GM, Pahlawan, dan Heroisme yang Tak Perlu

>> Monday, November 12, 2007



Kalau tahun 1943 Chairil Anwar membuat “Diponegoro” dan tahun 1955 Toto Sudarto Bachtiar membuat “Pahlawan Tak Dikenal”, tahun 1996-1997 Goenawan Mohamad (GM) membuat “Aung San Suu Kyi”. Kalau dua penyair sebelumnya bicara soal pahlawan dalam sekat kebangsaannya sendiri, GM bicara soal “pahlawan” yang melampaui batas teritori negara-bangsa yang dianutnya.

Fakta ini menjadi bukti bahwa tema “pahlawan” sebenarnya tak harus meringkus seorang penulis untuk berbicara dalam batasan negara-bangsanya sendiri. GM memilih bicara tentang “pahlawan” yang sudah “mengglobal”. Dalam beberapa sajaknya, saya kira, terlihat bahwa GM memang tak lagi memersalahkan persoalan “identitas bangsa”. Dalam banyak sajaknya, kita lihat ia bicara tentang persoalan internasional: konflik di Sarajevo, konflik di Myanmar, konflik Palestina-Israel, dan banyak lagi. Ia juga gemar menggunakan “idiom” yang ia ambil dari “luar” dan digunakan buat berbicara soal yang dekat dengan dia.

Memang, banyak penyair yang bicara tentang tempat-tempat di luar negeri: Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, dan beberapa penyair lain. Hampir tiap penyair kita yang pernah mengunjungi negeri lain selalu membawa oleh-oleh sajak. Tapi, dalam kebanyakan mereka, yang muncul adalah “sajak-sajak kesan”: mereka terkesan dengan suatu tempat, lalu menjadikan tempat di luar negeri itu menjadi judul sajak mereka, dan melukiskan bagaimana pemandangan di tempat itu, sambil terkadang ditambahi oleh semacam ingatan akan suatu hal. Demikianlah yang banyak kita lihat pada sajak-sajak yang diberi judul dengan nama tempat di luar negeri.

Pada GM, ada yang beda. Hamid Basyaib, dalam pengantar Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, mengatakan bahwa GM adalah “orang Barat yang lahir di Batang”. Pada sebuah esainya, GM juga mengatakan bahwa ia adalah seorang “Malin Kundang”. Memakai dua perspektif ini, segera jelas bahwa GM memang seorang penyair yang berjiwa “dunia”. Pengalamannya mengunjungi tempat-tempat di luar negeri, bacaannya yang luas, kemampuan berfilsafatnya yang setara dengan pemikir-pemikir luar negeri, membuat penyair ini agaknya tak cukup bicara dalam “logat” negara-bangsanya sendiri terus.

Ia bukan mengabadikan sebuah tempat di luar negeri dengan “logat” negara asalnya, seperti yang banyak dilakukan penyair lain, tapi sepenuhnya bicara tentang persoalan yang bukan berasal dari negaranya sendiri dengan “logat” yang universal. Ia tak mewakili sebuah negara bernama Indonesia ketika menulis sebuah sajak. Ia sepenuhnya mewakili sebuah “kemanusiaan universal” yang dulu dengan gagah diperjuangkannya itu.
Saya kira itulah sebab kenapa ia memilih menulis “Aung San Suu Kyi”, dan bukan “Soekarno”. Itulah kenapa ia memilih menulis “Misalkan Kita di Sarajevo” dan “Di Yerusalem” daripada memilih menulis konflik lain di negaranya sendiri. Pada persoalan-persoalan itu, sebenarnya ia sedang “mengingatkan” tentang pentingnya “kemanusiaan yang universal” dan bukan hanya nasionalisme.

Maka, ketika beberapa penyair lain memilih menulis “pahlawan” dan “kepahlawanan” dalam term nasionalisme bangsanya sendiri, GM tak memilih itu. Ia agaknya sadar bahwa bicara soal “pahlawan” bukan berarti bicara soal “nasionalisme”. Apalagi kalau kemudian pembicaraan mengenai “pahlawan” tadi hanya akan jatuh pada sebuah nasionalisme yang sempit belaka. Dan yang unik dari GM adalah bahwa sajaknya tentang “pahlawan” juga tak meruapkan heroisme sama sekali.

Simak bait-bait “Aung San Suu Kyi” berikut: Seseorang akan bebas dan akan selalu / sehijau kemarau // Seseorang akan bebas dan sehitam asam / musim hujan // Seseorang akan bebas dan akan berlari / atau letih // Dan langit akan sedikit dan bintang / beralih // Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat / pagoda // Seseorang akan bebas dan sorga akan / tak ada // Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi / tandan yang terjulai // tandan di sapu tangan, tandan di tepi jalan / ke Mandalay //

Memang GM mengatakan bahwa “seseorang akan bebas”, tapi kebebasan yang demikian tak diikuti dengan sesuatu yang mudah. GM sadar bahwa sebuah perjuangan tanpa kenal lelah, pada akhirnya kalaupun menemui kemenangan, tak akan serta merta mengubah keadaan yang “jahiliyah” menjadi “terang benderang”. Manusia barangkali akan terjatuh pada nasib yang “sama” atau bisa jadi “lebih buruk”. Kebebasan seseorang itu, “akan selalu sehijau kemarau”. Sehijau kemarau? Bukankah metafora ini menandakan bahawa ada kondisi yang tak menyenangkan, tak mudah dilalui, dan tak serta merta bagus bahkan ketika “kebebasan” telah datang?

Dalam bait selanjutnya, GM senantiasa mengingatkan itu. Metafora “sehitam asam musim hujan”, “akan berlari atau letih”, “langit akan sedikit dan bintang beralih”, dan “sorga tak ada”, adalah metafora yang hampir sepenuhnya “pesimis” dalam memandang keadaan sesudah “kebebasan” datang. Lagi-lagi, seperti yang bisa kita baca dalam banyak sajaknya, penyair yang juga jurnalis itu mengintrodusir situasi murung di mana eksistensi manusia dan kehendaknya berada dalam situasi yang berhadap-hadapan dengan kehendak Tuhan dan takdir yang tak diinginkan.

Pada titik ini, kita bisa berhenti membaca sajaknya dan mengambil kesimpulan bahwa penyair ini adalah seorang keturunan Adam yang pesimis. Tapi, kita juga bisa membelokkan pandangan kita, mencari perspektif yang berbeda, dan mengambil kesimpulan lain: GM sedang berupaya waspada. Ya, penyair ini memang telah melihat sebuah gejala “terlalu besarnya harapan” yang disandangkan pada sebuah kondisi baru, seperti kebebasan. Dan gejala optimisme yang berlebihan ini, barangkali akan jadi bahaya ketika di kemudian hari manusia mendapati bahwa takdir bahagia yang diimpikannya ternyata tak kunjung tiba.

Kebebasan dari sebuah jaman yang membelenggu, tak akan serta merta membawa manusia pada kebahagiaan dan kemakmuran, seperti halnya pencapaian kemerdekaan sebuah bangsa tak berarti bahwa bangsa itu langsung menuju gerbang kesejahteraan. Konsekuensi dari hal ini, maka “pahlawan” dan “kepahlawanan” bukanlah akhir dari segala perjuangan. Konsekuensi lanjutan dari akibat pertama ini adalah bahwa representasi “pahlawan” dalam sajak pun tak seharusnya melulu bersifat heroik seolah ketika seorang “pahlawan” berhasil mengusir musuh maka segalanya akan jadi baik. Menghadirkan “pahlawan” dalam sebuah sajak, bisa jadi juga diiringi dengan sebuah pengingatan bahwa “pahlawan” tak akan pernah cukup buat membikin dunia jadi baik. Jadi, heroisme juga kadangkala tak perlu, bahkan ketika kita bicara soal hero sekalipun.

Sukoharjo, 10 Nopember 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP