Menonton Orang Bosan
>> Wednesday, December 19, 2007
Orang-orang yang hiruk pikuk, tuntutan-tuntutan yang banyak berseliweran, dan manusia-manusia yang tak jengah mengejar kepentingan ekonomi, bisakah membuat kita bosan? Saya tak tahu. Tapi menonton “Koper”, sebuah film garapan Richard Oh, saya jadi tahu: ada juga orang yang bisa bosan dengan dunia yang macam itu.
Dan kebosanan itu harus sedikit aneh dan heroik dong: muka pucat tanpa gairah, semangat yang tak ada saat bekerja, cara merokok yang khas yang menggambarkan rokok sebagai jeda yang baik dari rutin yang membosankan, dan tulisan-tulisan filosofis nan aneh yang berseliweran di baliho dan dinding bus kota. Begitulah Richard Oh menggambar orang yang bosan dengan rutin hidup, sekaligus dihimpit kesulitan ekonomi, beserta kompleks situasi yang melingkupinya.
Anjasmara, sebagai pemeran utama dalam film itu, tampil dengan sosok yang pendiam. Tak banyak senyum, tapi lebih banyak melamun. Berangkat kerja dengan sarapan mie instan sambil mendengar deretan keluh istrinya yang mengomel tentang harga barang yang naik, dan bujuk rayu istri tetangga yang pamer barang-barang baru, Anjasmara jadi model yang baik bagaimana seorang yang hidup tanpa gairah, sekaligus memandang hidup dengan berat. Tanpa keceriaan, tanpa sesuatu yang kemudian bisa membuat kita melonjak kegirangan atau tertawa berderai-derai tanpa henti.
Dan sosok si Anjasmara yang bernama Yahya ini makin aneh ketika dia menemukan sebuah koper, yang banyak orang di sekitarnya menduga koper itu berisi uang. Beberapa saat setelah Yahya menemukan koper itu, memang tersiar kabar bahwa ada perampokan atas sebuah koper yang berisi uang satu Milyar. Lalu dengan gegabah istrinya mengambil kesimpulan: koper yang ditemukan Yahya pastilah koper yang isinya satu Milyar itu. Lalu mulailah garis besar film ini: Yahya yang berpegang teguh pada prinsip harus mengembalikan koper itu tanpa mengambil apapun dari dalamnya, sementara istrinya selalu membujuk buat membuka koper itu dan mengambil uang di dalamnya.
Tarik-menarik untuk mengembalikan atau mengambil koper itu jadi milik pribadi merupakan garis besar film ini. Yahya memang akhirnya tak hendak mengambil koper itu jadi miliknya. Ke manapun ia pergi, koper itu senantiasa ia bawa. Maka beginilah sosok Anjasmara dalam “Koper”: laki-laki pucat dengan hem lengan panjang dan celana kain, berjalan dengan tergesa dan kadang penuh curiga, sambil menenteng koper.
Banyak cerita aneh yang kemudian terjadi. Seperti ketika koper itu diserobot preman tapi kemudian para preman tak bisa membukanya sehingga akhirnya koper itu kembali ke Yahya, atau ketika para warga sekitar rumah Yahya berinisiatif berkumpul di rumah Yahya lalu dengan sukarela memberi jasa bodyguard buat Yahya demi keamanannya dan keamanan si koper, atau si pelayan di kantor Yahya yang tiba-tiba bisa mengambil alih pekerjaan Yahya di bagian arsip.
Tapi yang memukau dalam film ini saya kira bukan kisah tentang koper itu. Cerita tentang orang yang berhasrat melakukan kebaikan dengan segala macam resiko sudah banyak kita jumpai. Yang lebih menarik saya kira adalah kebosanan akan hidup yang dialami Yahya. Di tengah keluarga yang mengeluh soal ekonomi yang pas-pasan, di tengah situasi kantor yang penat dengan banyak cakap manusia yang mengejar kepentingan sendiri, Yahya akhirnya menemukan sebuah jeda di sebuah kafe bernama Kafe Betawi. Di sana, ia bertemu Djenar Maesa Ayu yang kebagian peran jadi seorang pelayan. Sambil merokok dan minum bir, Yahya akhirnya mengenal Djenar dan bahkan kemudian bersahabat baik dengannya.
Momen di mana keduanya berjalan-jalan di pusat penjualan piringan hitam, atau berdua ngobrol di taman yang gelap, saya kira adalah momen yang membahagiakan buat Yahya. Setidaknya ia menemukan orang yang berjalan sama lambatnya dengan dia. Setidaknya ada orang yang bisa diajak ngobrol tentang sesuatu yang agak absurd seperti “makna hidup”. Tapi meski demikian, saya tetap tak melihat Yahya tersenyum. Anjasmara tetap menyimpan senyumnya sampai di bagian agak akhir film itu.
Menonton “Koper” adalah menonton film tentang seseorang yang masa bahagianya amat singkat. Dan kalaupun ada masa bahagia yang ia dapatkan, ia tak pernah merasa benar-benar bahagia. Hidup barangkali sudah ditakdirkan sebagai hidup yang murung baginya. Betapa beratnya, saya bayangkan, menjalani hidup yang demikian. Tapi saya kira, Yahya tetap mendapat sesuatu yang berarti dalam hidupnya: prinsip yang tak tergoyahkan. Ketika ia berusaha memertahankan prinsipnya untuk mengembalikan koper yang ditemukannya itu, ia sebenarnya sedang membuat sebuah arti dalam hidupnya sendiri. Dengan berusaha bertahan terhadap prinsipnya itu, ia saya kira berusaha membuat hidup yang ia jalani jadi tak absurd dan memiliki arti. Betapapun kemudian semuanya jadi sia-sia, dan Yahya akhirnya mati dengan cara yang amat tak berguna, toh tetap ada yang telah dikerjakan. Telah ada yang coba dipertahankan. Itulah yang penting, menurut saya.
Sukoharjo, 17 Desember 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment