Malam Tadi, Saya Harap Kau Menangis

>> Saturday, November 17, 2007




Malam tadi, sudahkah kau menangis? Kalau iya, syukurlah. Saya berharap, dengan demikian kau bisa lebih lega, dan lebih punya alasan kenapa hari ini kau harus lebih bersemangat. Sebab bagaimanapun, hari ini, ketika saya menulis tulisan ini, kau harus menempuh sebuah perjalanan panjang, buat sebuah tugas. Dan, menempuh perjalanan macam itu, saya kira, membutuhkan semangat yang berlebih.

Iya, hari-hari terakhir ini, buat kita, memang sebuah hari yang berat. Begitu banyak tugas datang, dengan bobot yang sama beratnya, waktu yang tak banyak, dan kawan sekelompok yang mungkin saja bermasalah. Kita hampir tiap hari mesti berkumpul di tempat yang itu-itu juga, berbicara dengan beragam topik, dan mesti bertemu dan bekerja dengan orang banyak yang belum tentu sependapat dengan kita. Saya tahu ini berat.

Dan, saya tahu akan lebih berat lagi apabila dalam kondisi demikian kita melewatkan sebuah hari “tanpa melakukan banyak hal”. Dalam kondisi di mana waktu begitu berarti, dan efektivitas jadi tuntutan, melewatkan satu hari “tanpa melakukan banyak hal” memang segera nampak sebagai sebuah “dosa”. Dan perasaan yang mengiringi semua itu adalah perasaan yang tentu saja tak akan nyaman buat kita. Kita mungkin merasa marah, sedih, dan merasa telah “membuang percuma” sebuah waktu yang begitu berharga.

Lalu, dalam kondisi demikian, kita mungkin hanya bisa menangis. Sebab, kita toh tak pernah bisa melakukan apa-apa terhadap hari yang lewat. Seberapapun jengkel kita terhadap kondisi itu, kita hanya bisa menatapnya dengan sedih, tanpa bisa berbuat. Yah, penyesalan memang tak bisa diubah. Tapi penyesalan bisa “diobati”.

Maka, saya berharap kau segera “mengobati” kekecewaan yang malam tadi kau sampaikan pada saya. Saya berharap bahwa hari yang lalu seyogyianya dilupakan saja, dan lebih baik merentang rencana buat besok. Saya berharap semua itu, dan satu lagi: saya harap kau menangis. Sebab konon ketika kita menangis, perasaan kita akan jadi lebih lega. Dan dalam kondisi tadi, kelegaan agaknya satu-satunya solusi yang paling berarti. Sebab mungkin saja tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali mencoba berkata pada diri sendiri bahwa “semua hal akan baik-baik saja”.

Barangkali perasaan demikian hanya sebuah sugesti. Tapi sugesti pun, meski ia bohong, tetap saja sesuatu yang berarti. Paling tidak, ia bisa membuat kita lebih tenang, dan lebih bisa berpikir dengan jernih. Dan kejernihan pikiran, dalam kondisi yang seperti itu, memang suatu hal yang penting. Ia dibutuhkan supaya kita mampu menatap segala masalah dengan lebih cermat, dan tidak dengan pandangan emosional. Ia dibutuhkan supaya solusi atau langkah yang akhirnya kita putuskan untuk menyelesaikan masalah itu adalah sebuah langkah yang “paling baik”, dan bukan langkah yang tergesa.

Saya kira, sebenarnya kita telah paham dengan tetek bengek tadi. Kita toh manusia dewasa yang sudah mengalami masalah begitu banyak, dan akhirnya melewati semuanya dengan “baik-baik saja”. Tapi, pemahaman manusia memang tak berkorelasi secara langsung dengan tindakannya. Logika kita bisa saja mengatakan A, tapi yang kita pilih untuk lakukan bukanlah A. Saya kira ini wajar juga.

Manusia memang bukan makhluk dengan kebijaksanaan yang tanpa habis. Seberapapun banyak penglamannya, setinggi apapun kedewasaan yang telah ia capai, ia tetap saja pada suatu waktu akan menjelma jadi makhluk bodoh yang bingung harus melakukan apa. Sekuat apapun imannya, manusia mungkin tetap sesuatu yang pada kondisi tertentu akan goyah. Ia bisa jadi tiba pada kondisi di mana satu-satunya jalan keluar adalah air mata. Saya kira, kecenderungan demikian tak bisa ditangguhkan. Ia kecenderungan yang pada akhirnya hanya harus diterima tanpa bertanya kenapa yang demikian harus terjadi.

Pada akhirnya manusia memang menjadi hidup berdampingan dengan kecenderungan untuk menjadi lemah, bodoh, dan kadang tak tahu apa-apa. Begitulah. Kita akhirnya hanya bisa mendapati diri kita dalam kondisi yang demikian dan satu-satunya hal yang mesti kita lakukan adalah mencari cara agar kita bisa hidup berdampingan dengan kecenderungan itu.

Saya tak tahu, sudahkah kita menemukan cara itu. Tapi, persahabatan yang kita bangun, barangkali, adalah bagian dari cara agar kita bisa hidup dengan kecenderungan untuk jadi lemah. Saya kira persahabatan adalah sebuah pengakuan bahwa manusia itu makhluk yang lemah, bodoh, dan oleh karenanya ia membutuhkan manusia lain untuk saling mengisi, dan saling menambahi.

Dalam persahabatan, manusia tak menjadi superman, dan dalam persahabatan memang tak dibutuhkan seorang superman. Sebab orang bersahabat untuk saling menyadari bahwa masing-masing memiliki kelemahan, dan bertemu buat saling mengisi. Pendeknya, persahabatan adalah sebuah ikhtiar timbal-balik. Dalam ikhtiar itu, manusia memberi dan menerima. Jadi, tak ada yang selamanya memberi, tak ada yang selamanya menerima.

Sebagai seorang sahabat, saya selalu berharap malam tadi kau menangis. Sebab setelah kau menangis, barangkali semua akan jadi lebih baik, paling tidak dalam perasaanmu.

Sukoharjo, 15 Nopember 2007
Haris Firdaus

1 comments:

poetryheart November 20, 2007 at 3:49:00 PM GMT+8  

betul penyesalan bisa diobati. diantaranya dengan menulis. saat tertentu saat proses penyesalan itu berjalan kadang aku tdk bisa melakukan apa-2 apalagi menulis hanya terbengong dgn tindakan bodohku. aku terakhir nangis tgl 9 oktober 07 (mau aakhir puasa) tak seorangpun tahu apa sebabnya. waktu itu aku langsung menepi di garasi yang biasa utk tidur dan sholat di sudut bangunan kantorku. dua temanku -perempuan- yang ruangnya dkt dg ruangku hanya menagkap aku sdg sangat sedih. sampai skg tak seorangpun kuberitahu tg hari itu, siang itu. sorenya dg tubuh lemas dua kawanku tadi ngajak aku jalan di sebuah toko sederhana yg sangat ramai di daerah mojosongo masih terus ke timur. toko anugerah. menjelang lebara toko itu sangt ramai. kami bertiga menyatu dg kerumunan mnjelang lebaran. slah satu diantar kami tdk puasa krn katholik , aku dan kawan satunya puasa.badanku sangat lemas dan loyo, kesedihan siang td ada pengaruh ke badanku, ada sms dari teman redaksi pawon sas, jika ayah seorang teman meninggal, . INnalilahi, tapi aku tdk bisa dtg stelah membalas pesan itu. menjelang magrib kita bertiga buka di RM Parahyangan -ayam goreng- pojok depan Pctakan Tiga Serangkai. kebetulan aku jadi bos teman2ku hari itu. yah aku sdh melupakan kesdihan yg menimpaku siang tadi. krn air mata telah tertumpah cukup lama. trims RIs krn telah berbagi.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP