookies_fi@plasa.com. Kta temenQ si FaCE Q mirip bojes afi. ha_x. thanks bwt Solopos, sukses teruZT..
Dilihat dari pemakaian hurufnya, pesan Choky, yang saya ketik sesuai dengan aslinya, memang tampak mencolok. Menggunakan paduan huruf besar-kecil yang tak beraturan, juga penggantian huruf tertentu pada sebuah kata—seperti “halo semua” menjadi “aLOw cmua”—pesan itu secara bentuk memang menunjukkan kecenderungan remaja sekarang yang ingin berkomunikasi secara berbeda dan terlihat “gaul”. Meski tertarik dengan model penulisan semacam itu, saya justru lebih tertarik dengan isi pesan Choky yang mengajak para (remaja) pembaca Solopos “yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ” untuk mengirimkan SMS ke nomornya atau berkenalan via Friendster.
Ajakan kenalan dan curhat yang dikirimkan Choky sebenarnya janggal sebab pesan itu dikirimkan kepada publik yang anonim, tanpa identitas. Umumnya, ajakan berkenalan kita ajukan pada sosok yang jelas, yang walau belum kita kenal, tapi jelas orangnya. Sementara, ajakan curhat biasanya hanya diajukan buat orang yang sudah kita kenal baik. Pesan Choky melabrak dua kelaziman itu. Meski demikian, model pesan ala Choky ternyata sangat banyak saya temukan di SMS Gaul. Banyak sekali remaja di sekitar Solo yang ternyata mengajak kenalan dan curhat orang-orang anonim.
Bagi saya, pesan-pesan berisi ajakan kenalan itu menunjukkan bahwa remaja sekarang memang memiliki hasrat besar untuk melakukan pertemanan dengan cara yang aneh-aneh—sebuah keisengan yang juga diperlihatkan oleh aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar. Mereka terbiasa melampiaskan hasrat itu melalui teknologi komunikasi, seperti handphone, koran, atau internet. Pesan-pesan ala Choky yang kini bertebaran di koran, sangat mungkin tidak hanya Solopos, merupakan bukti bahwa remaja memang memiliki ketertarikan terhadap hubungan dengan proses yang menantang.
Sukoharjo, 10 September 2009
Haris Firdaus
gambar dari sini
Read more...