Puisi dan Sikap Hidup Intelektual

>> Monday, May 5, 2008

Saya memoderatori Diskusi “Puisi dan Intelektualitas” di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo, pada Senin (28/4) lalu. Diskusi yang dilaksanakan berbarengan dengan “Temu Penyair Antar Kota” itu berlangsung cukup seru meski lalu-lalang pendapat di dalamnya tak selalu meruapkan kualitas yang memadai.

Tia Setiadi, seorang esais dari Yogyakarta, yang menjadi satu-satunya pembicara malam itu, dengan gayanya yang khas mengatakan bahwa intelektualisme merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan bagi seorang penyair. Dengan intelektualisme, maksud Tia, adalah sebuah “sikap pencarian” sekaligus pemaknaan terhadap peristiwa dalam hidup yang dialami si penyair sendiri.

“Intelektualisme tak selalu berarti buku-buku atau laboratorium,” kata Tia. Yang paling penting bukan mengetahui segala sesuatu, tapi mengetahui apa yang memang benar-benar kita butuhkan. Masing-masing seniman punya latar belakang berbeda dan penghayatan atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya pun akan menjadi berbeda.

“Kalau anda berasal dari sebuah dusun, jangan coba-coba membuat puisi seperti Afrizal yang besar di Jakarta dengan kompleksitas persoalan kota yang tiada habis,” ujar Tia yang tahun lalu menjadi juara harapan dalam Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Saya tersenyum mendengar kata-kata itu. Tia, menurut saya, dengan telak telah menunjukkan pentingnya sebuah penghayatan atas latar sosial bagi seorang penyair.

Goenawan Mohamad, ketika mengantar kumpulan esai milik Hartoyo Andangjaya pernah menyebut bahwa seorang penulis puisi yang buruk biasanya juga seorang penulis esai yang buruk. Kalau seorang esais adalah hampir selalu merupakan intelektual, maka bisa diartikan pula bahwa seorang penyair yang baik adalah mereka yang intelektual.

Goenawan memang mengatakan bahwa klaim yang ia keluarkan itu pertama-tama atas dasar pengalaman. Tapi setelah mengatakan itu, ia juga membuat sebuah analisa yang cukup menarik. Menurut GM, seorang penyair seringkali bersembunyi di balik kaedah puisi yang bebas. Karena tak selalu harus menerangkan apa yang menjadi maksud puisinya, seorang penyair bisa dan sering terjebak ke dalam apa yang saya sebut sebagai “kengawuran”.

Ia bisa saja menjejer kata-kata tanpa maksud atau tujuan yang jelas, tanpa konsep puisi yang memadai. Kawan saya, Bandung Mawardi, menyebut puisi demikian sebagai “teks yang tak bertanggung jawab”. Tentu saja, bukan berarti bahwa puisi melulu harus memiliki konsep yang pasti di sebaliknya. Artinya, kata-kata puisi bisa saja mengalir langsung dari ingatan si penyair atau datang padanya tanpa “alasan konseptual” yang memadai. Tapi, si penyair, harus selalu punya “alasan” ketika ia menulis puisi-puisinya.

Sapardi Djoko Damono—yang dalam puisi-puisinya seringkali hanya menggambarkan benda-benda konkret yang kelihatannya tanpa makna apa-apa—punya konsep puisi yang kuat. Sapardi adalah seorang penyair senior yang memahami imajisme dengan baik. Hasan Aspahani bahkan pernah menyebut bahwa Sapardi adalah “satu-satunya” penyair Indonesia yang memahami imajisme dengan benar.

Sapardi membuat puisi-puisinya sebagai cerita yang penuh suasana. Para pembaca tidak bisa—dan memang tidak perlu—mengulik makna dari kata-kata yang ia jejer. Pembaca lebih baik meresapi “suasana” puisi Sapardi. Dari penghayatan itulah pembaca akan mendapat “sesuatu”.

Konsep dan intelektualitas menyelamatkan penyair dari “kengawuran”. GM menyebut bahwa esai-esai Hartoyo yang sistematis, runtut, dan lancar, justru membuktikan bahwa puisi-puisi yang dikarangnya juga berkualitas. “Dari esai-esai Hartoyo, kita jadi tahu kualitas puisi-puisinya,” demikian kira-kira kalimat GM. Barangkali, GM ingin mengatakan bahwa kekuatan intelektual yang tercermin dalam esai Hartoyo pasti juga akan tercermin dalam puisi-puisinya.

Saya tahu, argumentasi GM memang bisa jadi ditolak. Menilai kualitas puisi seorang penyair dari esai yang diciptakannya, menurut saya, adalah sesuatu yang rentan. Meski begitu, saya toh tetap yakin dengan GM dan Tia: seorang penyair—dan juga seniman—adalah harus merupakan seorang intelektual dalam artinya yang luas.

Budi Darma, dalam sebuah tulisannya, juga pernah menyebut bahwa seorang seniman sebaiknya memiliki sikap hidup intelektual. Sikap hidup yang demikian, kata Budi Darma, adalah sikap selalu mencari, selalu mengkaji, dan hidup dengan baik. Sikap demikianlah yang menunjang kreativitas.

Seniman, kata Budi Darma, juga mesti tekun dalam “penelitian” bukan dalam artinya yang formal. “Penelitian” yang dimaksudnya bukanlah penelitian yang memergunakan berbagai matriks, tanda-tanda panah, gambar-gambar bulatan, permainan statistik, dan lain sebagainya. “Penelitian” itu adalah sikap mencari tahu baik melalui buku-buku atau pun melalui alam dan kehidupan.

Meski seorang penyair adalah intelektual, bukan berarti ia melulu menciptakan puisi-puisi yang penuh renungan intelektual atau filosfis yang kering. Seorang penyair yang intelektual, mengambil kata-kata Tia, harus menciptakan puisi yang “berdarah dan berdaging”. Dengan kata lain, puisi yang mencakup manusia bukan sebagai makhluk yang semata berpikir atau semata memiliki emosi saja. Penyair yang baik, saya kira, adalah mereka yang mampu menciptakan puisi yang menyentuh manusia sebagai eksistensi yang konkret.

Pada titik itulah sikap intelektual yang dimaksud Budi Darma—atau intelektualisme dalam kata-kata Tia—menjadi perlu. Sebab, tanpa gairah pencarian, penyair hanya akan melahirkan puisi-puisi yang “cengeng” dan “kering”. Pencarian itu, sekali lagi, bukan hanya dengan membaca, tapi juga dengan turut mengalami berbagai peristiwa hidup dengan refleksi yang mendalam.

Cermin yang baik dalam masalah ini, menurut Budi Darma, adalah Leonardo da Vinci. Meski semua dari kita mengenal Leonardo sebagai pelukis, hampir selama masa hidupnya ia tak pernah bersikap sebagai pelukis. Pada waktu kecil Leonardo da Vinci amat menyukai jalan-jalan tanpa tujuan, suka membeli burung dalam sangkar dan kemudian melepaskannya, sering memakai pakaian norak, naik kuda binal, memainkan instrumen musik yang dibuatnya sendiri, dan sebagainya.

Ketika dewasa, dia mulai senang mencampur cat tanpa tujuan untuk melukis. Kemudian dia suka memperhatikan gejala-gejala alam. Leonardo juga punya pengetahuan yang amat luas. Ia tahu tentang gejala-gejalan alam yang terjadi pada bulan, air laut, dan gunung-gunung. Bahkan, di abad lima belas, ia sudah meramal kalau kelak manusia bisa terbang atau menciptakan alat untuk terbang.

Ketika tua, Leonardo da Vinci lebih mirip ahli pengetahuan ketimbang seniman. Ia bergaul dengan ahli matematika, ahli anatomi, dan lain sebagainya. Baginya, barangkali melukis adalah sesuatu yang “gampang”. Yang sulit adalah bagaimana ia memiliki kreativitas untuk terus melukis. Jadi, dia harus memelajari banyak hal supaya mampu mengembangkan kreativitas.

Sikap hidup Leonardo da Vinci menunjukkan bahwa kreativitas perlu terus ditimbulkan dengan banyak proses dan sikap hidup intelektual. Penyair jelas membutuhkan sikap hidup intelektual agar kretaivitas berkembang, melesat, dan tak mandek pada satu tempat.

Sukoharjo, 3 Mei 2008
Haris Firdaus

5 comments:

Anonymous May 7, 2008 at 10:30:00 AM GMT+8  

untuk tidak terjebak dalam 'kengawuran' dengan menulis 'kata-kata yang tidak bertanggung jawab', 'si penyair, harus selalu punya alasan ketika ia menulis puisi-puisinya'.

benar sekali mas.. saya setuju.. hanya yang jadi permasalahan, para penulis puisi terkadang tak mempunyai 'waktu dan tempat' untuk bisa menjelaskan maksud2nya... apakah tiap kali habis menulis puisi seorang penyair harus mengadakan dialog untuk membahas puisinya? atau membuat esai yang mengupas puisinya?

kalau begitu bukankah justru bisa dikatakan, bahwa penyair 'mengarahkan' audience? lalu dimana kebebasan komunikan dalam proses 'membaca'?

terus terang sejauh yang saya lihat, puisi2 yang seringkali dimuat harian (yang konon) 'nyastra' dan juga di antologi2 'penyair kelas atas negeri ini'-pun terkadang juga 'seperti' rangkaian kata2 tak bermakna...

ya mungkin semua ini didasari karna saya yang memang terlalu bodoh. ditambah lagi, saya yang tidak berkesempatan berdialog dengan sang penyair, sehingga saya tidak berkesempatan juga untuk bisa mengerti apa-apa saja yang dia maksudkan dalam puisinya.

he3.. padahal saya itu bagian dari publik. bukankah yang berhak menjustifikasi seni publik itu hanya publik? atau ada sosok2 yang lebih berkompeten dan berhak???
entahlah..

Haris Firdaus May 10, 2008 at 1:56:00 AM GMT+8  

mas, penyair menurutku tak perlu memberi penjelasan apa2 terhadap puisinya kecuali dia ingin dan terdesak. dlm kasus sutardji, dia terpaksa membuat kredo karena dia tak dimengerti bahkan oleh para kritikus sastra sendiri. puisi yg bertanggung jawab pasti akan memberi kenikmatan pada pembaca yg bertanggung jawab. kalo kita belum menemukan kenikmatan dlm membaca puisi bukan berarti puisi itu tak berarti. mngkn cara baca kita salah ato ada hal lain. yang pantas menjustifikasi seni? aduh, saya kurang tahu. siapapun menurut sy boleh berpendapat soal seni asal ia tulus dan berani tanggung jawab. kalo dia kritikus seni, dia mesti berani memberi argumentasi atas pendapatnya. tdk asal bunyi.

Anonymous May 13, 2008 at 4:15:00 PM GMT+8  

ya betul kenikmatan dari membaca puisi berasal dari keindahan puisi itu, kadang juga dari paduan intelektualitas dan keindahan. saya masih awam dalam puisi. mungkin baca puisi seperti melihat lukisan abstrak. kita mungkin tak begitu ngerti maksudnya tapi bisa menangkap getarannya yang membuat seluruh indra bereaksi. misterinya disitu..:)

Anonymous May 13, 2008 at 4:18:00 PM GMT+8  

lho ko anonim.. ? maaf gaptek ni , he he tadi dari aku (puitri hati ningsih)

Haris Firdaus May 16, 2008 at 9:58:00 AM GMT+8  

puisi emang sesuatu yg harusnya tetap dibiarkan misterius oleh penyairnya. pembacalah yang mesti menguraikannya. sy setuju dg mu mbak puitri. keindahan puisi harus ditemukan. tentyu dengan pembacaan yg sekuat2nya.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP