Malin Kundang di Tapal Batas

>> Saturday, October 20, 2007



Kalau benar bahwa—seperti dinyatakannya sendiri—Goenawan Mohamad adalah seorang Malin Kundang, maka ia adalah Malin Kundang yang tak pernah sepenuhnya “pergi” dan oleh karena itu, ia juga tak sepenuhnya “durhaka”. Hamid Basyaib, dalam pengantar Kumpulan Esei GM, “Setelah Revolusi Tak Ada Lagi”, menyebut bahwa GM adalah “orang Barat yang lahir di Batang”.

Barat, dan Batang. Kita tahu bahwa “orang Barat” menunjukkan sebuah teritori di mana terdapat gugusan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. “Barat” selalu berkonotasi sebagai “dunia pertama” dalam segalanya: teknologi, sains, seni, dan filsafat. Dan Batang? Ah, saya bahkan belum pernah mendengar banyak riwayat soal kota kecil yang ada di dekat Pekalongan, Jawa Tengah ini.

Dengan mengatakan bahwa GM adalah “orang Barat yang lahir di Batang”, saya kira Hamid Basyaib ingin mengatakan bahwa GM memang lahir di Batang, tapi pemikirannya sudah melayang ke Barat. Bahkan ketika ia masih tinggal di kota tempat kelahirannya itu, ia sudah lumayan akrab dengan khasanah pemikiran dari sumber Barat yang terutama ia dapat dari buku-buku kiriman kakaknya yang lebih dulu pindah ke Jakarta.

Maka, kita pun akan mengamini kesimpulan Basyaib bahwa GM memperlakukan para pemikir Barat macam Derrida, Brecht, Adorno, Habermas, Nietcszhe, Camus, serta banyak nama lain sebagai teman ngobrol. Ketika GM menulis tentang pemikiran mereka, ia tak sedang memposisikan diri sebagai orang yang belum paham dan sedang “menelaah” mereka. Sebaliknya, ia adalah orang yang terlampau akrab dengan mereka, dan oleh karenanya siap mengajak mereka “ngobrol”. Kita bisa membuktikan kesimpulan ini ketika membaca esei-eseinya yang penuh dengan kutipan dari berbagai teks, yang dikutip tanpa tendensi untuk “menjelaskan”, dan lebih banyak berupa “rerasan”.

Tapi, kata Basyaib, konsekuensi dari “orang Barat yang lahir di Batang” masih satu lagi: ketika GM melihat dunia asalnya—Jawa dan Indonesia beserta kompleks budayanya—maka ia akan melihatnya dengan cara Barat. Pada titik inilah, saya kira, kesimpulan Basyaib menemukan relevansinya dengan pernyataan GM sendiri bahwa ia adalah seorang Malin Kundang.

Ya, GM mengembara ke Barat—secara fisik dan pemikiran—lalu kembali ke dunia asalnya dan melihat dunia asalnya “secara Barat”. Dan “kesalahan” inilah yang menyebabkan ia mirip seperti Malin Kundang yang “durhaka” setelah mengembara dan menjadi kaya itu.

Tapi, seperti saya nyatakan di awal tulisan ini, kalaupun GM adalah seorang Malin Kundang, maka ia adalah Malin Kundang yang tak pernah sepenuhnya “meninggalkan” asalnya dan bahkan tak pernah mampu “melupakannya” secara benar-benar. Di tahun 2001, ia menulis sajak yang menyiratkan sebuah keadaan di mana ia tak pernah dapat “melupakan” sebuah negeri yang jadi asalnya. Sajak itu, yang berjudul “Seperti Sebuah Negeri”, dimulai dengan bait seperti ini:

Kau dengar sendiri seseorang berkata: “Di antara kita, ada yang seperti
sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang.” (Tentu
saja ada mimpi malaria, igau rasa cemas, perbatasan yang jemu, dan luka dan
lumpuh di antara dua tapal batas itu…)


Saya kira, apa yang tersirat dalam sajak itu menunjukkan sebuah posisi dilematis dari seorang GM: ia ingin melepaskan sebuah negeri (yang merupakan tempat asalnya?) tapi tak kunjung bisa. Dan kita tahu, tetap ada sebuah kenangan tentang negeri itu yang ironisnya merupakan kenangan yang tak terlampau indah: mimpi malaria, igau rasa cemas, perbatasan yang jemu, serta luka dan lumpuh di antara tapal batas.

Bagaimanapun, teritori yang melahirkannya beserta duka sukanya tetap tak mampu hilang dari memori seorang GM. Kesan itu makin kuat ketika di bait selanjutnya ia menyatakan bahwa “ingatan adalah jalan rumit yang kita bangun ketika hari tak punya ujung”. Ingatan, adalah semacam “jalan rumit”: sebuah jalan yang melelahkan tapi tetap saja membelit kita, karena mesti kita lalui. Dan seperti kata GM, ia kita bangun ketika “hari tak punya ujung”, ketika sebuah masa depan tak tampak secara kasat mata di depan kita. Pendeknya, ketika harapan tak menemukan alasan yang benar-benar kuat kenapa ia harus tetap tinggal.

Dan ingatan tentang “sebuah negeri yang ingin kita lupakan tapi tak kunjung hilang” itu adalah sebuah ingatan yang agaknya menyiksa. Sebab, kita tak mampu sepenuhnya pergi, seperti juga kita tak mampu sepenuhnya pulang:

Aku tanyakan siapa yang asyik dan setia di antara tapal itu? Aku
tanyakan siapa yang akan pulang, sebab siapapun mungkin tak akan
pulang, dan aku ingin katakan, hai, begitulah seharusnya....

Maka, sebuah pilihan yang diambil adalah “setia di antara tapal itu”, setia pada kondisi di antara dua batas yang memisahkan dua teritori. Orang yang memilih posisi itu, agaknya, adalah orang yang tahu ia tak akan mampu melupakan asalnya, sekaligus tahu bahwa ia tak mungkin sepenuhnya kembali ke sana. Maka, ia memilih sebuah posisi “di antara tapal itu”, di antara dua kutub yang mungkin saja berlawanan dan belum hendak berdamai.

Saya kira, GM memilih posisi yang demikian. Ia tetap saja seorang Indonesia, yang berpikir dan berkarya di Indonesia, tapi tetap tak mampu sepenuhnya “pulang” ke negeri itu, setelah ia “mengembara” lama ke negeri-negeri di luar sana. Ia, oleh karena itu, adalah Malin Kundang yang ada di tapal batas.

Sukoharjo, 19 Oktober 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP