Iklan: Sebuah Muasal

>> Friday, June 13, 2008

Pada masa Yunani Kuno, iklan yang paling mula adalah puisi. Kala itu, praktek periklanan paling awal adalah sebentuk aktivitas di mana para penjaja menyanyikan puisi di sepanjang jalanan Kota Athena untuk menawarkan dagangannya. Melalui aktivitas oral, para penjaja itu berharap bisa memengaruhi penduduk kota untuk membeli barang yang mereka jual. Salah satu produk yang seringkali dijajakan secara berkeliling di Athena saat itu adalah kosmetik dengan merek Aesclyptos—sebuah merek kosmetik yang paling terkenal di jaman itu.

Lirik puisi yang terkenal untuk menjajakan Aesclyptos antara lain berbunyi sebagai berikut:
Demi mata bersinar, demi pipi bagaikan fajar,
Demi kecantikan yang hanya akan sirna sesudah masa remaja itu purna,
Demi harga sebagai alasannya, kaum wanita yang mengerti,
Akan membeli kosmetik Aesclyptos.

Di Babylonia, ribuan tahun lampau, para penjual menggunakan tanda-tanda atau simbol-simbol visual sebagai wahana periklanan dengan menempelkannya pada produk-produk yang diperjualbelikan. Di zaman Romawi, orang-orang menempelkan iklan—dalam bentuk tulisan-tulisan—pada dinding-dinding kota terutama untuk mencari para budak yang melarikan diri atau guna mengumumkan pertandingan gladiator.

Ketika Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak di akhir 1440-an, periklanan mengalami lompatan yang luar biasa. Penemuan itu memungkinkan iklan-iklan dicetak secara massal dalam waktu cepat sehingga memungkinkan pula didistribusikan dalam lingkup jauh lebih luas tanpa harus membuang banyak waktu.

Ketika Nicholas Bourne dan Thomas Archer mendirikan The Weekly News—sebuah surat kabar pertama di Inggris—pada 1662, periklanan memasuki babakan baru: mulai saat itu iklan diintegrasikan dengan sebuah media yang kini kita kenal sebagai “media massa”.

Surat kabar periklanan pertama di Inggris berdiri tahun 1711 oleh Richard Steele dan Joseph Addison. Spectator—nama surat kabar itu—didominasi oleh lembaran iklan yang berisi iklan produk minuman, iklan real estate, iklan buku, iklan mainan anak-anak, iklan obat-obatan, dan iklan personal (pernikahan, kematian, mutasi pekerjaan, dan lain-lain). Pendirian Spectator, adalah sebuah tradisi baru dalam penerbitan surat kabar saat itu karena koran tersebut tak memilih menyebarkan berita tapi sekadar menjual iklan—suatu konsep media massa yang masih bertahan sampai sekarang.

Sementara itu, di Amerika Serikat mulai abad 18, periklanan tumbuh dengan amat pesat. Benjamin Franklin adalah sosok di balik perkembangan periklanan yang demikian. Tahun 1729 Franklin mendirikan surat kabar periklanan Pennsylvania Gazzet yang kemudian berkembang menjadi surat kabar terpenting sekaligus memiliki oplah terbesar di Amerika yang kala itu masih menjadi koloni Inggris.

Franklin juga dianggap sebagai perintis periklanan modern karena ia yang menjadi pelopor pemanfaatan gambar-gambar ilustrasi sebagai penjelas informasi dan kekuatan daya tarik dalam iklan-iklan surat kabar yang dirancangnya. Selain itu, ia juga seorang copywriter (penulis naskah iklan) yang piawai, sekaligus manajer perusahaan periklanan, salesman, penerbit, dan editor surat kabar.

Pada 1841, perusahaan jasa periklanan yang lepas dari surat kabar atau penerbitan didirikan oleh Volney Palmer di Philadelphia. Empat tahun kemudian, Palmer memerluas jaringan perusahaannya itu dengan membuka kantor cabang Boston dan disusul di New York pada tahun 1849. Apa yang dimulai Palmer ini adalah suatu upaya menjadikan bisnis iklan sebagai sebuah “bisnis mandiri” yang lepas dari ikatan usaha yang melahirkannya: surat kabar. Mulai saat itu, di Amerika Serikat, iklan telah merintis jalannya sendiri menjadi sebuah usaha yang mantap dan bisa dilepaskan dari bisnis lain. Bisnis surat kabar pada akhirnya hanya saling melengkapi dengan bisnis iklan.

Namun, meski saat itu periklanan telah mulai merintis arah ke bentuknya yang modern, media-media periklanan “tradisional” tak serta merta ditinggalkan. Di Inggris pada abad 19, kita masih bisa menemui kereta-kereta berkuda yang di badannya ditempeli poster iklan produk-produk yang populer. Model beriklan dengan menempelkan poster produk di badan kereta berkuda itu masih bisa kita temui “padanannya” sampai sekarang ketika kita melihat bus-bus yang dilukis dengan gambar produk tertentu.

Kondisi ini menyatakan bahwa periklanan—meski telah mengalami perkembangan yang luar biasa pesat saat ini—kadang masih menampakkan jejak-jejak yang “tradisional”. Proposisi yang demikian bisa kita lihat buktinya dengan masih eksisnya model periklanan dengan penempelan pamflet di berbagai tempat umum—sebuah model yang “setara” dengan model periklanan di zaman Romawi Kuno yang saya sebut di atas. Bahkan model periklanan oral—yang dalam perkembangan dunia periklanan saat ini dianggap menjadi bagian dari dirrect selling—juga masih menjadi pilihan sebagian produsen barang atau jasa tertentu. Bagi saya, ada kesejajaran antara model periklanan oral masa kini itu dengan model jualan para penjaja Aesclyptos.

Pada akhirnya, “yang modern” memang tak dengan sendirinya mengakhiri “yang tradisional”. Tapi, dengan jalannya sendiri, “yang modern” pun terus bertumbuh dengan lompatan-lompatan yang bergerak paralel dengan temuan teknologi. Kini, periklanan mengalami “perumitan” luar biasa dalam hal konseptual. Beriklan, dulu, barangkali dianggap sebagai sesuatu yang sederhana, dengan model yang simpel, dan tata kerja yang tak rumit. Tapi periklanan modern kita adalah jalianan antara teori-teori rumit yang terus bertumbuh pesat dengan temuan teknologi yang kadang kemajuannya sangat mencengangkan.

Di antara temuan teknologi yang kini terus membanjiri manusia, penemuan teknologi “media massa baru” adalah yang terpenting bagi periklanan. Perkembangan periklanan modern saat ini, salah satunya amat ditentukan oleh keberadaan televisi. Sebagai sebuah media yang menggabungkan potensi visual dan audio, kehadiran televisi telah memungkinkan penemuan-penemuan teknik beriklan baru yang melabrak batas periklanan yang telah ada.

Namun yang perlu dicatat, perkembangan pesat ini adalah pada persoalan konsep periklanan yang kemudian berakibat pada perkembangan teknik atau metode beriklan. Hakekat beriklan sendiri tetap tak berubah. Dari dulu sampai sekarang, periklanan adalah persoalan bagaimana menjual produk. Meski saat ini kita juga melihat adanya aspek kreativitas yang dipentingkan dalam pembuatan iklan—ditandai dengan banyak munculnya even-even penghargaan bagi iklan-iklan yang kreatif—, para praktisi periklanan yang “fundamentalis” sampai sekarang secara ngotot masih berpegang bahwa diktum utama dalam periklanan adalah berjualan dan kreativitas adalah soal kesekian.

David Ogilvy, seorang praktisi periklanan yang dijuluki sebagai “Bapak Periklanan”, bahkan mengatakan bahwa kreativitas dalam sebuah iklan tak akan berguna jika iklan itu tak bisa membuat sebuah produk laku. Lebih dari itu, Ogilvy bahkan berpendapat bahwa kreativitas sebuah iklan itu diukur dari seberapa jauh ia mampu membuat produk yang ditawarkannya disukai pasar. Dengan kata lain, sebuah iklan yang tak mampu menjual produk adalah sebuah iklan yang buruk sekaligus tidak kreatif.

Jadi, sebagai sebuah produk budaya manusia, iklan tetap sepenuhnya berbeda dengan karya seni. Kalau karya seni memiliki “kritikus”—seorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan “baik” atau “buruk” karya seni itu—, iklan tak membutuhkan “kritikus” sama sekali. Satu-satunya “kritikus” bagi iklan adalah pasar itu sendiri. Meski Budiman Hakim mengatakan bahwa iklan yang baik adalah “gabungan dari puisi dan lukisan”, bukan berarti tujuan iklan untuk berjualan sama sekali sirna. Kalaupun iklan mesti menyerupai “puisi” dan “lukisan”, maka keduanya mesti merupakan sesuatu yang bisa dijual!

Pada akhirnya, berjualan adalah satu-satunya tujuan iklan. Maka, bila Anda sebagai konsumen protes bahwa sebuah iklan menyajikan tayangan yang tak mendidik, Anda akan akan ditertawakan oleh para praktisi iklan. Kepada Anda, mereka akan berteriak dengan lantang: “Hei, sadarlah! Tujuan iklan memang bukan untuk mendidik tapi untuk menjual barang! Jadi, kami memang tak berurusan dengan pendidikan!”

Tujuan iklan untuk berjualan ini tak mengalami perubahan sama sekali sejak para penjaja Aesclyptos di Athena membacakan puisi untuk merayu konsumen mereka hingga sekarang ketika kita bisa menemukan sebuah produsen sabun mandi rela membuat film guna mengekalkan ingatan tentang produk mereka di benak khalayak.

3 comments:

Anonymous June 17, 2008 at 10:20:00 AM GMT+8  

he..he...tul sekali tuh...aku pernah protes dengan yang namanya iklan kok gak mendidik sama sekali.. dan aku peroleh jawaban kayak gitu.

ehm, emang benar..tujuan iklan untuk menjual barang.

Haris Firdaus June 18, 2008 at 1:25:00 PM GMT+8  

to: cewek tulen. laen kali, jangan tanya gitu lagik. bahaya. he2...

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP