Lokalitas dalam Puisi

>> Tuesday, February 27, 2007

(Dari Launching Pendhapa 3)

Persoalan lokalitas dalam penciptaan puisi menjadi sebuah perbincangan menarik dan sedikit sengit—tapi juga membingungkan bagi saya yang pemula—dalam Peluncuran Antologi Puisi Pendhapa 3 yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo pada 26 Februari kemarin. Perdebatan tentang lokalitas berawal dari lontaran Muhammad Ramadhan Batubara alias Muram Batu (Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Ben! Yogya) yang menganggap puisi-puisi yang tepilih dalam Pendhapa 3 tidak menyuarakan lokalitas dari daerah para penyairnya berasal.

Rata-rata para penyair yang terpilih untuk ikut dalam antologi ini berasal dari tiga kota: Solo, Yogayakarta, dan Semarang. Dan seperti disebut Muram (saya sebenarnya kurang enak menggunakan sebutan ini), puisi-puisi yang ada dalam antologi itu sama sekali tidak menampilkan warna lokal baik Solo, Yogya, maupun Semarang. Hal seperti ini, bagi Muram, kurang ideal. Karena baginya, penyair seharusnya menulis sesuatu yang dekat dengan dirinya. Kedekatan dengan diri penyair bisa membuat puisi yang diciptakan mampu mengalirkan emosi penyair dan bisa dirasakan pembaca.

Jujur, bentuk lokalitas yang diinginkan Muram terhadap para penyair dalam Pendhapa 3 (atau jangan-jangan keinginan ini juga ia bebankan pada penyair di seluruh dunia!) kurang jelas. Lokalitas bagi saya, bisa dengan gampang ditangkap bila sebuah karya sastra menampilkan sebuah kejadian yang terjadi dalam suatu daerah tertentu atau mungkin karya sastra itu menggunakan idiom-idiom lokal khas daerah asal sastrawan. Dalam diskusi kemarin, Muram tak banyak mendefinisikan arti dari “lokalitas” yang dimaksudkannya. Tapi mungkin saya bisa berprasangka bahwa lokalitas ala Muram ya lokalitas yang ”konvensional”: penampilan suatu kejadian di daerah atau pengguanaan idiom lokal daerah.

Pernyataan Muram soal lokalitas mendapat tanggapan dari Mahwi Air Tawar, penyair yang puisinya ikut dalam Pendhapa 3. Ia mempertanyakan lokalitas yang dimaksud Muram sembari mengatakan bahwa lokalitas dalam puisi tak selalu hadir dalam wujudnya yang tradisional. Lokalitas bagi Mahwi bisa berupa ”spirit lokal”. Saya makin bingung mendengar kata-kata ”spirit” atau mungkin bisa diterjemahkan dengan ”semangat”. Apalagi Mahwi sempat menambahi bahwa para penyair dari Solo harusnya membawa Spirit Solo, demikian pula dari daerah lain.

Pertanyaan saya, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan ”spirit lokal”? Dan bagaimana mengidentifikasinya? Apa ini berarti semacam stereotype alias cap yang digeneralisasikan pada individu anggota kelompok tertentu? Padahal, bukankah kita tahu bahwa individu bisa saja punya sikap atau ciri pribadi yang berbeda dengan anggota dalam suatu kelompoknya? Pada titik ini, lokalitas makin kabur dan makin tak jelas.

Kebetulan dalam Buletin Sastra Pawon Edis 2 ada sebuah esai dari Yunanto Sutyastomo mengenai lokalitas dalam sastra. Apa yang saya simpulkan dari pembacaan saya atas esai itu adalah bahwa lokalitas dalam sastra mungkin saja merupakan hal yang ”tidak penting” saat ini. Di saat kehidupan manusia mulai lepas dari batasan tradisi dan geografi tertentu, maka sastrawan pun demikian. Ia hidup dalam sebuah dunia yang tak lagi mencekokinya dengan tradisi-tradisi lokal tertentu. Ia hidup dengan mobilitas tanpa batas. Kemajuan teknologi membuat kita bisa ”melayang” ke mana pun.

Simak kalimat Yunanto berikut: ”Terbayang kini bahwa lokalitas bisa jadi hanya sekedar rasa rindu akan akar yang pernah mampir dan melekat pada diri kita, dan sastra seolah pintu untuk kembali pada akar tersebut.” Kalimat seperti ini muncul setelah Yunanto membuat sebuah perbandingan singkat antara Dewi Lestari dan Umar Kayam. Dewi Lestari lahir dan besar di Bandung (daerah dengan Bahasa dan Budaya Sunda) tapi ia merupakan keturunan Batak. Sehari-hari ia menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan dan pergaulan. Karya Dewi pun tidak pernah berbicara tentang akar budaya atau daerah yang pernah ada dalam dirinya.

Sedang Umar Kayam, mengutip Yunanto, mampu berbicara dalam tentang lokalitas dalam dirinya. Novel-novel Kayam adalah novel dengan suasana dan latar sosiologis masyarakat Jawa yang menjadi akar budayanya. Akar budaya tampaknya tertancap kuat dalam diri Kayam dan mempengaruhinya dalam berkarya. Tapi, adilkah bila kita kemudian mengatakan bahwa karya Kayam jauh lebih bermutu daripada karya Dewi hanya karena muatan lokal dalam karya Kayam jauh lebih banyak?

Tentu saja tidak. Dalam benak saya, penciptaan sebuah karya sastra adalah penciptaan yang bebas. Artinya, seorang sastrawan berhak menciptakan karya sastra berdasar imajinasi dan keinginannya sendiri tanpa harus dibebani harapan-harapan dari manapun: masyarakat atau kritikus (tapi itu kalau kita percaya ada kritikus sastra di Indonesia). Biarkan orang lain menaruh harapan yang muluk-muluk. Tapi pada dasarnya seni termasuk sastra adalah ruang berjalan ke arah yang mungkin tak bisa diduga. Jadi membebani tiap penyair atau sastrawan dengan muatan lokalitas, benarkah itu sebuah harapan yang bijak?

Sebagai penutup, saya kutip pendapat Yunanto lagi: “Biarkan sastra kita menemukan sebuah babak baru dan jalan untuk berkembang, janganlah sastra terlampau dibebani oleh berbagai hal yang belum tentu memiliki arti dalam perjalanannya. Seandainya lokalitas tidak pernah ada dalam sastra kita, maka itulah jalan yang mungkin memang harus dipilih.”

Sukoharjo, 27 Februari 2007
Haris Firdaus

1 comments:

Anonymous May 24, 2013 at 2:39:00 AM GMT+8  

It's actually very complicated in this full of activity life to listen news on Television, therefore I just use world wide web for that reason, and get the most up-to-date information.

Also visit my web site best cellulite treatment

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP