Huruf-huruf yang Kembali ke Bumi

>> Tuesday, October 23, 2007




Dalam hal pendobrakan terhadap konvensi estetik lama dalam dunia puisi, kita harus belajar pada Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Colzum Bachri, Afrizal Malna, dan tentu saja Joko Pinurbo. Tapi dalam hal mendekati dan mengintimi puisi, maka seorang penyair harus kita sebut: Acep Zamzam Noor. Penyair kelahiran Tasikmalaya ini, saya kira, adalah salah satu dari sedikit penyair Indonesia yang bertahan sampai sekarang menulis puisi karena satu hal: ia mencintai puisi.

Dalam pengantar Buku “Jalan Menuju Rumahmu”, Acep menulis bahwa dia “tidak terlalu mempersoalkan apakah dalam kurun waktu dua puluhan” dari kepenyairannya “telah terjadi pencapaian tertentu dari segi artisitik, tema, atau apapun.” Pernyataan Acep ini jelas membedakannya—bahkan mungkin secara diametral?—dengan banyak penyair lain yang berusaha melakukan pencapaian tertentu dan bahkan melakukan pendobrakan terhadap kawasan estetik lama.

Telaah mengenai kepenyairan Acep yang “unik” ini sudah coba dilakukan oleh Hasan Aspahani. Tulisan ini, sedikit banyak akan mereproduksi wacana yang sudah ada mengenai Acep meski dengan cara yang berbeda. Melalui tulisan ini, saya hendak membicarakan satu puisi saja (itupun tidak semua baitnya saya bahas) dari penyair itu yang saya anggap mampu memberi gambaran tentang bagaimana ia dan puisi berdekat-dekatan.

Puisi yang saya pilih adalah “Menanti Kelahiran”, sebuah puisi yang dibuat tahun 1995. Puisi itu dimulai dengan bait pertama yang seperti ini:

Hari demi hari
Adalah huruf-huruf yang kembali
Ke haribaan bumi. Jalan panjang yang kutempuh
Bumilah ujung dari semua kata-kataku
Dan puisi, kulihat seperti bintang-bintang
Di pelipis anakku yang akan datang

Menyamakan hari dengan huruf adalah sebuah pertanda bahwa Acep sangat dekat dengan kata-kata. Huruf-huruf dan kata-kata adalah kesehariannya sehingga keduanya sama dengan hari demi hari yang ia lalui. Saya kira, Acep mengisi hari-harinya dengan menyusun huruf demi huruf yang “kembali ke haribaan bumi”, sebuah metafora tentang “puisi yang dekat dengan alam”. Kedekatan Acep dengan puisi dan alam itulah yang kemudian ditegaskannya lagi dengan mengatakan bahwa “bumilah ujung semua kata-kataku.” Tapi, lebih dari itu, puisi agaknya adalah sesuatu yang terlampau intim bagi Acep. Ia seperti keluarga hingga penyair itu menautkan puisi dengan anaknya dengan cara yang jelas: “Dan puisi kulihat seperti bintang-bintang di pelipis anakku yang akan datang.”

Hari demi hari, menjadi bulan dan tahun penuh debu
Langit redup di lembar-lembar kertasku
Bagaikan malam yang kehilangan salak anjing
Di sebuah hutan. Hari demi hari
Adalah kekalahan sekaligus kemenangan:
Kuburu puisi ke ujung bumi
Ketika orang-orang tak peduli, ketika orang-orang
Tek percaya pada ucapan penyair
Kuburu puisi, kuburu sunyi ke ujung paling jauh
Dan cinta terwujud dalam birahi kata-kataku
Buah kegelisahan seratus tahun

Acep masih bicara tentang “hari demi hari”. Agaknya, ia ingin menandaskan bahwa proses kepenyairan adalah sebuah proses yang panjang, tak habis dalam waktu singkat. Lihat, ia mengembangkan hari ke bulan lalu tahun. Di bait kedua ini pula, saya kira Acep menegaskan pilihannya pada puisi: meski “langit redup di lembar-lembar kertasku, bagaikan malam yang kehilangan salak anjing”, tapi Acep tetap memburu “puisi ke ujung bumi” bahkan “ketika orang-orang tak peduli” dan “tak percaya pada ucapan penyair”. Dan perburuan Acep pada puisi tak tanggung-tanggung: ia memburu puisi seperti memburu “sunyi ke ujung paling jauh”, ke tempat yang tak ada orang di jarak yang paling jauh. Inilah sebuah penegasan bahwa Acep tak main-main dalam menyair. Kesungguhannya inilah yang akhirnya membuatnya mampu menghasilkan “cinta (yang) terwujud dalam birahi kata-kata” yang merupakan “buah kegelisahan seratus tahun”.

Saya kira, sampai bait dua ini, kita telah mendapat gambaran bahwa Acep bukan orang yang setengah-setengah dalam menyair. Ia orang yang sungguh-sungguh meski kemudian ia menyerahkan hasil penilaian kerja menyairnya pada sejarah. Acep, oleh karenanya, adalah penyair yang ikhlas. Ia tak hendak meminta imbalan dari publik sastra kita, ia saya kira juga tak hendak berharap disanjung di mana-mana. Dalam hal inilah, menurut saya, Acep adalah seorang yang “heroik”.

Aku melihat bintang-bintang di langit
Aku melihat pelipis anakku yang keemasan
Bintang-bintang menjadi isyarat
Anakku menjadi jawaban. Demikianlah puisi lahir
Ketika orang-orang tak percaya pada ucapan penyair
Tapi setiap buku yang ditulis ibu
Darahlah tintanya
Dan semua yang diucapkan cinta
Menjadi puisi terindah
Tangisan bayi
Yang membentangkan jalan pulang
Bagi pemburu cahaya

Bait ketiga di atas tak memberi banyak pandangan baru kecuali penegasan kembali bahwa puisi lahir dari “bintang-bintang di langit” sebagai isyarat dan “pelipis anakku yang keemasan” sebagai jawaban. Begitulah, agaknya penyair ini masih saja menghubungkan puisi dengan dua hal terdekatnya: alam dan keluarga. Di baris selanjutnya ia juga menggunakan kata “ibu” sebagai simbol kedekatan puisi dengan keluarganya. Ia menggunakan kata “darah” sebagai pelebih-lebihan. Dan penegasannya bahwa “semua yang diucapkan cinta menjadi puisi terindah” seperti “tangisan bayi yang membentangkan jalan pulang bagi pemburu cahaya” adalah sebuah penegasan bahwa puisi baginya memang tak hanya berurusan dengan “ketrampilan teknis” saja. Puisi berurusan dengan dunia dalam. Puisi menyangkut sebuah proses yang manusiawi dalam gerak hidup seorang penyair.

Maka tak heran ketika suatu saat Acep pernah mengungkapkan “teori bulu kuduk”. Teori aneh ini adalah teori yang ia ciptakan sendiri ketika ia ditanya bagaimana sebuah “puisi yang baik” itu. Berdasar “teori bulu kuduk”, puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca akan membuat bulu kuduk kita berdiri. Secara otomatis, ketika bulu kuduk kita meremang, maka perasaan kita pun sebenarnya sedang tersentuh. Dan Acep dengan santainya mengatakan bahwa begitulah puisi yang baik!

Tentu saja tak semua harus sepakat dengan Acep. Tapi “kesederhanaan” teorinya tadi menunjukkan bahwa puisi memang bukan urusan yang rumit meski juga bukan hal yang gampangan. Ia berdiri di tengah-tengah: ia mungkin merupakan sesuatu yang sederhana namun memikat. Kalau kita baca puisi-puisi Acep, kita pun paham bahwa penyair ini memang tak hendak melampaui siapapun. Ia hendak berjalan di relnya sendiri sembari tak terlampau peduli dengan rel orang lain.

Sukoharjo, 23 Oktober 2007
Haris Firdaus

1 comments:

-Filantropy- October 24, 2007 at 12:37:00 PM GMT+8  

"Huruf-huruf yang Kembali ke Bumi."
Di sebuah pekat malam aku pernah berilusi, bagaimana mungkin manusia bergantung pada mimpi.
Dan di sebuah pagi yang cerah aku sempat berhalusinasi, barangkali lewat mimpi segala sesuatu bisa terealisasi.

Setelah menjalani kontemplasi yang begitu panjang, akhirnya kutemukan juga jawabannya, "mungkin!"

--
Nothing is impossible in this world. [salam kreatifitas]

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP