Politisasi Mitos Pangeran Samudro

>> Saturday, June 6, 2009

Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Desa Pandem, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, identik dengan ritual ngalap berkah (mencari berkah) yang penuh kontroversi. Konon, salah satu syarat melakukan ritual di sana adalah bersetubuh dengan orang yang bukan suami atau istrinya selama tujuh kali pada tiap malam Jumat Pon atau Jumat Kliwon.

Ritual macam ini sudah berlangsung puluhan tahun sehingga nama Pangeran Samudro selalu identik dengan “ritual seks bebas” di Gunung Kemukus. Padahal, dalam kepercayaan masyarakat setempat, Pangeran Samudro adalah sosok pelindung rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Bagi penduduk kawasan Gunung Kemukus, mitos Pangeran Samudro adalah sesuatu yang penting karena melalui mitos tersebut masyarakat menemukan harapan dari keterdesakan hidup yang mendera mereka.

Bagi pemerintah, mitos Pangeran Samudro juga memiliki arti penting sehingga pada era Orde Baru pemerintah mulai “membuat” kisah tentang Pangeran Samudro yang berbeda dengan keyakinan masyarakat setempat. Pemerintah Kabupaten Sragen, melalui informasi yang tertera di dalam website resminya menyebut Pangeran Samudro adalah putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit yang memerintah di masa keruntuhan kerajaan itu pada sekitar tahun 1478. Tatkala Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Demak, Pangeran Samudro tidak ikut melarikan diri tapi justru ikut serta ke Demak.

Oleh Sultan Demak, Pangeran Samudro kemudian diperintahkan belajar Islam kepada Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Gugur. Setelah pembelajarannya tentang Islam selesai, Pangeran Samudro sempat berdakwah di beberapa tempat sebelum akhirnya meninggal di Dukuh Doyong, Kecamatan Miri, Sragen. Ia kemudian dimakamkan di sebuah bukit di sebelah barat Dukuh Doyong. Bukit itulah yang kini dikenal sebagai Gunung Kemukus.

Mitos versi Pemerintah Kabupaten Sragen ini berbeda dengan mitos yang diyakini penduduk sekitar Gunung Kemukus. Para penduduk asli daerah itu yakin Pangeran Samudro bukanlah orang yang “tunduk” dan mau bekerja sama dengan Demak ketika Majapahit runtuh. Sebaliknya, mereka yakin bahwa Pangeran Samudro justru terus melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Demak. Ia dianggap pahlawan bagi rakyat sekitar karena membela wilayah Gunung Kemukus dari serbuan Demak. Masyarakat di kawasan Gunung Kemukus juga yakin bahwa Pangeran Samudro adalah pengabdi budaya Jawa abangan dan bukan pendakwah Islam seperti diyakini Pemerintah Sragen.

Adanya perbedaan pemahaman tentang Pangeran Samudro antara masyarakat lokal Gunung Kemukus dengan pemerintah bukan disebabkan perbedaan sumber sejarah. Sebab, sumber sejarah yang sahih tentang Pangeran Samudro memang belum pernah ditemukan. Nama Pangeran Samudro bahkan tidak tercantum dalam silsilah Kerajaan Majapahit atau Demak. Perbedaan penafsiran itu, sangat mungkin lebih bersifat “politis”. Orlando de Guzman (2006: 43) menyebut bahwa pemerintah orde baru berusaha “menyesuaikan” mitos Pangeran Samudro dengan gagasan-gagasan Pancasila untuk “membersihkan” daerah itu dari pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1960-an, kawasan Gunung Kemukus memang merupakan daerah basis PKI.

Selain itu, penafsiran baru ala pemerintah juga sangat mungkin berkaitan dengan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Pengambilalihan Gunung Kemukus oleh Pemkab Sragen dan pengumuman rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo berlangsung pada tahun yang sama: 1983. Pembangunan Kedung Ombo mendapat banyak tentangan karena pembangunannya akan menenggelamkan rumah milik 5.268 kepala keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Boyolali, Sragen, dan Grobogan. Para penduduk yang rumahnya tenggelam diminta transmigrasi ke pulau lainnya dengan ganti rugi sebesar Rp. 250 (Stanley; 1994).

Beberapa desa di sekitar Gunung Kemukus juga ikut dalam wilayah yang akan tenggelam jika Kedung Ombo dibangun. Berkaitan dengan persoalan itu, sejumlah warga Gunung Kemukus menyatakan menolak melakukan transmigrasi. Penolakan itu dihadapi pemerintah dengan berbagai cara. Pemberian “tafsir baru” atas mitos Pangeran Samudro yang dilakukan Pemkab Sragen kala itu sangat mungkin berkaitan dengan rencana pembangunan Kedung Ombo. Dalam tafsir versi pemerintah, Pangeran Samudro diceritakan sebagai sosok yang bekerja sama dengan penguasa—dalam konteks saat itu adalah Kerajaan Demak—dan juga menganut sejumlah nilai yakni: (1) ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) menghargai orang tua sebagai perantara lahir manusia ke dunia; (3) selalu taat dan setia kepada negara; (4) tidak takut menghadapi kesukaran dan penderitaan dalam melaksanakan tugas; (5) seorang tokoh pendamai serta pemersatu bangsa dan selalu bertanggung jawab.

Dalam penafsiran versi pemerintah ini, terlihat kalau pemerintah Orde Baru ingin menunjukkan bahwa Pangeran Samudro adalah penganut sejumlah nilai yang bersesuaian dengan Pancasila dan juga memiliki ketaatan pada negara. Melalui tafsir semacam ini, pemerintah Orde Baru tampaknya ingin menggiring masyarakat setempat—yang menganggap Pangeran Samudro sebagai “panutan”—untuk taat pada pemerintah, terutama dalam persoalan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Hal ini makin kentara ketika pemerintah Orde Baru mulai memberi stigma pada warga yang menolak pindah dengan cap “anti-Pancasila”, “anti-pemerintah”, atau “anti-pembangunan”. Melalui pemberian cap macam itu, secara tidak langsung pemerintahan Soeharto ingin mengatakan bahwa masyarakat yang menolak pindah adalah mereka yang tidak lagi menghormati dan mencontoh sikap Pangeran Samudro.

Tapi upaya memonopoli tafsir tentang mitos Pangeran Samudro tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Justru ketika sengketa Waduk Kedung Ombo berlangsung, mitos Pangeran Samudro versi penduduk asli menjadi tambah populer (Guzman; 2006: 46). Para penduduk kala itu menganggap bahwa Pangeran Samudro adalah sosok gaib yang akan melindungi mereka dari tekanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh pemerintah orde baru.

Bagi mereka yang menolak pindah, Pangeran Samudro adalah sosok yang melambangkan kesengsaraan rakyat kecil karena kesewenang-wenangan penguasa. “Politisasi” yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap mitos Pangeran Samudro pada akhirnya tak menuai hasil yang maksimal. Masyarakat asli Gunung Kemukus, secara baik justru menjadikan mitos tersebut sebagai “pertahanan diri” guna menghadapi tekanan fisik dan represi psikologis dari pemerintah Orde Baru.

Haris Firdaus

[Versi lain tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 6 Juni 2009. Saya juga menulis kisah lengkap soal Pangeran Samudro dan Gunung Kemukus di buku Misteri-misteri Terbesar Indonesia. Gambar Gunung Kemukus saya ambil dari sini ]

Read more...

Manunggaling Musik dan Gosip

>> Monday, June 1, 2009


Salah satu jenis tayangan yang sekarang paling banyak disiarkan televisi kita selain sinteron, berita, dan infotainment adalah acara musik. Sejak kemunculan “Inbox” di SCTV pada 7 Desember 2007, acara-acara yang menampilkan video klip musik dan suguhan musik live makin menjamur. Kita bisa menyebut beberapa nama lain selain sang pionir: “Dahsyat”, “Klik”, “Derings”, “On The Spot”, “By Request”, “60 Minute”, dan “Playlist”.

Di antara semua nama itu, acara “Dahsyat” merupakan satu yang paling berhasil dari segi perolehan pemirsa. Muncul pertama kali pada Maret 2008, “Dahsyat” mengalami peningkatan yang cukup signifikan dilihat dari rating dan share. Pada Juli 2008, misalnya, angka share acara ini baru mencapai 13-14 persen. Pada Maret 2009, angka ini telah melonjak drastis menjadi 35-40 persen dengan rating rata-rata 3,2 tiap harinya. Ketika “Dahsyat” menampilkan Hilliary Clinton pada 19 Februari 2009, angka share acara tersebut mencapai 50 persen dan ratingnya mencapai lima.

Dengan angka sebesar itu, “Dahsyat” bahkan bisa disebut telah mengalahkan “Inbox” yang angka share-nya hanya berkisar pada 18-25 persen. Perolehan kuantitatif semacam ini tentu saja sangat mungkin tidak mencerminkan kualitas acara. Pada kenyataannya, isi tayangan acara-acara musik itu sebenarnya hampir sama: menayangkan video klip, mengundang grup musik populer untuk manggung live, serta ditambahi dengan request musik dari penonton.

Yang paling membedakan “Dahsyat” dengan saingan-saingannya adalah kemampuan para pembawa acaranya untuk membangun suasana santai dan penuh humor. Raffi Ahmad, Olga Syahputra, dan Luna Maya merupakan trio yang dianggap berhasil menaikkan pamor “Dahsyat”. Yang menarik, guna membangun humor dan suasana yang santai, ketiganya tak jarang memanfaatkan gosip pribadi mereka sebagai bahan obrolan dan senjata guna saling mengejek. Gosip percintaan Raffi dengan sejumlah artis perempuan, atau rumor kisah cinta Luna dengan Ariel Peterpan, adalah dua gosip yang paling sering dieksploitasi agar acara terlihat semarak.

Saat Peterpan hadir sebagai bintang tamu dalam acara itu, misalnya, gosip cinta antara Luna dengan Ariel pun langsung menjadi bahan obrolan dan ledekan yang memancing tawa penonton. Saat acara “Dahsyat Award”, Luna bahkan diminta mencium Ariel di atas panggung, di hadapan jutaan mata yang menonton siaran itu secara langsung. John Fair Kaune, produser eksekutif “Dahsyat”, dengan lugas menyatakan bahwa gosip pribadi Luna atau Raffi merupakan bumbu yang sangat tepat untuk membuat acara ini berbeda. Obrolan tentang gosip pribadi semacam itu, menurut John, ternyata mendongkrak rating “Dahsyat”.

“Menganggurnya” Pikiran
Naiknya rating dan share “Dahsyat” hanya gara-gara acara itu mengeksploitasi gosip pribadi para pembawa acaranya makin mengukuhkan anggapan bahwa gosip merupakan komoditi yang tinggi nilainya dalam dunia televisi kita. Setelah kemunculan infotainment yang gegap gempita dan tak pernah mati, perbincangan tentang wilayah privat seorang artis merembet ke tayangan musik yang sejatinya tak pernah memiliki relasi langsung dengan kisah-kisah pribadi semacam itu.

Sebuah tayangan musik seharusnya dinilai dari format acaranya dan kualitas video klip atau band yang ditampilkan dalam cara itu. Namun, kasus “Dahsyat” telah membuktikan bahwa kualitas musik ternyata tak lebih berpengaruh ketimbang gosip. “Dahsyat” adalah bukti yang tak terelakkan tentang manunggaling—atau bersatunya—musik dan gosip. Menjual gosip, dan bukan meningkatkan kualitas musik, pada akhirnya menjadi pilihan yang menggiurkan untuk menggaet penonton.
Bersatunya musik dan gosip ini juga menunjukkan bahwa masyarakat kita adalah sebuah masyarakat yang dikuasai gosip. Dari hari ke hari, pergunjingan artis dan pergunjingan politik terus-menerus hadir, dan harus diakui: sebagian besar masyarakat kita menyukai gosip semacam itu. Harus diakui pula: bergunjing merupakan aktivitas dominan dalam interaksi sehari-hari masyarakat kita.

Menurut Alfathri Adlin (2008), maraknya pergunjingan dalam interaksi sosial kita sebenarnya merupakan ekses dari “menganggurnya” pikiran karena tak mendapat “makanan” atau “pekerjaan” yang tepat. Ambil misal seorang ibu rumah tangga yang tiap harinya melakukan pekerjaan rumah selama beberapa jam. Ibu tersebut hanya memberi pekerjaan pada fisiknya, sedangkan pikirannya bisa dikatakan tak mendapat “pekerjaan” yang memadai sehingga pergunjingan tentang hal remeh temeh dengan tetangganya menjadi “pertukaran pikiran” yang tak terhindarkan. Gosip-gosip yang ia lihat di televisi menjadi tayangan yang lezat karena bisa menjadi bahan “pertukaran pikiran” dengan tetangga-tetangganya. Pada akhirnya, gosip menjadi “makanan” bagi pikiran-pikiran manusia yang tak pernah diajak untuk berefleksi tentang diri dan kehidupannya.

Filsuf Martin Heidegger jauh-jauh hari telah mengingatkan, kegemaran bergunjing akan menyebabkan manusia mengalami kejatuhan eksistensial. Kejatuhan eksistensial ini bisa dimaknai sebagai terkurungnya manusia di dalam dunia keseharian yang penuh banalitas dan common sense, tapi minus refleksi yang mendalam. Dunia keseharian yang banal tersebut selalu dikelilingi oleh pergunjingan. Pergunjingan dalam kaca mata Heidegger tidak hanya mencakup pembicaraan mengenai aib orang lain, tapi juga meliputi semua perbincangan tentang hal-hal yang tak penting, tidak substantif, dangkal, dan minim refleksi.

Pembicaraan mengenai kisah cinta Luna Maya dengan Ariel, atau riwayat asmara Rafii Ahmad dengan sejumlah artis, tentu saja masuk ke dalam kategori pergunjingan yang dikatakan Heidegger. Pembicaraan macam itu memang menarik dan kadang-kadang seru, tapi percayalah: ia tak akan menambah kapasitas kita sebagai makhluk yang berpikir dan reflektif. Manunggaling musik dan gosip dalam “Dahsyat” hanya menambah daftar panjang pergunjingan yang secara potensial—atau bahkan aktual—membuat kita sebagai manusia mengalami kejatuhan eksistensial.

Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

Read more...

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP