Puisi untuk Apa Saja

>> Wednesday, December 26, 2007



(Membaca Antologi Puisi Absolut)

Membaca Buku Antologi Puisi Absolut terbitan Penerbit Gerilya Peradaban, Solo, adalah membaca kumpulan puisi yang hampir tanpa “benang merah”. Satu-satunya “benang merah” yang bisa kita temukan adalah bahwa puisi-puisi dalam buku tersebut merupakan karya dari para peserta Workshop Penulisan Kreatif yang digelar Buletin Sastra Pawon dan Taman Budaya Jawa Tengah pada Juli 2007 lalu. Minimnya “benang merah” itu membuat puisi-puisi dalam buku ini menjadi sangat heterogen baik dilihat dari pilihan temanya maupun gaya ucap para penyairnya.

Tulisan ini hendak menjelajahi puisi-puisi dalam buku tersebut. Penjelajahan ini akan dikaitkan dengan “fungsi” puisi serta kedudukan penyair dalam puisinya. Tentu saja, ada beberapa generalisasi yang akan dilakukan dalam pembacaan ini. Kesimpulan-kesimpulan umum yang sedikit mengabaikan detail-detail khusus barangkali tak mungkin dihindari. Meski begitu, sebisa mungkin pengabaian yang terlampau banyak tak dilakukan.

Arah penjelajahan ini akan memunculkan beberapa kecenderungan yang akan saya soroti. Dari 15 penyair yang berkontribusi dalam buku ini, barangkali akan ditemukan kecenderungan kerja menyair yang berbeda baik dilihat dari “maksud” maupun hasil karyanya.

Puisi Sebagai Ekspresi dan Penyair Sebagai Pusat

Kecenderungan utama dalam buku ini yang akan segera terlihat ketika kita mulai menjelajah puisi-puisi di dalamnya adalah kecenderungan puisi sebagai “sekadar” ekspresi. Puisi dibuat dan dihadirkan sebagai ungkapan ekspresi dari penyair. Proses kerja menyair dalam puisi-puisi yang demikian biasanya dimulai dari perasaan penyair yang sedang dihadapkan pada satu masalah dalam hidupnya. Ketika suatu masalah sedang melanda dirinya, seorang penyair biasanya melampiaskan masalah tersebut—juga tanggapan dirinya atas masalah tersebut—melalui medium puisi.

Tapi bisa jadi kondisinya lain. Bisa jadi yang ada di awal adalah niatan membuat puisi. Penyair yang ingin membuat puisi berusaha mencari tema yang paling dekat dengan dirinya, lalu menuangkannya ke dalam bait-bait kata yang dianggap puitis. Pencarian tema yang dekat pada dirinya diasumsikan bisa membuat puisi yang dihasilkan menjadi lebih indah dan “emosional” karena mendapat sokongan penuh dari batin penyair yang sedang meluap-luap.

Kecenderungan menghadirkan puisi sebagai alat ekspresi ini terjadi tidak pada semua penyair dalam Buku Puisi Absolut. Tapi, sebagian besar penyair dalam buku itu memang memosisikan puisi sebagai media ekspresi dirinya. Tentu saja ekpresi yang keluar dari puisi-puisi itu beranek ragam: sedih karena cinta, muak karena keadaan, atau sentimentil entah karena apa.

Maman S Sunarman adalah penyair yang dengan jelas dan tegas menggunakan puisi guna menyampaikan uneg-unegnya. Puisi-puisinya yang bercerita tentang kehidupan orang-orang difabel, merupakan “suara hati” dari Maman sendiri. Kalimat lugas yang dipakai Maman dalam puisinya makin menegaskan bahwa penyair ini hendak menyampaikan pesan lewat puisinya dengan “semudah mungkin”.

Simak penggalan puisinya berjudul “Satu Kata” yang mencerminkan karakter utama karya-karyanya: Hanya satu kata / Peraturan // Untuk mengebiri // Kami punya ambisi / Kami punya cita-cita / Kami punya jiwa / Kami punya hati // Peraturan, / Milik siapa?//

Penyair selanjutnya yang mengidap kecenderungan menjadikan puisi sebagai medium ekspresi saja adalah Fajar Widayanti. Fajar yang bicara soal cinta dalam puisi-puisinya terlihat “sangat terlibat” dengan masalah-masalah yang ia paparkan. Pemilihan diksi “aku” sebagai tokoh utama menampakkan bukti bahwa penyair ini menjadikan dirinya sebagai “pusat” dalam puisi-puisinya.

Simak salah satu puisi Fajar ini: aku tidak akan pernah ada jika kau tak ada / aku bangga pernah menjadi bagian dari hidupmu / aku bahagia telah terlahir karenamu /...// (“Lelaki Terindah”).

Beberapa penyair lainnya yang menjadikan puisinya sebagai medium ekspresi dan cenderung menampilkan dirinya sendiri sebagai “pusat” dalam puisi-puisinya adalah Indah Darmastuti, Dias Panggalih, Suryani Setya Ningsih, Wira Hadisurya, Aji Wicaksono, Yudhi Teha, dan Hayu Aldya Charita.

Indah Darmastuti menyoroti kerusakan lingkungan: Kami beri cerita padamu, Nak / Tentang bajak yang telah lama menganggur / Tentang sawah yang tak lagi berlimpah lumpur / Tentang harapan yang tak lagi tertanam—dalam petak-petaknya // (“Kami Hanya Bisa Bercerita”).

Suryani Setya Ningsih bicara tentang cinta dan penantian yang semu: Aku masih di sini / Aku memerahkan pipi dan bibirku untukmu / Aku memakai ikat rambut, berpita merah jambu / Yang dulu pernah kau sanjung / ...// (“Penantian Semu”).

Dias Panggalih membicarakan seorang ibu yang taat ibadah sembari membandingkan dirinya sendiri: Ketika orang-orang pun masih hangat di mimpinya / Terbangun ibu dan segera meneguk air / .../ Bertingkah dan berjungkat-jungkit sendirian di sebuah kamar / Bergerak dengan irama dan aturan / Hanya untuk mengirimkan harapan kepada-Nya /.../ Dan segera ia suarakan kalimat-kalimat suci / Tak begitu nyaring, tapi cukup bersuara / Aku terbangun, kedinginan dan melipat tubuh lagi dalam / selimut /...// (“Doa Ibu”)

Puisi yang Ingin Menggapai

Kecenderungan lain dari para penyair dalam Buku Puisi Absolut adalah kecenderungan menjadikan puisi untuk melakukan pencapaian estetis tertentu. Gema Nitya Yuda, Salman Ali Masturi, Akmalul Khuluq, DAW Riyadi, Puitri Hati Ningsih, dan Bhrehita Wijaya adalah penyair-penyair yang lebih “dewasa” dan tak menjadikan puisi sebagai “sekadar” kendaraan ekspresi saja. Mulai ada usaha untuk melakukan rekayasa bentuk dan gaya ucap yang cukup bisa kita lihat dalam puisi-puisi mereka. Para penyair yang berada dalam kecenderungan ini juga tak hendak menjadikan diri mereka sebagai “pusat” dari puisi-puisi mereka.

Gema bermain-main dengan tipografi dan tema-tema yang lebih “sulit”. Gaya ucap penyair yang tinggal di Semarang ini dekat dengan gaya ucap lirik yang mendominasi perpuisian Indonesia. Permainan diksi yang tak terang-benderang dan “unsur suasana” yang lebih dominan dalam puisi-puisinya menjadikan karyanya terasa liris.

Saya menyukai “kotakita” karya Gema: kota tak memberikan kehilangan yang mempertemukan / cuma kesesakan gelembung-gelembung yang menghabiskan / walaupun selalu saja seperti ada yang terlupakan // orangorang terombang-ambing di lautan / tanpa nahkoda / tanpa penyesalan // aku tak bisa berjalan ke mana pun / -tak bisa tak- / mencoba menemukan / dan tidak melupakan //.

Bhrehita Wijaya juga demikian. Puisi-puisinya—yang meskipun sebagiannya terlalu “gelap”—juga mendedahkan suasana yang liris. Metafora yang ia pakai pun sudah bisa kita rasakan sebagai metafora yang “mumpuni” untuk sebuah sajak. Saya menyukai bait ini: lalu apa yang dapat kaulakukan / jika diriku tinggalah sisa-sia suara kereta / yang melaju di atas rel lembaran-lembaran sajak / memecah suara jengkerik // (“Akan Kubereskan Sajak Ini”). Membaca bait itu, saya merasakan semacam ingatan yang tinggal sedikit dan kenangan yang hampir hilang tentang seorang yang kita sayang. Sebuah tema yang menurut ukuran Puisi Absolut cukup menonjol.

Salman Ali Masturi dan Akmalul Khuluq memiliki kecenderungan yang hampir sama: memilih bentuk pendek dalam sajak-sajak mereka. Dalam bentuk yang pendek itu, kedua penyair yang bersahabat itu memilih gaya ucap yang juga hampir sama. Keduanya memajang baris-baris yang hubungan antar barisnya renggang. Cerita-cerita dalam puisi-puisi mereka terkadang seperti potongan gambar yang hadir sendiri-sendiri tapi relatif masih bisa kita baca sebagai kesatuan.

Puisi Salman yang cukup menarik adalah “Dunia Bola 3”: harga diri bangsa / ada di kaki // ia harus menjaga kakinya / dengan baik / agar senantiasa lemas dan lentur / dapat digunakan setiap hari //. Puisi Khuluq yang metaforanya paling menarik adalah “jam tangan batukbatuk”: jam tanganku batubatuk tersedak nasi dan senyum / piringpiring berhamburan keluar rumah / mencari senyum hilang dalam dompet / menempel pada tanggaltanggal / merayapi lubanglubang dinding / tertangkap dalam tempurung sepatu....//

Sementara itu, Puitri Hati Ningsih memilih jalan naratif yang runtut untuk mengisahkan puisi-puisinya. Membaca beberapa puisinya yang demikian, kita disuguhi sebuah cerita yang kadang-kadang sangat datar tapi mengandung frasa-frasa yang memberi kejutan. Simak “Rumah Di Atas Senja” karyanya: Setiap senja rumah itu berdiri, / Kadang berwarna merah muda, biru dan kuning emas muda / Semua pintu terbuka, kaca jendela benderang / Rumah itu tak ada sebelum dan setelah senja hilang / ...//

Puisi yang Berbeda

Puisi merupakan bentuk sastra yang memiliki keunikan karena ia bersifat lebih personal daripada cerpen atau novel. Kalau hampir semua orang yang membuat cerpen dan novel bertujuan mempublikasikan karyanya, banyak orang yang membuat puisi demi pamrih pribadi dan tak ada urusan dengan soal publikasi. Hal itulah agaknya yang membuat ada kecenderungan berbeda dalam memosisikan “fungsi” puisi. Ada orang yang berpuisi demi ekspresi, tapi ada pula yang merekayasa puisi sedemikian rupa guna mencapai sesuatu. Dua kecenderungan itu, bagaimanapun, perlu disyukuri karena puisi memang bisa untuk apa saja.

Sukoharjo, 23 Desember 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP