Banjir

>> Sunday, February 1, 2009


Sungai bisa menjadi lahan bagi olah spiritual manusia. Tapi, ia juga sebentuk tempat yang siap memangsa kita.

Saya sama sekali tak menyangka jika perjalanan spiritual Sidharta—dalam Novel Herman Hesse bertajuk Sidharta—akan berakhir di tepi sebuah sungai. Dalam seluruh periode hidupnya, Sidharta sudah ketemu dengan banyak orang suci: ia lahir dalam keluarga brahmana yang saleh, hidup dengan ritual doa yang ketat, dan laku spiritual yang tidak main-main.

Setelah beranjak dewasa, ia pindah dari padepokan ayahnya, bergabung bersama para pertapa atau samana, hidup menggelandang, dan melakukan “penyiksaan diri” dengan tidak makan berhari-hari. Bersama sahabat paling baik yang dimilikinya, Govinda, Sidharta berlatih cara-cara spiritual samana yang berpusat pada “penolakan diri”. Ia mendekati penderitaan dengan sengaja, melatih raganya supaya menyerap luka.

Tapi kemudian dia “bosan” dan akhirnya berangkat menuju pada Gotama, Sang Budha. Di taman tempat Sang Budha dan pengikutnya singgah itu, Sidharta memang terpana. Namun ia tak singgah lebih lama dan pergi mencari kesejatiannya sendiri. Kita yang telah membaca Sidharta tahu bahwa pemuda itu kemudian mengalami kehidupan sebagai seorang pedagang yang jatuh cinta pada seorang pelacur cantik. Sidharta sempat kaya raya sebelum akhirnya ia membuang semua hartanya dan singgah di tepi sungai.

Kadang saya tak memahami kenapa Hesse memilih sungai. Di antara semua simbol spiritualisme, kenapa harus sungai? Dan, kenapa pula mesti seorang pengayuh rakit yang menjadi “jembatan” meraih spiritualitas itu? Di bagian agak akhir novel itu, kita akan menemukan bagaimana Sidharta dan sang pendayung rakit yang tiap hari menyeberangkan orang itu menatap sungai lama-lama dan berusaha belajar darinya.

“Sungai mengetahui segala sesuatu; segala sesuatu dapat dipelajari darinya. Lihat, kamu sudah belajar dari sungai tentang kebaikan memiliki tujuan sederhana, tenggelam, mencari dasar,” begitu kata Vasudeva, sang tukang sampan, pada Sidharta.

Semua kalimat itu, tentu saja kiasan. Dalam novel yang dianggap sebagai salah satu karya terbaik Hesse itu, kita memang akan bertemu dengan banyak simbol dan metafora. Sungai pada akhirnya menjadi sebuah simbol juga, meskipun seluruh novel itu sebenarnya bercirikan realisme yang dibuat dengan sungguh-sungguh.

Sungai mungkin menjadi pertanda tentang sebuah tempat yang di dalamnya keabadian dan perubahan berjalan beriringan sejalan, dan kadang tak bisa dipisahkan. Sungai adalah tempat di mana kita melihat aliran air yang terus bergerak itu seolah-olah jadi konstan yang diam. Di situ, mungkin ada ilusi optik yang hampir mirip tatkala kita melihat film—yang sebenarnya terdiri dari potongan gambar-potongan gambar yang bergerak dengan kecepan sepersekian sekon.

Saat belajar dari sungai itu, Sidharta memang bicara soal “ketiadaan waktu”: bagaimana dirinya telah berlatih untuk paham bahwa sungai seolah hadir secara sama di tiap tempat yang ia singgahi. Tapi Sidharta pun tahu: sungai juga materi yang sifatnya tetap sebenarnya, ia ada di sini dan yang ada di sana sebenarnya sesuatu yang berbeda. Di situlah paradoks itu. Dan dari Sidharta, kita tahu sungai dipenuhi paradoks.

Pada satu waktu, misalnya, Sidharta seolah mendengar bahwa sungai hanya mengeluarkan satu bunyi—sebuah bunyi suci “Om”—yang menariknya untuk tenggelam berlama-lama. Tapi, pada waktu berbeda, ia justru merasa sungai meruyakkan banyak suara—bahkan “semua suara”. Paradoks itu kembali hadir, bukan?

Dalam skala yang lebih profan dan sama sekali tidak transeden, paradoks itulah yang kita temui saat mengetahui bahwa sungai juga bisa mengakibatkan sebuah bencana. Dalam iklim kita yang normal, sungai bisa menjadi penghidupan. Tapi dalam kondisi yang tak lagi sama, ia bisa beralih rupa menjadi jamban atau malah pemberi banjir.

Selama beberapa hari ini, saya yang tinggal di sekitar Solo terus berusaha waspada menyimak berita tentang perkembangan banjir akibat Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo, ah, kita semua tahu: ia adalah legenda yang dinyanyikan maestro keroncong Gesang dan melalui lagu yang amat estetis itu, nama Bengawan Solo melambung ke mana-mana. Sungai itu dapat kehormatan di banyak tempat, oleh banyak manusia.

Cuma, kita juga mafhum bahwa Bengawan Solo adalah pemberi banjir yang tak tanggung-tanggung. Tahun 2007 lalu, banjir akibat Bengawan Solo amat parah: ia merendam Kota Solo yang sejak tahun 1966 tak pernah mengalami banjir akbar. Baru-baru ini, ancaman itu seolah akan berulang sebab 12 daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur terancam terkena luapan airnya. Sejak hujan deras pada Jumat lalu, volume air sungai itu dipastikan bertambah dan sejumlah daerah pesisir sungai itu pun direndam air.

Jawa Pos mencatat ada 12 daerah kabupaten-kota yang akan terendam banjir. Daftarnya bisa dimulai dari Sukoharjo, Solo, Sragen, sampai Madiun dan Kediri. Air Bengawan bahkan sempat memutuskan jalur darat Sragen-Solo selama beberapa waktu pada Jumat malam lalu. Headline halaman utama Kompas hari ini bahkan berjudul “Bengawan Solo Meluap, Jateng-Jatim Banjir”.

Khusus di Solo, ada sekitar 11.286 keluarga yang rumahnya terendam. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, area banjir di Solo hanya berkisar di sekitar Kampung Sewu, Jagalan, Joyontakan, dan daerah bantaran lain, kali ini daerah yang ikut kebanjiran meluas. Sejumlah wilayah di Banjarsari dan Laweyan turut kebanjiran.

Di Sukoharjo, sekira 4.130 keluarga terkena luapan air. Berdasar data Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Sukoharjo, korban tersebar di Kecamatan Gatak, Polokarto, Grogol, Mojolaban, dan Kartasura. Kecamatan terakhir yang disebut dalam daftar itu adalah wilayah tempat saya tinggal.

Membaca bahwa Kartasura ikut dalam area banjir, saya agak bingung: biasanya, wilayah ini bebas dari banjir karena letaknya yang cukup tinggi dan posisinya yang agak berjauhan dengan sungai—tapi banjir memang tak melulu karena sungai. Yang jelas, terendamnya wilayah Sukoharjo amat bergantung dengan volume air Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Jika waduk itu tak lagi muat menampung air, dipastikan pintunya akan dibuka, dan basahlah area Sukoharjo yang letaknya di bawah Wonogiri.

Saya ngeri membayangkan itu. Tahun 2007 lalu, itulah yang terjadi. Saya ingat banjir pada kala itu membuat rumah sejumlah saudara dan karib saya terendam sampai se-atap-atap-nya. Pakdhe dan budhe saya yang tinggal di wilayah Sukoharjo bahkan “terjebak” di dalam kamar dan memilih tidur di atas kasur-kasur yang ditumpuk sampai beberapa meter di atas dipan. Seorang kawan dekat saya terpaksa mengungsi di sekolah tempat ibunya mengajar karena jalan menuju rumahnya telah tertutupi air.

Saya ngeri membayangkan itu. Jujur, lebih enak menjadi Sidharta yang bisa belajar dari sungai yang tenang ketimbang kita yang diharuskan menimba hikmah dari sungai yang mengamuk. Tapi, barangkali, itulah konsekuensi untuk kita yang menganggap sungai bukan sebagai kawan akrab tapi sebagai tempat sampah dan sarang kotoran alias jamban.

Sukoharjo, 1 Februari 2009
Haris Firdaus

Keterangan: gambar diambil kawan saya, Ade Rizal, di sebuah sungai di daerah Kampung Sewu, Solo, beberapa bulan sebelum banjir melanda Solo tahun 2007.

18 comments:

Anonymous February 2, 2009 at 5:02:00 PM GMT+8  

sidharta karya herman hesse, kalau ndak salah, saya pernah mbaca novel ini sekitar tahun 86-an, mas haris, hehehe ... saking senengnya, buku itu saya baca berulang-ulang. tapi entah, buku itu sekarang entah di mana. duh, saya baca berita di koran, karanganyar dan sekitarnya juga dilanda banjir. semoga saja ndak sampai berkelanjutan. alam kreatif, mas haris.

Anonymous February 2, 2009 at 6:17:00 PM GMT+8  

moga2 banjir tahun ini gak separah tahun kemaren. Bapakku juga korban soalnya tahun kemaren. Di bojonegoro

Andy MSE February 2, 2009 at 11:18:00 PM GMT+8  

capek bacanya... banyak banget tulisannya...
*sik... aku nguras banjir dulu*

Haris Firdaus February 3, 2009 at 2:24:00 AM GMT+8  

to: sawali
tahun 86, pak? wah tahun itu saya baru lahir lho. kebetulan yg pas. pasti warna sampul Sidharta waktu itu dominan hijau. sy sempat lihat versi lama novel itu. yup, semoga banjir segera reda, pak! amin

to: phery
amin3, mas. semua tentu berharap banjir gak menjadi2.

to: andy mse
monggo, mas. nguras banjir rumiyen!

Anonymous February 3, 2009 at 4:55:00 AM GMT+8  

Sungai, tenang tapi menghanyutkan. Ah, seperti seorang wanita saja :D

Sidik Nugroho February 3, 2009 at 9:36:00 AM GMT+8  

paragraf dua sampai sepuluh mirip resensi, lalu kaukombinasikan dengan apa yang terjadi di seputar solo, sukoharjo, dll. sebagai tulisan opini, menurutku ilustrasi herman hesse tentang sidharta agak kepanjangan. maaf, itu hanya pendapatku.

namun, sebagai tulisan reflektif, sangat apik kaugarap, teman. ilustrasi sidharta berpadu laras dengan kasus yang kau angkat, terutama kata-kata di bagian akhir: tentang bagaimana kita memperlakukan sungai.

salam persahabatan,
~s.n~

Anonymous February 3, 2009 at 12:12:00 PM GMT+8  

Moga cepat surut saja mas...
kasihan yang kebanjiran to, kehilangan tempat bernaung.

Anonymous February 3, 2009 at 2:06:00 PM GMT+8  

masih tentang 'air' saya lebih suka hujan ketimbang sungai. hujan bagi saya adalah kesempatan untuk berhenti sejenak. menghela napas pelan-pelan. di balik jendela kaca yang mengembun. melihat titik hujan yang jatuh satu-satu. menganak sungai di halaman.

hujan dalam banyak kebudayaan berarti rejeki. kalau mau disophisticatedkan--mas haris biasanya doyan yang beginian, he-he-he--hujan adalah penyambung peradaban bumi dengan kekuasaan langit yang dipisahkan udara. hujan ingin menyatukan semesta. meski kadang langit menahan ego. dengan menyambar-nyambarkan petir mengilat-ngilat. dan geledeknya yang nakal. ah, jadi ngelantur.

saya suka hujan, namun tidak banjirnya.

salam,
masmpep.wordpress.com

emak February 3, 2009 at 10:31:00 PM GMT+8  

solo...banjir...
salah siapa??

pemerintah??

masyarakat??

deFranco February 4, 2009 at 3:44:00 AM GMT+8  

Saat Solo dikepung banjir beberapa hari yang lalau, saya malah piknik ke kota laen, jadi agak merasa bersalah juga..halaahh..

Kowe yo kenal si Ade to? ealah cah kae yo wes tau nang kos kok...
Btw komentare Dony nggatheli, berlagak sangat memahami wanita aja, padahal...huahahahaha

Unknown February 4, 2009 at 8:15:00 AM GMT+8  

Sungai memberi inspirasi kepada kita tentang sebuah kehidupan. Mengalir dari hulu ke hilir......tanpa berhenti. Mencari jalan yang rendah. Ketika sungai tak lagi ada, yang ada hanya air dan dimana mana akan tergenang.

Unknown February 4, 2009 at 4:49:00 PM GMT+8  

aduh mas, simbah saya rumahnya di desa taji juwiring. tahun kemarin pas aku maen jg banjir tapi untung gak sampai masuk terlalu byak. cuma sempet saya nuntun motor sendirian matem2 di tengah sawah gara2 banjir. untung gak keseret. sungai pada sisi lain adalah media nyaman saat kita berkawan. di sisi lain wajah tak berupa siap mendekapmu sampai kau berkata "ya. aku kalah" semoga tak terjadi apa2 untuk Daerah2 Aliran Sungai Bengawan Solo.simbah saja juga semoga tidak kena apa-apa. jadi khawatir,..

agus raharjo February 4, 2009 at 11:45:00 PM GMT+8  

hahaha... jangan salahkan hujan donk! harusnya kita manusia yang punya pikiran dapat berpikir lebih bijak lagi. bukan lebih mengedepankan egois dan nafsu, tau deh hasilnya...
saya dapat kabar dari teman dan liat di berita, di wadukpun air masih normal, so kata siapa banjir itu datang karena waduk. banjir selalu ada karena ada air, hehehe...(ya iyalah...)
ingat ekspedisi Bengawan Solo oleh 4 sekawan Ris. masih ingat hasilnya? salah satunya adalah terjadinya pendangkalan yang terus-menerus di Bengawan Solo... karena apa? karena ulah kita sendiri. duh Bengawan Solo, Riwayatmu kini....

ciwir February 6, 2009 at 5:21:00 PM GMT+8  

banjir datang lagi...
Solo sudah jadi kota besar ya berati?
Ciri2 kota besar adalah Banjir selalu setiap tahun, lihat Jakarta, Surabaya, Semarang

joe February 6, 2009 at 11:00:00 PM GMT+8  

Setiap tahun pasti ada banjir, seharusnya kita instrospeksi, kita telah salah memperlakukan lingkungan.
Saya dulu lama tinggal di Solo, kuliah di UNS, kangen dengan Solo, pingin jalan-jalan pagi di boulevard, baca-baca di perpustakaan, atau makan hik...
Semoga Solo tidak kebanjiran...

Anonymous February 7, 2009 at 1:37:00 AM GMT+8  

entahlah..rasanya memang banjir kini seperti takdir..

Anonymous February 10, 2009 at 10:49:00 AM GMT+8  

ada yang mengganggu waktu saya baca novel siddharta versi hesse itu, yaitu terjemahannya. bagaimanapun, ajaran untuk belajar dari sungai itu sungguh mencerahkan..

Anonymous February 11, 2009 at 1:25:00 AM GMT+8  

ajaran untuk belajar dari sungai itu sungguh mencerahkan...asal tidak pakai banjir..hehe

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP