Ajakan, Ke Atas, Langit, dan Surga

>> Saturday, December 6, 2008

fiksi pertama di blog ini


1.
“Ayo ikut denganku!”

“Ke mana?”

“Ke atas.”

“Maksudamu?”

“Ke langit.”

“Ke langit?”

“Maksudku, ke surga.”

“Aku pikir-pikir dulu.”

2.
Sudah tiga kali aku mimpi semacam itu. Sebuah suara yang khas dan penuh wibawa, sebundar cahaya yang utuh menyala, dan sesosok tubuh tegap yang samar-samar. Aku kurang paham apa maksud mimpi-mimpi itu. Ajakan, ke atas, langit, surga, semua hal itu berkebalikan denganku. Ajakan berarti harapan, sedang aku bukan orang yang punya harapan. Apalagi bisa diharapkan. Ke atas berarti naik. Padahal peringkat dalam hidupku selalu menurun. Sejak kecil aku ada di bawah. Ketika remaja aku di bawah. Ketika dewasa? Tak usah kau tanya. Aku benar-benar di bawah. Terdegradasi dari sistem sosial normal yang nyaman.

Langit berlawanan dengan dunia. Sedang aku hidup di dunia. Jangankan ke langit, ke tengah dunia saja aku tak bisa. Aku ada di ambang batas dunia yang mepet. Mau berjalan ke tengah, ke daerah yang lebih hangat dan sedikit ada cahaya, aku dibuang. Dipukul, ditendang, dan diperosokkan lagi. Akhirnya, ya seperti ini. Aku kembali lagi ke pinggir sebuah dunia. Dan tengah dunia, bagiku, hanya sekedar mimpi absurd yang mewah.

Dan surga? Apa arti surga? Sebuah dunia nyaman yang penuh bidadari. Sebuah ruang mewah yang sejuk dan hangat sekaligus. Sebuah waktu di mana kita tak akan jadi tua. Sebuah peraturan di mana larangan adalah sekaligus perintah yang halal. Dan kau tahu sendiri, betapa ia berlawanan sekali denganku. Aku tak hidup dengan bidadari. Aku juga tak berada di sebuah ruang yang mewah. Dan soal aturan? Hampir-hampir tak ada aturan yang tak mengaturku. Aturan-aturan, di dunia, bagi orang semacam aku, adalah sebuah belenggu yang maha dahsyat. Ia tak lagi berarti kemudahan, akses, dan partisipasi. Justru sebaliknya: kesulitan yang berbelit-belit, sebongkah kebohongan yang luas, dan jeruji-jeruji besi yang kokoh.

Huh, aku benar-benar tak mengerti. Kenapa bisa aku mimpi sesial itu. Kenapa juga aku mesti memimpikan hal-hal yang berlawanan dan jauh dari jangkauan tanganku. Ajakan, ke atas, langit, dan surga. Bukankah itu angan-angan kosong yang maha besar?

Bagi orang seperti aku, penolakan, ke bawah, dunia, dan neraka, mungkin lebih cocok. Dengan pola hidupku yang sekarang dan kungkungan sistem sosial yang parah ini, hal-hal itu memang lebih real hadir di depanku. Sudah berapa ratus ribu kali aku mengalami penolakan. Ditolak wanita, ditolak melamar kerja, ditolak berjabat tangan, ditolak berkenalan, juga ditolak bercinta oleh istriku. Dan kau tahu berapa kali aku ada di bawah? Di bawah jembatan, di bawah telapak kaki orang yang memakai sepatu necis bersemir mengkilat, di bawah hujatan dan cacian, bahkan nikahku juga di bawah tangan. Hah, bukankah begitu cocok?

Dan apa arti dunia dan neraka untukku? Keduanya adalah dua tempat yang cocok untukku. Dunia adalah tempatku tinggal sekarang yang sama sekali tak ramah. Di sana membentang beragam kesulitan. Sebuah tempat yang tak ideal. Tapi juga tak sepenuhnya buruk. Dan konon, kata guru ngajiku di SD dulu, kita tak bakalan kekal di sana. Kita akan transmigrasi ke alam lain setelah mati. Di alam itu, ada dua ruang yang disediakan buat manusia. Dan tebak ruang yang mana yang disediakan untukku! Ya, benar. Neraka. Dan surga? Hanya tiga kali muncul di mimpiku.

3.
“Ini ajakan terakhirku. Berarti juga kesempatanmu yang terakhir. Ayo ikut denganku. Sekarang!”

“Ke surga?”

“Ya.”

“Memangnya kau siapa?”

“Jibril.”

“Itu namamu?”

“Ya.”

“Kau manusia?”

“Bukan.”

“Lalu?”

“Malaikat.”

“Oh.”

“Cepatlah! Aku tak punya banyak waktu. Kau mau ikut denganku?”

“Ngomong-ngomong, siapa yang menyuruhmu?”

“Tuhan.”

“Tuhan? Kenapa Dia perintahkan itu?”

“Kau pernah dengar tentang ‘Sayembara Langit’?”

“Belum. Ceritakan padaku!”

“Tiap seribu tahun sekali, Tuhan akan mengadakan sebuah sayembara. Semacam undian, barangkali. Ia akan memilih seorang manusia secara acak untuk di bawa ke surga. Kali ini, Ia memilihmu untuk ke surga.”

“Kenapa Ia memilihku? Bukankah aku orang yang tak pernah sembahyang?”

“Aku tak tahu tepatnya. Tapi ‘Sayembara Langit’ tak ada kaitannya dengan ketaatan. Yang jelas, aku diperintahkan membawamu.”

“Memangnya di surga ada apa?”

“Di sana kau akan diberi rumah.”

“Aku sudah punya rumah.”

“Beda. Di sana rumahmu luas, mewah, dan tak ada bandingannya. Jelas tak bisa kau perbandingkan dengan rumah reyotmu yang tak berpintu itu. Di bawah rumah itu ada sungai.”

“Di dekat rumahku juga ada sungai.”

“Beda. Di sana, aliran sungainya dari susu, kopi, teh, jus jeruk, arak dan banyak lagi. Sedang sungai di dekat rumahmu? Hah, warnanya saja hitam. Sungai di surga tak bakalan kena pencemaran, Bung.”

“Lalu ada apa lagi?”

“Di sana ada bidadari. Kau punya bagian 70 jumlahnya. Mereka bisa kau apa-apakan.”

“Boleh kuajak bercinta?”

“Tentu saja boleh.”

“Tapi apa itu tidak berarti berzina?”

“Tentu saja tidak.”

“Kenapa tidak? Apa aku harus melakukan ijab qabul dulu?”

“Tidak perlu.”

“Lalu?”

“Melayani seluruh penghuni surga adalah tugas para bidadari. Termasuk kau. Kau nanti punya hak untuk dilayani mereka.”

“Jadi mereka seperti pelacur?”
“Beda, goblok! Mereka itu hanya menjalankan apa yang telah diperintahkan Tuhan.”

“Para pelacur di dekat rumahku juga hanya menjalankan perintah dari mucikari mereka.”

“Hah! Pokoknya beda. Bidadari bukan pelacur! Titik.”

“Tapi....”

“Tapi apa lagi?”

“Aku sudah punya istri.”

“Istri? Istrimu jelas tak mungkin diperbandingkan dengan bidadari. Istrimu itu rambutnya saja tak pernah keramas, bau badannya apek, dadanya gepeng, dan mukanya? Semrawut!”

“Memang seperti apa rupa bidadari?”

“Kulitnya putih. Rambutnya panjang tergerai dan indah. Bau badannya bak minyak kesturi. Wajah mereka seribu kali lebih cantik dari Britney Spears. Dada mereka montok dan pantat mereka... aduhai.”

“Tapi, bolehkah aku ajak istriku ke surga?”

”Tidak boleh. Sayembara ini berlaku buat satu orang. Tak boleh ada toleransi. Tuhan sendiri yang memerintahkan.”

“Kalau begitu, aku tak mau ikut.”

“Berarti kau melanggar perintah Tuhan.”

“Kalau aku ikut ke surga, berarti Tuhan menyuruhku meninggalkan istriku. Lebih parah lagi, Ia menyuruhku berselingkuh dengan para bidadari.”

“Tidak. Bukan seperti itu. Tuhan hanya sedang murah hati. Ia ingin menyenangkan seorang hambanya saja.”

“Aku telah cukup puas dengan apa yang kuperoleh. Rumah reyot tanpa pintu, sungai hitam yang tercemar dan busuk, juga istri yang punya wajah semrawut dan dada gepeng. Aku telah cukup puas dengan itu.”

“Tapi, bukankah surga lebih menjanjikan kesenangan?”

“Entahlah. Aku belum pernah melihat seperti apa rupa surga. Barangkali, ia memang nyaman, indah, dan hangat. Tapi tak setiap yang seperti itu menentramkan.”

“Jadi kau lebih memilih rumahmu dan istrimu yang sekarang ketimbang surga?”

“Ya.”

“Kau merasa tenteram dengan itu semua?”
“Ya.”

“Kau tak takut Tuhan akan murka?”

“Tuhan mungkin telah memerintahkan aku ke surga sekarang. Tapi Tuhan pula yang memberiku amanat untuk menjaga istriku. Dan bila aku ke surga, berarti aku juga telah menyia-nyiakan amanat-Nya.”

“Tapi....”

“Sudahlah, Jibril. Apa yang kau takutkan? Bukankah kau tak perlu menyampaikan kata-kata kurang ajarku tadi kepada Tuhan? Bukankah Ia sendiri sekarang sedang memonitor kita? Sudahlah. Pulang dan hadap Tuhanmu. Kau tak perlu bicara apapun. Tak perlu ada laporan.”

4.
Aku masuk tanpa membuka pintu. Kutemui istriku yang lagi memasak. Kubelai rambutnya dan kucium bau tubuhnya. Setelah itu, kulihat wajahnya. Ternyata, Jibril benar.

“Dari mana saja, Kang?” tanyanya begitu merasakan kehadiranku.

“Bertemu Jibril.”

Kentingan, 21 Januari 2006
Haris Firdaus

11 comments:

Anonymous December 6, 2008 at 8:00:00 PM GMT+8  

kayaknya pernah baca. dimana ya? he... (heni)

Anonymous December 6, 2008 at 8:50:00 PM GMT+8  

Apakah dia bodoh, lugu, atau justru manusia yang penuh rasa ikhlas dan syukur?
Jibril, ajak aku saja! :D

Kristina Dian Safitry December 8, 2008 at 10:40:00 AM GMT+8  

orang hidup harus punya harapan lho. supaya bisa memaknai arti hidu. kalo gak punya harapan tuh, ibarat perjalanan hidup yng tanpa tujuan..

Anonymous December 8, 2008 at 12:33:00 PM GMT+8  

bagus nih fiksimu, haris. seneng bacanya.
tapi kenapa endingnya begitu ya..aku rada risi sama yang "ternyata jibril benar"
:)

emak December 10, 2008 at 8:32:00 AM GMT+8  

mau dunk diajak k surga??
dunia terlalu penat, hoho..

tlsn yg bgs, tp sdkt vulgar y.. hmm, maaf sy g bgtu tw sastra jg c..

Haris Firdaus December 10, 2008 at 11:19:00 PM GMT+8  

to: Heni
dejavu ya? ah cuma perasaanmu saja kalee. ha2.

to: dony
semoga keinginanmu terkabul!

to: kristina dian
iya mbak, harapan adalah panduan, semacam orientasi yang bs membikin hidup kita lebih bermakna!

to: senja
ha2. justru aku paling suka kalimat itu, senja: ironis, lucu, sedikit sarkas. i like that! he2.

to: asma
sama dengan dony, semoga keinginanmu terkabul!he2.

Anonymous December 11, 2008 at 3:59:00 PM GMT+8  

apik Ris..,siip . tapi kamu terlalu mencintai tokohmu, jadi tidak membiarkannya selingkuh dng bidadari. pernah dimuat dimana nih,? (puitri

Anonymous December 11, 2008 at 5:39:00 PM GMT+8  

to: puitri
lah kalo dibiarkan selingkuh, kan kasihan istrinya, mbak. nti jadi ga dramatislagi.halah. ha2.

Anonymous December 12, 2008 at 11:54:00 AM GMT+8  

soal antara tidak boleh melanggar perintah tuhan atau harus menjaga amanah tuhan, jadi ingat
: saya, setiap kali susah makan, selalu dinasehati orang di dekat saya dengan "eh, sunah rasul, makan itu harus habis dan tidak boleh disisakan"
dan selalu saya jawab dengan "eh, sunah rasul juga, makan itu tidak boleh berlebihan apalagi sampai kekenyangan"
hehe... entahlah yang kami bicarakan itu benar atau tidak, membela diri sampai mati lah pokokna mah! hahaa..

Unknown December 14, 2008 at 7:37:00 PM GMT+8  

wahwah,.. untung g jadi ikut ya. jadi keinget sama cerita lama manaqibnya Syech Abdul Qodir Jailani yang digoda jin dengan merubah dirinya menjadi sosok cahaya menyilaukan, menantramkan dan mengaku menjadi Tuhan. Jin tersebut mengatakan bahwa "telah di halalkan apa2 yang haram untukmu", tapi Syech Qadir malah marah dan melemparkan bakiaknya ke arah cahaya yang mengaku menjadi Tuhan itu. sambil mengumpat-umpat. "kamulah Jin yang terkutuk. Mana mungkin Tuhan menghalalkan apa yang telah di tetapkan menjadi haram. Halal tetaplah halal. haram tetaplah haram."

selamat atas fiksinya, semoga masuk surga yang bener2 surga,..

Haris Firdaus December 16, 2008 at 9:56:00 AM GMT+8  

to: el
manusia memang harus selalu ragu, terutama dalam soal benar-salah, soal mana yang perintah Tuhan, mana yang bukan. justru kerendahatian macam itulah yang bs menyelamatkan manusia. he2

to: Doa Putik Kamboka
amin2, mas. semoga masuk surga yang ada "sungai jus jeruk"-nya. :)

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP